Ribuan kijang berkelompok dan memandang sekitar, atau berjalan sendiri pelan-pelan di hutan pinus sejak hari masih berkabut pagi di Kota Nara. Tak seorang pun akan mengusik mereka di taman luas itu. Seakan-akan sang pelindung masih belum kehabisan pesona, juga di antara para turis yang semakin siang semakin hiruk: di Kuil Todai-ji, semenjak tahun 752, sebuah patung Buddha duduk setinggi 16 meter. Kata orang, sosok yang mendominasi ruang Daibutsuden itu merupakan penggambaran esensi sifat luhur Buddha.
Wibawa dan ukuran besar—seolah-olah itu berkaitan. Aneh juga sebenarnya. Bagaimana kemegahan ditegakkan, untuk menghormati seseorang yang justru datang ke dunia untuk menampik kemegahan? Bukankah Siddharta Gautama meninggalkan istana, dan kembali ke orang ramai untuk mengajar, di Taman Rusa, tentang hidup yang sengsara selama manusia masih tergoda oleh hasrat?
Pertanyaan tentang kemegahan ini bisa dilontarkan hampir ke mana saja. Di kota pantai Amalfi di Italia Selatan, ada Basilika Santo Andrea, sebuah bangunan yang menggabungkan gaya Romanik yang anggun dan Bizantin yang penuh keemasan. Di salah satu ujung sudutnya ada sebuah patung Bunda Maria. Ia berdiri di dekat tubuh Yesus yang terbaring dengan darah mengalir. Wanita suci itu memakai gaun bangsawan yang berwarna gelap bertatahkan manikam, dan di kepalanya terpasang mahkota seorang ratu.
Kenapa kesucian akhirnya berdandan duniawi? Kenapa keagungan akhirnya berwujud dalam konstruksi batu ribuan meter kubik? Saya ingat akan puisi Amir Hamzah, ketika ia mengutarakan kerinduannya kepada Tuhan: ''Aku manusia, rindu rasa, rindu rupa." Iman adalah ibu dari segala arsitektur. Dalam kerinduan rasa dan kerinduan rupa, tempat peribadatan dibangun. Ruang besar atau kecil, bangunan angker atau berbunga-bunga, patung atau kaligrafi—semuanya adalah kemeriahan pancaindera untuk memuliakan Tuhan. Tubuh menghendaki pemuasannya, juga dalam hal yang bersangkutan dengan apa yang dilukiskan sebagai hasrat rohani.
Tubuh, dalam agama, memang sebuah paradoks. Begitu banyak aturan diterapkan oleh titah sakral untuk mengatur tubuh, seakan-akan bagian manusia ini selamanya menimbulkan rasa waswas dan sebab itu perlu diwaspadai. Namun, pada saat yang sama, seakan-akan juga ada pengakuan bahwa tubuh demikian pentingnya, sehingga ibadah—dan pengorbanan—selalu merupakan ekspresi dari yang jasmani. Mungkin itu sebabnya ada yang menganggap bahwa menghabisi kemurtadan dan melenyapkan perbedaan dalam iman hanya bisa dilakukan dengan meniadakan tubuh, bukan mengajak. Kita baca Al Hallaj dibakar seperti halnya mereka yang mati di unggun api Sang Inkuisitor Gereja Spanyol.
Tubuh memang suatu titik tikai: pusat najiskah ia, hingga harus ditolak, atau setidaknya dikuasai? Tapi bukankah ia sebuah kehadiran dalam laku, hingga hanya dengan tubuh kebajikan bisa berlangsung?
Ada sebuah perdebatan dalam tradisi pemikiran Khong Hu-cu, khususnya dalam naskah lama Jepang, yang bagi saya dapat melukiskan sebuah pertentangan tentang tubuh—sebuah pertentangan yang juga berlangsung dalam sejarah pemikiran Buddha, Hindu, Kristen, Islam, atau apa saja yang hendak menerjemahkan laku kebajikan dalam dunia. Setidaknya, itulah yang bisa saya simpulkan dari cara Naoki Sakai menguraikannya dalam Voices of the Past, sebuah karya yang sangat impresif baik karena penelitiannya maupun karena isi filsafatnya.
Tokoh utamanya adalah Ito Jinsai. Ia seorang ahli tafsir pemikiran Khong Hu-cu dari abad ke-17 Jepang, yang menguraikan posisi filsafatnya dengan cara mengomentari tafsir karya Cina klasik yang pernah ada. Ito meletakkan diri sebagai penampik ''rasionalisme Song" dan khususnya para ahli dari mazhab Zhu Xi.
Kebajikan, bagi mazhab Zhu Xi, ada dalam pikiran manusia sebagai bagian dari kodratnya yang sama kapan saja dan di mana saja. Diri (''aku") berpadanan dengan kesemestaan langit. Kesadaran yang maha-agung masuk dan membentuk kesadaranku, dan membuat kebajikanku universal. Dengan tuntunan itulah perilakuku sahih. Di sini berlaku penguasaan tubuh oleh pikiran, dan dengan itulah jalan ke arah kebajikan bisa ditempuh.
Ito Jinsai sebaliknya menekankan makna tubuh. Bagi Ito, bukan universalitas dalam jiwa itu yang menyatukan manusia, melainkan kebersamaan: jiwa atau diri sebagaimana digambarkan Zhu Xi pada dasarnya diasumsikan sudah serba-cukup, dan tak membutuhkan apa yang di luarnya, apa yang lain. Dunia dan jejak yang membekas di atas debu jalannya tak punya pengaruh ke dalam jiwa dalam filsafat Zhu Xi. Padahal, justru di dunia, dalam persentuhan dengan orang lain, kebajikan terjadi.
Tubuh tak seperti dibayangkan oleh kaum rasionalis Song: jasmani tak bisa direncanakan penuh. Ada selamanya yang tak terduga. Sebab itu laku kebajikan bukanlah sesuatu yang mudah. Di sini bukan hanya kerendahan hati yang penting, tapi juga rasa kebersamaan: masing-masing diri tak akan memadai, dan tak akan selesai. Dalam kata Ito: ''Jalan [kebajikan] adalah jalan; sebab itu dengan menempuhnyalah orang datang, pergi, dan berjumpa. Ia disebut 'jalan' sebab ia memungkinkan orang saling bertemu".
Jalan yang sederhana, tentu, bukan ruang dan sosok megah yang tertutup dan berkata, ''inilah kesempurnaan".
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini