PAKAIAN jadi yang masuk ke Amerika, sejak 1980, lipat dua: menjadi sekitar US$ 20 milyar di tengah-tengah mandeknya angka penjualan. Angka ini jelas mengkhawatirkan kalangan pengusaha di sana. Usaha membendung kemudian dilakukan dengan melakukan otomatisasi, mengontrol biaya secara lebih baik, dan melancarkan kampanye seharga US$ 11 juta: "Belilah Barang Amerika". Toh, belum menolong. Sebuah rancangan lalu disiapkan Edgar Jenkin, anggota Kongres dari Partai Republik dari Georgia, untuk membantu industrl lokal itu. Lucunya, Masyarakat Eropa, Kanada, dan Karibia dikecualikan dari ketentuan pembatasan itu. Tidak aneh kalau seorang anggota Kongres menyebut Jenkin Bill itu merupakan RUU untuk orang-orang kulit putih. Benarkah? Berikut ini wawancara wartawan TEMPO Bambang Harymurti dengan Ed Jenkin, melalui telepon New York-Washington. Apa latar belakang Anda mengajukan RUU ini? Ada beberapa masalah yang kami hadapi yang tak dimengerti banyak negara berkembang: penduduk dari negara ketiga yang datang mencari suaka politik maupun yang datang untuk memperbaiki hidup. Industri tekstil dan pakaian jadi merupakan salah satu lapangan kerja yang terbuka bagi mereka. Kebanyakan industri ini berada di kota kecil, dan jika bangkrut, akan menimbulkan masalah pelik pengangguran. Kalaupun RUU ini disahkan, maka 40% pasar Amerika terap akan dikuasai tekstil dan pakaian impor. Keluhan saya adalah negara maju lain di dunia tidak ikut menampung kelebihan produksi ini. Kenyataannya, Indonesia membeli lebih banyak kapas dari AS dibandingkan AS membeli tekstil dan pakaian jadi dari Indonesia. Adilkah ini? Memang Amerika pernah menghasilkan kapas dalam jumlah besar dan menjualnya keluar. Karena beberapa sebab, antara lain nilai dolar semakin kuat, Amerika tergeser dari sini. Karena itu, kapas dari Cina bisa dijual di bawah harga kapas kami. Mengapa RUU ini mengecualikan Masyarakat Eropa, Kanada, dan Karibia? Tidak ada diskriminasi. Kebetulan persoalan itu muncul dari para penyuplai utama, seperti Taiwan dan Hong Kong. Masyarakat Eropa dan Kanada tidak menimbulkan persoalan karena mereka menghasilkan tekstil dan pakaian di sektor kualitas tinggi (high grade). Tapi RUU ini berlaku juga untuk Swiss dan Spanyol. Indonesia dengan penduduk 160 juta ekspornya hanya 10% Hong Kong yang berpenduduk 10 juta. Apakah fakta ini tidak perlu dipertimbangkan? Dalam pandangan saya, negara yang lebih sulit seperti Indonesia seharusnya memiliki kesempatan lebih besar. Hong Kong adalah penyuplai besar yang harus dipangkas besar-besaran. Indonesia mengembangkan industri tekstilnya, antara lain, karena mengikuti anjuran Bank Dunia - artinya, kurang lebih seirama dengan beleid ekonomi AS. Lalu mengapa sekarang terjadi begini? Saya mengerti kalau Indonesia kecewa. Saya mengetahui bahwa industri tekstil Indonesia selama tiga Pelita dibangun dengan segala daya dan kemudahan. Seandainya kami hanya menerima tesktil dari Indonesia dan Muangthai saja, tak ada masalah. Tapi sekarang kami dipaksa menampung 65% produksi tekstil dan pakaian dunia. Anda mengajukan RUU ini berdasarkan kepentingan nasional, tapi apakah dampak politik internasionalnya sudah diperhitungkan? Tentu saja. Tugas utama saya adalah mewakili distrik saya di Georgia yang banyak memiliki industri tekstil dan pakaian jadi. Tapi saya juga memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Buktinya, saya tidak menyuruh setop semua impor tekstil dan pakaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini