PEDAGANG kain Marimutu Sinivasan lagi apes. Ketika pengusaha yang lain ramai-ramai menemani presiden menyambangi negara-negara Eropa dan India, eh, ia malah tertinggal di landasan. Bukan karena tak punya duit, tapi lantaran pengusaha asal Tamil itu sedang kena cekal. Rupanya, sebelum urusan kredit macetnya yang hampir sepuluh triliun itu beres, Sinivasan tak boleh ha-ha-hi-hi dulu ke luar negeri—apalagi mau membonceng pesawat Gus Dur segala.
Itu apes yang pertama. Yang kedua menyangkut Bank Putera Multikarsa—miliknya. Bank yang habis kena serbu nasabah itu akhirnya ditutup juga. Ibaratnya orang sakit, bank papan tengah ini memang sudah mati suri. Selain berdarah-darah menanggung kasbon Rp 1 triliun lebih dari Bank Indonesia, onderdil Bank Putera juga sudah pada soak.
Dari Rp 1,2 triliun total kredit Bank Putera, cuma Rp 240 miliar yang lancar menghasilkan duit. Sisanya, hampir Rp 1 triliun, macet atau tersendat-sendat. Jika mau hidup, sebagian besar onderdil soak ini, ibaratnya kanker di dalam tubuh, harus dibuang dan diganti dengan modal yang baru. Dengan ilmu hitung sederhana saja, bank ini diperkirakan perlu injeksi Rp 1,5 triliun agar bisa selamat. Ketimbang mengeluarkan duit sebesar itu untuk menolong bank yang sudah ditinggal lari nasabahnya, apa boleh buat, pemerintah terpaksa menutup Bank Putera.
Apes yang ketiga? Jangan kebanyakan. Dengan dua kesialan Sinivasan itu saja, kalangan pengusaha yang sedang coba-coba mendekat Istana sudah pada bisik-bisik: lobi Sinivasan yang dulu terkenal sakti itu, kok, sekarang sepertinya sudah tidak ampuh lagi. Betulkah?
Tidak juga. Menurut sumber di istana kepresidenan, penutupan Bank Putera tak bisa jadi ukuran kebuntuan lobi Sinivasan. "Justru sebaliknya," katanya, "Anda tahu, kan, penutupan bank bobrok itu alot betul."
Penentuan nasib Bank Putera tampaknya sempat menjadi ajang pertempuran politik tingkat tinggi. Hingga beberapa pekan sebelum Bank Putera ditutup, Sjahril Sabirin, pemegang tunggal otoritas moneter dan pengawasan bank di Indonesia, menegaskan bahwa kesehatan bank papan tengah itu baik-baik saja. Bahkan, tiga hari setelah Bank Putera "dibobol" Rp 700 miliar oleh para nasabahnya melalui gelombang rush, Gubernur Bank Indonesia itu tetap berdiri tegak. "Modalnya cukup, juga tidak ada pelanggaran kredit," katanya yakin. Tak lupa, Sjahril menegaskan, berdasarkan hasil uji tuntas alias due diligence yang dilakukan pada Maret 1999, rasio kecukupan modal Bank Putera sudah jauh melampaui persyaratan minimal empat persen. "Sekarang pun tetap di atas batas minimum," katanya.
Pernyataan gubernur bank sentral ini didukung data-data Direktur Utama Bank Putera, Masyhud Ali. Ia mengutip laporan keuangan September 1999. Katanya, kesehatan bank yang dipimpinnya itu tak bisa diragukan. Tingkat kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR), yang dihitung melalui perbandingan antara modal dan aset bank, mencapai 12 persen. Artinya, bemper Bank Putera masih sangat tebal. Untuk sampai ke batas bahaya, modal bank ini harus menyusut sampai sepertiganya, atau asetnya melonjak tiga kali lipat.
Kalaupun ada yang mengganggu Bank Putera, kata Masyud, itu semata-mata karena rush pada pekan pertama Desember lalu. Gara-gara "bom" kredit macet yang ditanggung Sinivasan, kredibilitas Bank Putera ikut runtuh dan nasabah buru-buru menarik simpanannya. Selama dua hari, kas Bank Putera terkuras Rp 700 miliar untuk membayari penarikan tabungan, deposito, dan tagihan antarbank. "Bank sekuat apa pun tak bisa tahan kalau diserbu," kata Masyhud membela diri.
Karena pendarahan tak berhenti, akhirnya Bank Indonesia, yang menjadi bandar penghabisan, angkat tangan. Bank Putera harus dikarantina Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lembaga ini lalu menerbitkan surat utang Rp 1,7 triliun (atas jaminan pribadi Sinivasan) kepada BI atas dana yang sudah ditarik Bank Putera. Untuk menentukan nasib Bank Putera selanjutnya, BPPN menyewa auditor independen.
Di sinilah muncul kisah tarik-ulur yang seru. Sinivasan rupanya tahu betul, bank miliknya ada dalam bahaya. Misi penyelamatan digelar. Sinivasan menyambangi Gus Dur untuk meyakinkan bahwa Bank Putera sangat penting bagi kehidupan puluhan ribu karyawan Texmaco. Kebetulan, pabrik Texmaco—di Karawang, Subang, dan Pemalang—merupakan kantong-kantong jamaah Nahdlatul Ulama (NU), "rumah induk" Presiden Dur.
Ternyata, lobi Sinivasan cukup manjur. Entah ada hubungannya dengan Gus Dur atau tidak, yang pasti, beberapa hari setelah kunjungan Sinivasan ke Istana, ada surat dari Menteri Keuangan Bambang Sudibyo ke meja Kepala BPPN. Isinya, minta agar Bank Putera segera dikeluarkan dari karantina. Glenn M.S. Yusuf, Ketua BPPN saat itu, menolak permintaan ini. Tapi pertarungan rupanya tidak berhenti. Sebulan setelah kliringnya disetop, Bank Putera ternyata beroperasi kembali. Status di bawah karantina BPPN—kali ini sudah di bawah komando Cacuk Sudariyanto—dicabut.
Rupanya, misi penyelamatan belum seratus persen. Ada banyak pihak yang meragukan Bank Putera. BPPN sendiri meragukan bank dengan 40 kantor cabang itu bisa kembali beroperasi. Pemegang saham tak menyetor modal tambahan sepeser pun. Bahwa simpanan wajib Bank Putera di BI kembali positif, kata juru bicara BPPN, Franklin Richard, "itu semata-mata karena ada dana talangan pemerintah."
Argumentasi itu didukung hasil audit Hadori dan Rekan, yang disewa BPPN. Ternyata, CAR Bank Putera sudah minus 48,15 persen. Belum lagi 80 persen kreditnya masuk kategori bermasalah. Yang tak kurang penting, hampir 70 persen dari Rp 1,3 triliun kucuran kredit dinikmati grup sendiri. Padahal, menurut ketentuan, maksimum pemberian kredit untuk kelompok usaha sendiri cuma 20 persen dari modal bank.
Dengan sederet rapor jeblok itu, BPPN tak bisa bertindak lain kecuali merekomendasikan penutupan Bank Putera. "Seperti bangunan yang ditopang lidi," kata Franklin, mencoba membuat tamsil, "Bank Putera bakal roboh sendiri."
Tapi, dari "jurusan" lain, desakan
untuk mempertahankan Bank
Putera tak kalah kencang. Selain
Bank Indonesia terus berkampanye dengan mengutip angka-angka Bank Putera yang "cemerlang", beberapa pejabat dari Departemen Keuangan ikut mencoba memberikan pembelaan-pembelaan. Untunglah, para petinggi Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington ikut campur.
Suatu hari, sebuah telepon berdering untuk Gus Dur. Ternyata dari Wakil Direktur Pelaksana IMF, Stanley Fischer, dari Washington. Isinya, Fischer minta agar pemerintah bersikap konsisten. Sekali Bank Putera diperlakukan istimewa, bank-bank lain akan menuntut perlakuan yang serupa. Ini akan membahayakan upaya pemulihan ekonomi sehingga pinjaman internasional yang kini digalang IMF akan terbuang percuma saja.
Gus Dur—seperti diceritakannya pada acara ulang tahun PDI Perjuangan, pekan lalu—memang tidak langsung mengabulkan permintaan Fischer. Memang betul, Indonesia punya komitmen dengan lembaga internasional itu. "Cuma, kita tak akan membuat perusahaan gulung tikar hanya untuk memuaskan nafsu Anda," katanya.
Tapi, belakangan, rupanya Gus Dur berpikir ulang. Maklumlah, bila IMF sudah turun tangan, taruhannya tak sedikit. Bukan cuma pencairan utang luar negeri yang macet, investasi asing pun bakalan seret. Setelah acara ulang tahun PDI itu, Gus Dur memanggil Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Kwik Kian Gie. "Dalam pertemuan itu," kata Kwik, "Gus Dur memastikan Bank Putera tak bisa diselamatkan lagi."
Bagaimana Sinivasan dengan lobi-lobinya? Jangan pernah membayangkan ia berhenti. Dulu, ketika kredit macetnya meledak di media massa, pengusaha tangguh ini maju terus. "Kalau besok ada fasilitas kredit, saya tetap minta," katanya tanpa rikuh, "Jika tak mungkin ke presiden, ya, kepada menteri."
Kini, sikap serupa tak berubah. Penutupan Bank Putera tak membuatnya jera. Bank Putera boleh mati, tapi hidup jalan terus. "Bapak akan segera membuat bank baru," kata stafnya. Bukan cuma itu. Kabarnya ia sedang merancang agar kredit macet yang segede embahnya gajah itu bisa dibayar murah dengan aset-aset Grup Texmaco—dan pemerintah, kabarnya, tidak keberatan.
Dengan cara ini, utang Sinivasan bisa dianggap lunas, sedangkan Texmaco tetap dalam genggamannya. Hidup kerja keras!
Mardiyah Chamim, Agus Hidayat, Agus Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini