Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah membenahi sistem pengaduan konsumen khusus untuk industri pinjam meminjam online (fintech lending). Direktur Pelayanan Konsumen OJK Agus Fajri menuturkan hal itu tak lepas dari maraknya laporan pengaduan yang masuk dalam setahun terakhir, serta pesatnya pertumbuhan platform fintech lending. “Tapi masalahnya kan tidak semua platform itu terdaftar, dan konteksnya ketentuan dan aturan kami hanya dapat diberlakukan kepada yang legal, yang ilegal bukan domain kami,” ujarnya, kepada Tempo, Jumat 14 Desember 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Agus mengatakan dalam waktu dekat otoritas memerintahkan seluruh pelaku fintech lending yang terdaftar untuk mengintegrasikan dan mengoneksikan sistem pengaduannya, sehingga dapat dipantau dengan mudah. “Kami sudah keluarkan surat agar mereka connect ke jaringan kami, tunjuk siapa penanggungjawabnya untuk bisa mengakses sistem,” ucapnya.
Dengan sistem yang terintegrasi tersebut, nantinya setiap ada aduan konsumen yang masuk baik langsung kepada platform tersebut, ataupun melalui media pengaduan OJK secara otomatis akan muncul dan dapat diawasi. “Jadi kalau ada pengaduan masuk ke kami, fintech-nya juga tahu nanti, dan alurnya kami minta mereka bersskan dulu, kalau tidak selesai baru kami bantu jadi perantara.”
Agus tak menampik jika OJK memang menerima sejumlah pengaduan maupun konsumen tentang fintech lending yang disampaikan melalui telepon, email, maupun website. “Ada yang tanya tentang legalitas fintech, ada yang minta penjelasan kontrak yang benar seperti apa, sah atau tidak kalau bunga pinjamannya sekian, hingga penagihan juga ada,” ucapnya.
Menurut Agus, selama ini penyelesaian pengaduan yang dilakukan adalah dengan meneruskannya langsung kepada pengawas fintech lending OJK. “Tapi harus validasi dulu kalau benar mereka fintech legal yang ada di bawah pengawasan kami akan dipanggil oleh pengawas dan ditindaklanjuti, kalau salah harus minta maaf ke konsumen,” katanya. Sedangkan, untuk penangan aduan fintech ilegal selama ini langsung diteruskan kepada Satuan Tugas Waspada Investasi. “Setelah itu biasanya diteruskan ke Kominfo untuk diblokir aplikasinya.”
Selanjutnya, OJK juga tengah menyiapkan pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) khusus fintech. Lembaga itu nantinya akan berfungsi sebagaimana LAPS yang sudah ada saat ini untuk industri jasa keuangan lain, seperti perbankan, asuransi, dan lembaga pembiayaan.
“Sejauh ini memang penanganan pengaduan fintech belum sempurna seperti penanganan di lembaga yang sudah established seperti perbankan, dan meskipun baru fintech wajib punya makanya kami inisiasi pembentukannya.”
Agus mengatakan saat ini secretariat sudah terbentuk, namun otoritas masih harus menyiapkan pihak-pihak yang akan terlibat di dalam LAPS khusus kompartemen fintech ini. “Memang tidak mudah, karena kami harus mencari yang benar-benar ahli di bidangnya, seperti dari industri atau asosiasi, kami sedang cari siaoa yang kira-kira bisa pas, dan jangan terkesan serampangan harus dipilih dengan benar,” katanya. LAPS ni pun ditargetkan telah terbentuk dan siap difungsikan tahun depan.
Sementara itu, OJK kemarin juga telah memanggil Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta perihal pengumpulan laporan pengaduan yang dilakukan. LBH menyatakan sudah menerima 1.330 pengaduan atas layanan jasa keuangan berbasis digital. Dari total 89 penyelenggara yang dilaporkan, sebanyak 25 di antaranya merupakan perusahaan yang terdaftar di OJK. Aduan yang masuk antara lain soal intimidasi dalam penagihan utang, penyebaran data pribadi peminjam, hingga bunga pinjaman yang mencekik.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan dalam menindaklanjuti laporan tersebut, otoritas terkendala pada kelengkapan berkas yang diberikan oleh LBH. Sebab, mereka belum memberikan nama dan identitas jelas fintech lending legal yang ddiduga melakukan pelanggaran. “Kami baru diberikan inisial saja, belum ada laporan dengan bukti yang sah dan kuat mengenai pelanggaran itu,” katanya.
Meski demikian, menurut Hendrikus otoritas sudah mulai melakukan penyeldidikan terhadap sejumlah nama inisial perusahaan yang diduga melanggar. “Kalau terbukti secara sah akan kami tindak lanjuti, sanksinya mulai dari teguran hingga pencabutan tanda terdaftar.”
Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait beralasan belum diberikannya nama 25 perusahaan fintech legal itu dikarenakan masih harus berkoordinasi dengan para korban. Namun, lembaganya berjanji dalam beberapa hari ke depan akan segera melengkapinya. “Yang penting yang utama harus diselesaikan adalah sistem yang dibuat OJK untuk menyelesaikan permasalahan ini,” ujarnya.
GHOIDA RAHMAH | CHITRA P.