Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Super Air Jet membuka pemesanan tiket untuk penerbangan perdana di awal Agustus 2021.
Ketatnya persaingan dan lesunya pasar penerbangan di masa pandemi Covid-19 jadi tantangan.
Ada keuntungan besar bagi pemain baru.
RENCANA pemerintah melonggarkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) secara bertahap pada pekan ini agaknya menjadi angin segar bagi Super Air Jet. Maskapai penerbangan baru yang dikendalikan keluarga Kirana, pemilik Lion Air, Batik Air, dan Wings Air (Grup Lion), ini tengah bersiap menerbangkan armada pesawatnya untuk pertama kali dalam beberapa hari ke depan. "Rencananya 1 Agustus 2021," kata Carolina Lestari, Corporate Communications PT Super Air Jet, lewat pesan WhatsApp kepada Tempo, Rabu, 21 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Carolina belum dapat menjelaskan lebih detail rencana itu. Tapi, dalam pesannya itu, Carolina memang menyebutkan agenda penerbangan perdana harus disesuaikan dengan kebijakan PPKM, yang dimulai pada 3 Juli lalu untuk mengerem lonjakan jumlah kasus Covid-19. Bahkan, hingga Jumat, 24 Juli lalu, fitur pemesanan tiket di Superairjet.com belum menyediakan pilihan pesawat Super Air Jet. Yang tersedia hanya tiket Lion Air dan Batik Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi semuanya berubah sehari kemudian. Pada Sabtu, 24 Juli lalu, situs resmi milik perseroan itu telah menyediakan pilihan pesawat Super Jet Air untuk rencana keberangkatan mulai 1 Agustus, Ahad mendatang. Dari situs itu terlihat bahwa Super Air Jet menjalankan strategi yang sejak awal mereka dengungkan ketika resmi mengantongi sertifikat operator penerbangan (AOC) pada 25 Juni lalu: menjadi pemain baru di segmen layanan pesawat berbiaya murah (LCC) pada rute pendek dan menengah.
Setidaknya tujuh destinasi akan dilayani Super Air Jet pada hari pertama layanannya, yakni Palembang, Padang, Pekanbaru, Medan, Batam, Pontianak, dan Mataram. Pesawat yang melayani destinasi itu terbang sekali setiap hari, dari dan menuju Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Meski demikian, tarif layanan Super Air Jet tak jauh berbeda murahnya dengan pemain lain di segmen LCC.
Harga tiket promosi penerbangan perdana Super Air Jet dari Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, pada Ahad pagi, 1 Agustus 2021, misalnya, sama persis dengan yang ditawarkan Lion: Rp 367.200 per penumpang, sudah termasuk pajak dan bagasi maksimum 20 kilogram. Angka ini sedikit lebih mahal dibanding harga tiket Citilink, anak usaha Garuda Indonesia, yang sebesar Rp 366.210 per penumpang untuk rute dan jam keberangkatan serupa.
Pertanyaannya, mampukah Super Air Jet bersaing di tengah ketatnya kompetisi pasar segmen LCC dan lesunya industri penerbangan di masa pandemi Covid-19?
Sepertinya masih terlalu dini untuk menjawabnya. Yang jelas, dalam siaran pers yang diedarkan pada Selasa, 20 Juli lalu, Super Air Jet menyatakan telah menganalisis potensi di setiap kota tujuan dalam menentukan rute layanan. "Kota tujuan tersebut paling banyak diminati oleh wisatawan dan pebisnis muda," tutur Direktur Utama PT Super Air Jet Ari Azhari.
Optimisme Ari bisa jadi ada benarnya. Setidaknya tiket penerbangan perdana Super Air Jet rute Jakarta-Medan dan Jakarta-Mataram untuk 1 Agustus nanti telah habis terjual.
•••
PANDEMI Covid-19 membawa persoalan lebih berat bagi industri penerbangan yang sepanjang dua tahun sebelumnya telah terpukul oleh pelemahan ekonomi global akibat perang dagang Amerika Serikat dengan Cina. Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) memperkirakan krisis di industri penerbangan dunia belum akan pulih sampai 2024.
Di Indonesia, kinerja industri penerbangan jeblok makin dalam. Kementerian Perhubungan mencatat maskapai penerbangan niaga berjadwal dalam negeri sepanjang tahun lalu hanya melayani 35,37 juta penumpang, berkurang 55 persen dibanding pada 2019. "Dari data yang ada, baik penerbangan domestik maupun internasional mengalami penurunan cukup signifikan dan hal ini dialami semua negara tidak terkecuali," ucap Kepala Bidang Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Budi Prayitno, Sabtu, 24 Juli lalu.
Tantangan saat ini, menurut pengamat penerbangan, Alvin Lie, adalah bagaimana maskapai menyiapkan strategi bisnis, baik dari segi harga maupun penentuan ceruk pasar yang tepat untuk dibidik. Faktor harga menjadi amat penting di tengah pandemi, kata Alvin, “Karena pelanggan masih membutuhkan jasa penerbangan, dengan anggaran lebih kecil.”
Jumlah penumpang maskapai di segmen LCC, seperti Lion Air, Citilink, dan AirAsia, memang merosot akibat pandemi. Namun penurunannya tak setajam yang dialami pemain di layanan full service seperti Garuda Indonesia, yang tahun lalu jumlah penumpangnya amblas hingga 70 persen. Pangsa pasar GIAA—kode emiten Garuda—sepanjang 2020 tak jeblok lebih dalam lantaran masih ditopang oleh anak usahanya, Citilink, yang kinerja layanannya hanya tergerus 54 persen.
Penumpang menaiki pesawat ATR 72-600 milik maskapai penerbangan Citilink di Bandara Jenderal Besar Soedirman, Purbalingga, Jawa Tengah, 3 Juni 2021. ANTARA/Idhad Zakaria
Alvin menilai strategi keluarga Kirana membangun maskapai baru bisa menjadi solusi untuk menjawab tuntutan harga murah. Akibat pandemi, banyak maskapai di seluruh dunia yang tumbang dan mengembalikan pesawat-pesawat sewaan. Pemilik pesawat dan manajer pembiayaan untuk penyewaan (lessor) di luar negeri pun kini juga terpaksa membanting harga. “Ini bisa dimanfaatkan untuk pengadaan pesawat dengan harga yang jauh di bawah harga normal,” ujarnya.
Ketika mengumumkan rampungnya sertifikasi operator penerbangan Super Air Jet pada 25 Juni lalu, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengungkapkan bahwa maskapai dengan kode penerbangan IU ini setidaknya telah memenuhi syarat menguasai tiga pesawat. Kala itu, Super Air Jet disebut memiliki satu unit pesawat dan menyewa dua pesawat. Jumlah ini agaknya telah bertambah jika melihat jumlah rute yang mereka terbangi mulai 1 Agustus nanti.
Masalahnya tinggal di penentuan rute dan ceruk pasar yang akan digarap. Di mata Budi Prayitno, kota-kota tujuan yang disiapkan Super Air Jet untuk penerbangan dari dan menuju Jakarta punya rekam jejak cukup baik, setidaknya sebelum dihantam Covid-19. "Load factor-nya 70-75 persen di 2019," tutur Budi.
Kinerja tingkat keterisian kursi itu pula, dalam perkiraan pengamat penerbangan, Ziva Narendra Arifin, yang menjadi pertimbangan utama Super Air Jet untuk menjalankan penerbangan perdananya. Ziva menilai rute tujuan Palembang, Batam, Pontianak, dan Padang sebenarnya tak cocok dengan pasar milenial, yang diklaim Super Jet menjadi sasaran bisnis dengan tagline “I Love U”—gubahan kode penerbangan IU. Empat kota itu selama ini menjadi destinasi sekunder yang lebih dimanfaatkan oleh pekerja.
Anak muda, kata Ziva, selama ini justru lebih banyak menggunakan layanan penerbangan tujuan bandara utama, seperti Ngurah Rai, Badung, Bali; Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara; Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur; dan Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan. Itu sebabnya Ziva memperkirakan rute Super Air Jet saat ini hanya bagian dari strategi memperkenalkan diri kepada konsumen sekaligus mengukur potensi pasar. "Kalau tujuannya yang penting buka dulu, orang familier, itu masih masuk akal," ujar Ziva.
Analisis Ziva bisa jadi ada benarnya. Direktur Utama PT Super Air Jet Ari Azhari dalam siaran pers, Selasa, 20 Juli lalu, menegaskan bahwa maskapainya akan terus mengembangkan rute penerbangan. “Nantinya dapat merambah ke rute-rute internasional,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo