Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ketika Kematian Mengungkap Cinta

Jatuhnya sebuah pesawat mengungkap drama rumah tangga dua pasangan. Film terbaru Sydney Pollack yang masih setia pada resep Hollywood.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANDOM HEARTS
Sutradara:Sydney Pollack
Skenario:Kurt Luedtke
Pemain:Harrison Ford, Kristin Scott Thomas, Charles S. Duitton
KEMATIAN akan mengungkap kebenaran. Meski kebenaran itu akhirnya melukai hati Sersan Polisi Dutch Van Den Broeck (Harrison Ford) dan Kay Chandler (Kristin Scott Thomas), bak mencari harta karun nun di lapisan terbawah tanah, kebenaran harus digali untuk sebuah proses penyembuhan.

Van Den Broeck menyangka pernikahannya damai, aman, dan sentosa hingga kematian istrinya, Peyton. Dia tewas bersama lelaki lain, Cullen Chandler, akibat pesawat yang ditumpanginya ke Miami jatuh. Sebagai seorang detektif polisi, Van Den Broeck tidak menerima kematian istrinya begitu saja. Keberangkatan istrinya ke Miami, setelah mereka sempat bercinta, meninggalkan kesan yang aneh. Kenapa Peyton berbohong tentang keberangkatannya? Kenapa rekan-rekan kerjanya seperti menyembunyikan sesuatu?

Separuh pertama film ini tampak menegangkan bagai sebuah thriller. Bersama penonton, sutradara Pollack mencoba mengajak mengupas misteri percintaan antara Peyton dan Cullen yang terbungkus begitu rapi hingga mereka baru mengetahui betapa rapuhnya perkawinannya setelah kematian pasangannya.

Hingga di sini, daya tarik film ini tidak hanya terletak pada misteri drama perkawinan kedua sosok, tapi juga pada penampilan Harrison Ford dan Kristin Scott Thomas, yang mestinya menjadi maskot pemasaran film ini.

Namun, sesudah itu, Pollack terjun ke dalam kubangan Hollywood yang klise. Cerita film mandek pada penyelesaian yang konyol. Kedua tokoh yang terluka begitu dalam tiba-tiba terlibat dalam hubungan asmara (mendadak) yang begitu panas.

Lo, kok, bisa? Wong, baru kematian….

Mungkin—sekali lagi, mungkin—ada dua ilmu yang memberikan justifikasi kepada solusi dadakan semacam ini. Pertama—ini agak serius—barangkali ilmu psikologi bisa menjelaskan bagaimana hati yang begitu luka dan patah—setelah pasangan tewas dan ternyata telah mengkhianati begitu lama—bisa teratasi dengan hubungan asmara yang begitu spontan dan meledak-ledak.

Yang kedua adalah ilmu pemasaran Hollywood. Ya, sudah capek-capek film ini memasang Harrison Ford dan membayarnya dengan mahal, tentu saja dia harus terlihat bercinta (meski wajahnya sudah penuh keriput) dengan wanita lain.

Apa pun alasannya, plot yang digunakan film ini—berdasarkan novel karya Warren Adler dan ditulis oleh Kurt Luedtke—sungguh mengecewakan, terutama karena Luedtke adalah penulis skenario film Absence of Malice dan Out of Africa.

Konflik dalam karakter Kay Chandler dan Van Den Broeck adalah bagian keberhasilan pengarahan Pollack. Kedua sosok itu adalah karakter yang berada pada dua titik spektrum yang sangat berlawanan. Kay Chandler tetap berkutat dalam penyangkalan diri tentang perselingkuhan suaminya—untuk menjaga perasaan putrinya dan demi kedudukannya sebagai anggota Kongres—sementara Van Den Broeck mengais-ngais masa lalu hingga sampah terakhir agar dia merasa telah "selesai". Chandler tak peduli dengan kebohongan karena dia memilih untuk mengetahui apa yang sudah diketahuinya, sementara Van Den Broeck tenggelam dalam sebuah "investigasi moral" hingga taraf yang obsesif untuk menjawab pertanyaan pribadi: mengapa Peyton jatuh cinta pada lelaki lain?

Tema serupa pernah digarap dalam film Cousins oleh Joel Schumacher—dengan pemain Isabella Rossellini dan Ted Danson—sepuluh tahun silam, meski affair itu terungkap bukan akibat kematian, melainkan berdasarkan insting pasangan-pasangan yang dikhianati (yang kemudian akhirnya malah saling mencintai). Meski Cousins adalah sebuah film komedi romantis, penyelesaian film itu tetap memperlihatkan bahwa hidup selalu jauh lebih kaya dan kompleks dengan berbagai aspek, sehingga cinta tak akan mudah diterjemahkan ke dalam bentuk perkawinan.

Penyelesaian yang begitu mudah dan gampangan memang hanya hidup di Hollywood. Happy ending hanya berhenti di layar putih bioskop. Layar putih, dalam konsep pemasaran Hollywood, bukan sebuah representasi persoalan hidup, melainkan representasi impian dangkal yang harus menggemukkan kocek.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus