Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menggali Dunia yang Buas

Menyakiti diri sendiri menjadi katup pelepas derita. Film ini menggali sumur kebuasan manusia.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fight Club (1999)
Sutradara:David Fincher
Pemain:Edward Norton, Brad Pitt, Helena Bonham Carter
Produksi:20th Century Fox
Pada usianya yang muda, Jack (Edward Norton) telah mendapatkan segalanya: karir gemilang dan kehidupan mapan. Namun, jiwanya hampa. Ia terbelit insomnia. Pria kosong jiwa ini mengobati diri dengan mengikuti pertemuan kelompok pria yang terjangkit kanker testiskel dan tuberkulosa. Awalnya, dalam klub orang-orang frustrasi itu, ia mendapatkan sesuatu yang dicarinya. Di sana ia kerap bertemu dengan Marla Singer (Helena Bonham Carter), wanita yang punya problem yang sama. Namun, kekosongan kembali mendera. Lagi-lagi ia terlempar dalam lorong kehampaan, yang kian lengkap saat kondominiumnya berantakan dihajar bom.

Dalam ketiadaan, ia limbung. Ia mengontak pria yang pernah ditemuinya, Tyler Dunden (Brad Pitt), si penjual sabun yang eksentrik. Persahabatannya dimulai dengan saling gebuk. Keduanya merasakan sakit yang membahagiakan. Mereka kemudian membentuk klub berkelahi, Fight Club, yang ternyata diminati pria-pria senasib. Sakit itu ternyata nikmat. Kesakitan merupakan sebuah cara untuk menemukan jati diri saat identitas dalam masyarakat modern amat ditentukan oleh atribut kekayaan dan sukses yang diperoleh.

Film yang dibuat berdasarkan novel yang ditulis Chuck Palahniuk itu, Fight Club (1996), sarat dengan adegan kekerasan. Tangan terkepal menghantam sang lawan sepuas-puasnya tanpa rasa iba. Habiskan lawan sesuka hati. Semua berhenti bila lawan terkapar tak berdaya. Tapi, setelah banjir darah dan bilur, toh tak ada pemenang. Keganasan yang sama bisa ditemui dalam Natural Born Killers racikan Oliver Stone ataupun The Boys Next Door yang dibintangi Charlie Sheen, yang menguras naluri hewani yang terselip dalam diri manusia.

Dalam Fight, wajah lebam dan tetesan darah disajikan begitu gamblang selama hampir separuh pertunjukan film ini. Gambar yang tersaji dengan detail yang cermat memaksa degup jantung berdetak cepat dan menahan napas. Kecermatan dan kesabaran David Fincher, sutradara yang menggarap film The Game, Seven, dan Alien 3, mampu menghadirkan serangkaian gambar yang sempurna. Pengalamannya sebagai sutradara iklan dan videoklip, seperti Janie's Got a Gun (Aerosmith), Freedom (George Michael), dan Who is it? (Michael Jackson), membuatnya terampil mengadonkan gambar yang menyiratkan sebuah kegetiran dalam visualisasi yang cemerlang.

Fight Club adalah sebuah radikalisme dan pemberontakan. Dan aktor Brad Pitt mampu mewujudkan kedua tema itu dalam karakter yang diperankannya. Ia tampil begitu brutal, angkuh, tapi juga tengil. Kecuali untuk film Kalifornia—dia berperan sebagai pembunuh—sosok ini sungguh berbeda dengan film-film sebelumnya. Penampilan prima yang seimbang dengan Pitt adalah akting Edward Norton, sarjana lulusan Universitas Yale, yang banyak bergerak di jalur indie sebelum dinominasikan mendapat Oscar dalam Primal Fear dan American History X. Ia mampu menjelmakan sebuah keputusasaan yang sempurna tapi dia berubah bengis saat menggempur lawan tanpa ampun. Permainan kedua aktor diimbangi dengan sosok kelam Marla Singer, yang diperankan Helena Bonham Carter, aktris Shakespearean yang sebelumnya dikenal dalam film Mighty Aphrodite karya Woody Allen.

Dengan alur cerita yang absurd, dimulai dengan narasi yang dibacakan di pembukaan film, Fight kemudian mengantar pada sebuah penjelajahan berbagai pikiran dan problema manusia modern. Ia mengkritik betapa sakitnya masyarakat yang diterjang konsumerisme. "Kamu bukanlah pekerjaan kamu. Kamu bukanlah uang kamu di bank. Kamu juga bukan pantalon yang kamu pakai," ujar Tyler.

Semua itu memuncak saat para anggota Fight Club, di bawah komando Dunden, menghancurkan atribut manusia modern, seperti gedung. Tindakan anarkis yang dinamai Operasi Mayhem ini terjebak dalam sikap destruktif. Mereka yakin, dalam keadaan seperti itu, manusia bisa menemukan identitasnya kembali. Pada akhir cerita terungkap bahwa ternyata sosok Tyler merupakan sisi lain dari Jack. Keduanya diikat dalam kesamaan pribadi. Jack membunuh Tyler, tapi semua terlambat. Gedung-gedung telanjur meledak.

Film ini tidak menawarkan dunia yang merah jambu. Ia tidak menghibur, apalagi melawak. Fight menyajikan sebuah kegetiran dan cara keluar dari sebuah jebakan pemikiran yang buntu, sekalipun cara itu harus dengan menghambur sisi kebinatangan dan menghancurkan semua yang dimiliki. Sesungguhnya, inilah sebuah film yang menggugat ketamakan dan kegilaan manusia modern.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus