BOLEH jadi cerita ini akan menjadi bom beracun yang mengancam pemulihan ekonomi kita. Pengelola Astra International, perusahaan publik yang dikenal bersih manajemennya itu, diam-diam telah memanfaatkan wewenangnya memberikan pinjaman ratusan miliar kepada salah seorang pemegang saham untuk membeli saham Astra.
Kabar tak sedap itu memang belum mendapatkan konfirmasi yang meyakinkan. Tapi kemungkinan besar bom itu akan meledak Selasa pekan depan, ketika Astra menggelar rapat umum luar biasa pemegang saham (RULBPS). Dan jika benar, virus ganas yang disebarkan bom itu bisa segera melumpuhkan hampir seluruh sendi perekonomian yang sudah mulai tertata belakangan ini.
Para investor (terutama dari luar negeri) akan tercengang: kalau Astra saja, sebuah perusahaan jempolan, kelakuannya seperti itu, bagaimana pula sepak terjang perusahaan yang lain? Bagaimana mungkin transaksi senilai Rp 400 miliar itu bisa disembunyikan dari audit akuntan independen? Mengapa transaksi seperti itu bisa tersembunyi hampir empat tahun di sebuah perusahaan publik?
Kisahnya memang dimulai dari Oktober 1996. Ketika itu, Nusantara Ampera Bhakti (Nusamba), sayap usaha yayasan-yayasan yang diprakarsai Presiden Soeharto, mengambil alih hampir 10 persen saham Astra dari sejumlah pengusaha papan atas Indonesia. Pemborongan gede-gedean itu ternyata dibiayai dengan dana pinjaman dari Bank BCA (untuk sekitar 6 persen saham) dan Bank Danamon (4 persen saham).
Dalam perjalanannya, entah mengapa muncul gesekan antara Bob dan pemilik Danamon, Usman Admadjaja. Gesekan ini membuat Danamon menarik kreditnya dari Nusamba. Mungkin karena tak ada uang kontan, Nusamba melirik kepada Astra. Bob, yang dibeking penuh Presiden RI, rupanya tak perlu waktu lebih lama untuk mendapatkan sambutan dari Rini M.S. Soewandhi, Direktur Keuangan Astra ketika itu. Menurut yang punya cerita, Rini langsung minta Federal International Finance (FIF), salah satu anak perusahaan Astra di bidang bisnis pembiayaan, agar mendanai Nusamba.
Pinjam-meminjam ini memang tidak gratis. Nusamba harus menyerahkan saham Astra yang dibelinya, sebagai jaminan. Tapi, persoalannya, hingga kini, pinjaman itu belum dikembalikan. Dan repotnya, nilai harta jaminan itu hampir-hampir tak bergerak. Jika dihitung dengan harga saham Rp 3.600, nilai empat persen saham yang diagunkan Nusamba paling banter hanya Rp 350 miliar. Padahal, jika dikurs dengan dolar atau ditanam dalam deposito, pinjaman FIF itu kini sudah bernilai Rp 1,2 triliun lebih. Artinya, anak perusahaan Astra ini kena potensi kerugian Rp 850 miliar. Bukan jumlah yang sedikit.
Tapi bukan soal kerugian itu benar yang menjadi soal. Pinjaman diam-diam ini, menurut para pemain keuangan, melanggar asas keterbukaan perusahaan publik. Para investor, pemegang saham Astra yang lain, dirugikan oleh transaksi internal yang tak terbuka ini. "Jika praktek ini terjadi di luar negeri," kata seorang pemain pasar modal, "Rini akan masuk penjara."
Rini sendiri berkali-kali menolak menjawab soal pinjaman itu. "Saya tak mau berkomentar," katanya pendek. Tapi juru bicara Astra, Aminuddin, dengan tegas membantah adanya pinjaman FIF kepada Bob. "Tak ada duit FIF yang dipakai Bob membeli saham Astra," katanya ringan. Adapun Arie Susanti, sekretaris Direktur Utama FIF, menyatakan melalui surat elektronik bahwa di institusinya tak ada debitur dengan nama Bob Hasan dan tak ada kredit macet.
Sebaliknya, dari jurusan yang berlawanan, tudingan terdengar makin keras saja. Seorang sumber yang tahu persis isi perut pabrik mobil terbesar Indonesia itu (yang, sayangnya, belum mau disebut namanya) tidak cuma membenarkan adanya pinjaman itu—bahkan juga bersedia memberikan kesaksian. "Saya siap seandainya diminta memberikan keterangan di pengadilan," katanya. Tapi, anehnya, penuturan dari sumber yang dekat dengan kalangan Newbridge Asia-Gilbert Global Equity ini tak membuat rencana konsorsium Amerika Serikat itu untuk menguasai Astra menjadi surut.
Namun, harus diakui, cerita pinjaman FIF kepada Nusamba akan menjadi salah satu peluru yang memojokkan Rini dalam sidang pemegang saham, pekan depan. Seperti diketahui, posisi Rini sebagai Presiden Direktur Astra terancam berat setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengajukan agenda pergantian direksi dalam RULBPS itu.
Menurut BPPN, yang kini mengantongi 42 persen saham Astra, pergantian direksi dilakukan karena pengelola Astra dinilai menghambat rencana pemerintah menjual saham pabrik mobil ini kepada konsorsium dana ekuitas AS itu. Untuk menggantikan Rini, BPPN sudah menjagokan tiga nama, termasuk Tedy Rachmat, bekas Presiden Direktur Astra, yang satu setengah tahun lalu digantikan Rini.
Di atas kertas, peluang BPPN menggusur Rini cukup besar, meskipun tidak 100 persen aman. Dengan 42 persen saham di tangan, lembaga keuangan pemerintah itu tinggal mencari beberapa suara lagi untuk mengegolkan kehendaknya. Apalagi, menurut sumber TEMPO, tingkat kehadiran pemegang saham dalam RUPS paling banter cuma 90 persen. Dan dalam kasus Astra, investor Jepang, Toyota Motor, yang punya delapan persen saham, biasanya tak pernah ikut memberikan suara. Jadi, "BPPN sudah pasti menang, dan Rini pasti terjatuh."
Tapi perhitungan di atas kertas saja tidak cukup. Harus diakui, popu-laritas Rini sebagai Presiden Direk-tur Astra selama ini, sedikitnya di mata umum, sungguh jempolan. Lulusan Wellesley, universitas khusus perempuan yang terkenal di Massachusetts, itu menaiki puncak panggung Astra pertengahan 1998. Ketika itu, perekonomian Indonesia berada di puncak krisis. Industri mobil dunia juga sedang melakukan konsolidasi besar-besaran dengan cara menjalin megamerger. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan Astra adalah merestrukturisasi kembali utang-utang dolarnya.
Dan itu tidak mudah. Itu bukan cuma karena jumlah utang itu sangat besar, sekitar US$ 1,4 miliar, tapi juga karena prospek industri mobil tiba-tiba ambruk selama masa krisis. Penjualan mobil merosot, tinggal 15 persen. Dan lebih dari itu, tingkat kepercayaan asing kepada Indonesia sedang berada di ujung tanduk.
Di tengah ketidakpastian pergerakan kurs dan suku bunga, Rini bersama timnya harus membuat proyeksi usaha selama 10 tahun ke depan, dan meyakinkannya kepada para kreditur. "Merebut kepercayaan, saya kira, ini bagian tersulit dari negosiasi utang Astra," katanya suatu kali kepada Jakarta Post. Toh, akhirnya Rini berhasil. Beberapa bulan kemudian, hampir seluruh utang dolar Astra dapat diperpanjang masa pelunasannya.
Sukses Rini tidak cuma mengembalikan kepercayaan kreditur kepada Astra, tapi juga membantu memulihkan minat investor kepada perusahaan di Indonesia. Catatan yang memperkuat posisi Rini untuk tetap bertahan di kursi puncak Astra itu, agaknya, bukan tak dipahami Newbridge dan para sponsornya. Barangkali karena itu pula, agar posisinya menjadi seimbang, beberapa cerita "kegagalan" dan siasat Rini kini mulai banyak beredar.
Selain pinjaman ke Bob oleh FIF tadi, ada juga kisah akuisisi Astra Securities. Menurut sumber TEMPO, anak perusahaan Astra di bidang penjualan efek itu dibeli Widari Saranacipta, sebuah perusahaan pribadi yang kabarnya melibatkan Rini pribadi. "Akuisisi internal" ini konon tak diketahui komisaris Astra. "Sampai sekarang," kata sumber TEMPO, "pembayarannya juga belum beres."
Selain itu, masih ada gosip miring yang lain. Yang paling santer adalah praktek perusahaan dalam perusahaan yang katanya juga tumbuh subur. Maksudnya, hampir semua direksi punya perusahaan pribadi yang "cari makan" dari Astra. Ada yang berupa lembaga pembiayaan, ada agen penjualan, atau perusahaan suku cadang. Jajaran top Astra kabarnya sudah tahu sama tahu soal ini. Tapi, kata sumber TEMPO, "Mereka saling dukung dan kompak betul."
Semua tuduhan, selain soal perusahaan pribadi, dibantah Aminuddin. Menurut dia, Rini tak punya saham di Widari. Selain itu, pembayaran akuisisi Astra Securities sudah beres dan dilaporkan secara terbuka. Soal perusahaan pribadi? "Ah, itu sudah terjadi sejak zaman Om Willem, jauh sebelum Astra masuk bursa," kata sumber TEMPO yang lain.
Tapi benarkah Rini menyimpan borok sehingga berusaha keras menutupi Astra dari uji tuntas investor? Entahlah. Yang pasti, menurut pengakuan Rini suatu kali, buka-bukaan keuangan Astra bukan sekali ini terjadi. Tahun lalu, sebelum para kreditur menyetujui restrukturisasi utang yang diajukan manajemen, isi perut Astra sudah pula diaduk-aduk, bahkan dua kali. Pertama oleh tim independen yang ditunjuk Astra, dan yang kedua diuji ulang oleh tim auditor yang disewa kreditur. "Kalau ada borok," kata sumber di Astra, "waktu itu juga sudah terbongkar."
Selain itu, Rini kelihatannya masih punya banyak teman. Seorang sumber di Dewan Ekonomi Nasional mengatakan, lembaga penasihat Presiden Gus Dur itu telah mencalonkan putri pensiunan Gubernur BI ini untuk menduduki posisi puncak di BNI 46. Nah.
Dwi Setyo, Taufiqurohman, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini