Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tahun Kebat-kebit Untuk Tekstil

Edenganar Jenkin mengusulkan RUU yang membatasi masuknya tekstil & pakaian jadi dari negara-negara Asia, untuk mengatasi rawannya pasaran tekstil AS yang bangkrut. Bila terjadi, ekspor dari Indonesia akan terpangkas. (eb)

5 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Edgar Jenkin sudah hampir setahun ini sangat populer di kalangan eksportir tekstil dan pakaian jadi. Anggota Kongres dari Negara Bagian Georgia ini, memang, jadi bahan percakapah garagara mengusulkan lahirnya suatu RUU yang akan membatasi masuknya tekstil dan pakaian jadi dari 20 negara Asia. Jika rancangan itu diterima, maka ekspor tekstil dan pakaian Indonesia akan dipangkas 81% dari nilai ekspor 1984. Sementara itu, Muangthai dan Filipina, misalnya, terpotong 64% dan 21%. Pahit memang Jenkin Bill, yang secara resmi disebut Textile and Apparel Trade Enforcement Act, bagi para eksportir ASEAN. Pelbagai usaha sudah dilakukan dengan, misalnya, meyakinkan misi pencari fakta Kongres AS yang mengunjungi kawasan ini, Agustus lalu. Tapi mereka seperti tak peduli terhadap bakal terpukulnya industri tekstil dan pakaian jadi di sini yang menyerap banyak tenaga kerja itu. Buktinya, pekan lalu, 22 dari 36 komite Kongres sudah menyetujui untuk membawa RUU itu ke sidang penuh House of Representative. Kabarnya, jika mayoritas dari komite itu sudah meloloskannya, maka pemungutan suara yang akan dilakukan dua atau tiga minggu mendatang akan mulus menggolkan Jenkin Bill itu - sekalipun Presiden Reagan akan memvetonya. Kepala negara ini, yang mengkhawatirkan UU proteksionistis itu bakal memancing tindakan balasan, memang kelihatan paling gigih menentang usul Ed Jenkin. "Kita tidak ingin melancarkan perang dengan negara lain," katanya didepan para pengusaha, pekan lalu. "Kebijaksanaan perdagangan kita tetap bertumpu pada asas kebebasan dan pasar terbuka." Reagan tampaknya tidak ingin upaya menutup defisit perdagangan Amerika, yang akan menggelembung sampai US$ 150 milyar tahun ini, dilakukan seketika dengan memperkenalkan sejumlah beleid proteksionistis. Untuk mengatasinya, ia lebih suka jika para pengusaha memperkuat usaha ekspor - sesudah dolar nilainya ditekan lewat intervensi pasar terbuka. Supaya usaha menembus pasar luar negeri itu berhasil, pemerintah dan Kongres diminta bekerja sama menyediakan dana US$ 300 juta untuk meningkatkan daya saing barang Amerika. Kongres rupanya berpendapat lain: Defisit perdagangan, yang menyebabkan banyak industri Amerika gulung tikar itu, hanya bisa diatasi dengan membatasi masuknya barang-barang impor. Karena itu, tak heran jika kemudian ada 300 RUU perdagangan yang kebanyakan ingin mengamankan neraca perdagangan Amerika, masuk lewat Kongres. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Brasil juga bakal dijegal dengan salah satu RUU, yang mengharuskan mereka mengurangi surplus perdagangannya. Kalau tidak, ekspor barang mereka akan dikenai bea masuk tambahan 25%. Banjir barang-barang impor memang cukup merepotkan industri Amerika. Industri tekstil, baja, mobil, dan sepatu di sana rupanya sangat sulit bersaing. Tingginya gaji, lambatnya usaha restrukturisasi, dan makin kuatnya dolar dianggap sebagai sejumlah biang kerok yang menyebabkan barang lokal mahal dan kalah mutunya. Karenanya, tak heran jika banyak industri, yang penjualannya merosot, tak lama kemudian menutup usaha mereka. Di sektor industri tekstil, misalnya, sejak 1980 sampai pertengahan 1985 tercatat 250 pabrik bangkrut - 48 di antaranya terjadi tahun ini. Usaha meningkatkan daya saing, dengan menekan biaya produksi, juga sudah dirintis: sebuah mesin, yang bisa menghasilkan potongan jas pria dalam waktu sedetik, misalnya, coba diperkenalkan. Tapi restrukturisasi teknologi itu dianggap ketinggalan zaman jika harus bersaing dengan rendahnya upah tenaga kerja di negara-negara pengekspor tekstil dan pakaian. Belum puas dengan cara itu, para industrialis tekstil dan pakaian lalu bekerja sama memasarkan produk mereka melalui jaringan pengecer. Cara itu diduga telah mampu mengurangi harga pakaian lokal hingga 15%. Toh, masih belum mempan juga. Edgar Jenkin kelihatan gusar sekali melihat pada kenyataan hampir semua negara berkembang memusatkan pasar tekstil dan pakaiannya ke Amerika. Kata anggota Kongres ini pada TEMPO, negara maju seperti Jepang, Masyarakat Eropa, dan Kanada sayangnya tak mau memikul kelebihan produksi dari negara-negara berkembang ini. Seandainya negara-negara maju itu mau menampung, semua pihak tentu akan senang. "Perkembangan ekspor mereka yang pesat telah mencapai keadaan yang berada di atas kepasitas daya serap pasar kami," katanya. Menurut dugaan, jika usaha pengendalian itu tidak dilakukan, pada 1990 nanti sekitar 80% pasar Amerika akan dikuasai tekstil dan pakaian impor. Dan itu akan mengakibatkan 915 ribu orang kehilangan pekerjaan. Menghadapi ramalan suram itu, banyak industrialis tekstil Amerika mengecam asas pasar bebas versi Presiden Reagan. "Kita mengorbankan industri dasar negeri ini di atas altar perdagangan bebas," ujar seorang pengusaha kepada majalah Business Week. Semangat proteksionistis Kongres dan Senat Amerika itu, tentu saja, merugikan kepentingan pemerintah dan pengusaha Indonesia. Sebab, jika Jenkin Bill tadi diterima, maka posisi ekspor tekstil dan pakaian Indonesia mulai 1985 akan dikembalikan pada posisi ekspor tahun 1980 plus kenaikan ekspor 6% setiap tahun. Kalau itu terjadi, maka ekspor tekstil dari sini, tahun 1985 ini, hanya diperbolehkan senilai US$ 10,3 juta plus kenaikan 6% setiap tahun. Padahal, kenaikan pesat justru terjadi sesudah tahun itu, hingga 1984 lalu ekspornya menggelembung sampai US$ 234 juta (lihat: Grafik). Jumlah sebesar itu kira-kira hampir separuh dari seluruh ekspor tekstil dan pakaian (produk tekstil) Indonesia. Jadi, bisa dimengerti kalau di sini banyak yang kebat-kebit menghadapi Jenkin Bill itu. Pengurangan tenaga kerja (jumlahnya di sektor industri tekstil dan pakaian ditaksir lebih dari 1,5 juta orang), mungkin, akan terjadi. Padahal waktu boom ekspor empat tahun terakhir ini pun, tenaga mereka hanya dihargai US$ 0,22 per jam (pada 1984). Padahal, di negeri melarat seperti Sri Lanka dan India, upah pekerja tekstil sudah US$ 0,28 dan US$ 0,71 per jam. Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus