Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IDUL Fitri tahun ini bakal terasa berbeda buat Supriyadi. Menjelang Hari Raya itu, Oktober mendatang, ia tak perlu lagi antre berjam-jam berebut tiket mudik ke Semarang, kota asalnya, seperti dilakoninya saban tahun. Sebuah mobil bekas baru dibelinya pekan lalu. ”Supaya enggak repot membawa anak saya yang masih bayi,” kata Supriyadi, yang tiga bulan lalu baru dikaruniai seorang putra.
Sebagai imbalannya, karyawan perusahaan telekomunikasi ini kini harus merogoh kocek Rp 3 juta per bulan untuk membayar angsuran selama tiga tahun. ”Berat, memang,” ujarnya. Tapi ia tampaknya tak mau kehilangan momentum penurunan suku bunga.
Pada kuartal kedua lalu, bank sentral memang kembali menurunkan suku bunga menjadi 8,5 persen pada Juni, dari 9 persen pada Maret. Bank-bank pun kemudian menurukan suku bunga kredit. ”Faktor ini yang menjadi pendorong utama lonjakan pembelian mobil,” kata Presiden Direktur Indomobil Sukses Internasional, Gunadi Sindhuwinata, pekan lalu.
Menurut Gunadi, penurunan suku bunga kredit memang merupakan faktor penting dalam industri otomotif. Sebab, sebagian besar pembelian mobil di dalam negeri menggunakan sistem kredit. Berkat penurunan inilah, animo masyarakat membeli mobil pun meningkat. Tak hanya mobil baru, mobil bekas pun laris manis.
Ruang pamer Ben Mobilindo di kawasan Tomang, Jakarta Barat, termasuk salah satu yang ramai disambangi calon pembeli. Menurut Ai, seorang karyawannya, 63 unit mobil bekas telah terjual pada Juli lalu. Padahal biasanya target yang dipatok cuma 40 unit. Apalagi ketika banjir melanda Jakarta, Februari lalu. ”Sebulan cuma laku 20 unit,” katanya. Di Surabaya, mobil bekas pun cukup ramai dilirik pembeli. Rata-rata terjual 20-30 buah per bulan. ”Ada peningkatan dibanding tahun lalu,” kata Ketua Ikatan Pedagang Perantara Mobil Jawa Timur, M. Sjafri.
Penjualan mobil dengan sistem tunai pun meningkat signifikan. Dealer Astrido Toyota cabang Kelapa Gading, Jakarta, misalnya, pada periode April-Juni lalu berhasil melego 92 unit mobil baru per bulan. ”Ini kenaikan cukup signifikan bagi kami, setelah tutup 10 hari saat banjir Februari lalu,” kata Astrilia, Customer Service Coordinator Astrido, pekan lalu.
Dengan meningkatnya animo konsumen, perusahaan distributor otomotif mencatat kenaikan tajam penjualan mobilnya pada triwulan kedua lalu, dibanding triwulan sebelumnya. Penjualan Toyota meningkat lebih dari 8.000 unit menjadi 38.598 unit. ”Kenaikannya lebih dari 21 persen,” ujar Widyawati, General Manager Marketing Planning Toyota Astra Motor. Akibat lonjakan itu, menurut Ardian Nur, Manajer Operasi Toyota Jawa Timur, pihaknya pun kewalahan. ”Pembeli harus menunggu barang dua bulan,” ujarnya.
Cerita serupa datang dari PT Indomobil Sukses Internasional. Penjualan mobilnya ke pasar domestik sepanjang enam bulan pertama tahun ini mencapai hampir 39 ribu unit, meningkat sekitar 53 persen dari periode yang sama tahun lalu. Dalam ajang Pekan Raya Jakarta Juni-Juli lalu, 2.000 unit produknya ludes terjual.
Secara nasional, menurut Gunadi, mobil yang terjual di dalam negeri sepanjang semester pertama tahun ini mencapai 197 ribu unit. Angka ini lebih tinggi 26 persen ketimbang tahun sebelumnya, yang hanya 158 ribu unit. Lonjakan terutama terjadi pada kuartal kedua. ”Akibat pengaruh penurunan suku bunga pada awal tahun, yang dampaknya baru terasa pada Mei-Juni,” kata Gunadi.
Menurut taksiran Widyawati dan Gunadi, pasar otomotif nasional masih akan terus tumbuh hingga akhir tahun ini—meski sedikit menurun pada Juli akibat pengeluaran biaya sekolah memasuki tahun ajaran baru. Selain karena kondisi perekonomian yang kian stabil, ”Biasanya terdapat kenaikan penjualan 10-20 persen menjelang Lebaran,” kata Widyawati.
KENAIKAN penjualan mobil di dalam negeri, menurut survei Danareksa Research Institute, merupakan salah satu indikator utama perbaikan ekonomi sepanjang kuartal kedua lalu. Perbaikan perekonomian yang tercermin pada terus meningkatnya coincident economic index (CEI) ini terlihat pula dari kenaikan konsumsi semen, nilai total impor, dan penjualan retail.
Dalam periode satu tahun ke depan, prospek perekonomian Indonesia juga diperkirakan masih cukup menjanjikan. Tren kenaikan leading economic index (LEI) pada triwulan kedua, yang terutama dipicu oleh peningkatan kedatangan turis mancanegara, persetujuan investasi asing, indeks harga saham gabungan, dan penguatan nilai tukar rupiah, menjadi salah satu barometernya.
Keberhasilan itu dicapai berkat upaya pengendalian tingkat inflasi setahun belakangan ini, sehingga memungkinkan bank sentral tetap mempertahankan suku bunga rendah. Semakin terkendalinya harga beras pada triwulan kedua—juga karena masa panen padi—telah mengurangi tekanan terhadap daya beli masyarakat sehingga menstabilkan perekonomian.
Dengan perbaikan kondisi makro perekonomian itu, persepsi para pebisnis pun kian positif. Data indeks sentimen bisnis yang diperoleh dari hasil survei Danareksa terhadap 700 eksekutif kepala (CEO) menunjukkan bahwa persepsi positif para pimpinan top perusahaan itu terus meningkat—indeks naik dari 115 menjadi 123 pada periode Januari-Mei 2007.
Mereka pun memperkirakan kondisi perekonomian akan terus membaik. Buktinya, jika suara CEO yang menyatakan kondisi perekonomi saat ini dalam keadaan baik hanya 18 persen, untuk kondisi enam bulan ke depan suara itu membengkak menjadi 32 persen.
Persoalannya, survei juga menunjukkan bahwa kue pertumbuhan ekonomi itu tak terbagi merata. Hanya kalangan menengah atas berpenghasilan di atas Rp 1,5 juta yang lebih banyak menikmatinya. Masyarakat kalangan menengah-bawah masih harus bergulat dengan impitan kenaikan harga minyak goreng, minyak tanah, dan susu.
Itu sebabnya, meski ekonomi tumbuh, proses pemulihan popularitas pemerintah—yang remuk sejak kenaikan harga bahan bakar minyak pada Oktober 2005—tak berjalan seiring. Hanya di kalangan menengah atas tingkat kepercayaan konsumen berangsur pulih. Sedangkan di kalangan menengah bawah masih terus terpuruk.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, termasuk yang sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati kelas menengah atas. ”Ada gap yang makin besar,” ujarnya. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan rumah tangga, yang membuat masyarakat kelas menengah bawah kian terjepit.
Menurut ekonom Danareksa, David E. Sumual, dalam laporan bulanannya Juli lalu, pemerintah boleh dibilang gagal mengendalikan harga minyak goreng. Meski kenaikan pada Juni hanya 6 persen—lebih rendah dari April (10 persen) dan Mei (15 persen)—harganya masih tinggi: di atas Rp 7.000 per kilogram. Buat masyarakat di pedesaan, ini jelas pukulan berat. Apalagi pada akhir Juni lalu, masa panen mereka telah usai.
Sofjan pun memberikan sejumlah catatan atas keberhasilan pemerintah menggenjot perekonomian. Menurut bos Grup Gemala ini, kemajuan di sektor manufaktur, yang berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, masih terbilang lelet.
Mesin perekonomian masih lebih banyak ditopang oleh sektor industri berbasis sumber daya alam dan energi, seperti kelapa sawit dan batu bara, yang mendapat berkah dari lonjakan harga produknya di pasar dunia. ”Sedangkan di manufaktur, investasi masih belum masuk,” kata Sofjan.
Hal lain yang perlu diwaspadai, menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri, M.S. Hidayat, adalah gejolak pasar keuangan dunia akibat rontoknya perusahaan pendanaan perumahan di Amerika Serikat. ”Orang mulai menjual saham dan keluar dari Indonesia,” katanya. Imbasnya, rupiah melemah, dan jika berlanjut sangat berbahaya. ”Jangan sampai crash.”
Metta Dharmasaputra, D.A. Candraningrum, M. Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo