DEPOSITO yang jatuh tempo dalam dua pekan awal November ini menimbulkan kebimbangan bagi pemiliknya. Apakah deposito dibiarkan mengendap di bank dan otomatis diperpanjang ataukah ditahan dulu? Masalahnya, paket deregulasi keuangan, moneter, dan perbankan yang diumumkan pekan silam mulai mengenakan pajak 15% atas bunga deposito. Sehingga, deposito itu, yang tadinya memberikan penghasilan bunga sekitar 1,25%-1,75% per bulan, kini hanya akan berbunga 1,06%-1,48% per bulan. Mereka berharap, bank-bank akan memberikan kompensasi dengan menaikkan suku bunga deposito. Bank BNI, sebagai barometer perbankan Indonesia, sampai Senin pekan ini belum menaikkan suku bunga deposito. Direktur Utamanya, Kukuh Basuki, yang dikutip beberapa koran Sabtu lalu mengatakan mungkin akan menaikkan suku bunga deposito. Tapi Senin sore kepada TEMPO Kukuh mengatakan, "Belum ada alasan kuat untuk menaikkan suku bunga deposito." Wakil Dirut Panin Bank Mu'min Ali Gunawan berpendapat lain. "Saya sangka, masyarakat kaget bahwa bunga depositonya akan dikenai pajak, sehingga perlu diberi terapi. Bank-bank pasti akan menaikkan suku bunga deposito," kata tokoh yang sangat menentukan di Panin Bank itu. (Bekas) Ketua Perbanas I Nyoman Moena juga berpendapat demikian. Ditemui TEMPO seusai membacakan pidato pertanggungjawabannya di Kongres Perbanas, Moena yang juga menjabat Presiden Komisaris Overseas Express Bank, Senin lalu mengatakan, bahwa ada kecenderungan bank-bank akan menaikkan suku bunga deposito dan menurunkan suku bunga pinjaman. Soal pajak atas bunga deposito itu memang tak perlu diperdebatkan lagi. Menko Ekuin Radius Prawiro, didampingi Menpen Harmoko, Menkeu J.B. Sumarlin, Gubernur BI Adrianus Mooy, Mensesneg Moerdiono, Menmuda Keuangan Nasruddin Sumintapura, Kamis pekan lalu telah mengumumkan bahwa pemajakan bunga deposito akan dimulai 14 November mendatang. Berbagai kalangan yang dihubungi TEMPO berpendapat bahwa hal itu adalah keputusan berani, wajar, dan tidak sewenang-wenang. Mengapa berani? Keputusan ini dinilai mengandung risiko bisa terjadinya pelarian modal. Apalagi pengumuman dilakukan ketika harga minyak sedang merosot. Tanpa dikenai pajak pun sudah ada pengusaha yang mengamankan uangnya dalam deposito dolar. Hidayat, direktur perusahaan real estate PT Puteraco Indah di Bandung, terus terang mengakui bahwa sejak tiga bulan lalu sudah menaruh deposito dolar, kendati hanya memperoleh bunga 6,8% per tahun. "Soalnya, kami sudah beberapa kali mengalami pengalaman pahit devaluasi sejak 1978. Karena itu semua modal pinjaman kami dolarkan. Jumlahnya tak sampai 1 juta dollar," tutur Hidayat. Tapi, seperti dikatakan Menko Radius dan Gubernur BI Adrianus Mooy, pemerintah yakin bahwa tidak akan terjadi pelarian modal. Sebab, suku bunga deposito dalam negeri masih jauh lebih menarik dibandingkan suku bunga deposito di luar negeri. Adapun pemajakan deposito itu dianggap wajar karena UU Perpajakan 1984 sudah menetapkan bahwa deposito termasuk obyek pajak penghasilan (PPh). "Adalah kebijaksanaan pemerintah, setelah berdialog dengan para wakil rakyat, maka PPh untuk deposito ditunda untuk sementara," tutur Radius. Alasan penundaan tempo hari antara lain untuk menggiatkan masyarakat menabung, khususnya di bank. Kebijaksanaan itu ternyata sudih memberikan dampak yang cukup positif. Dalam tempo relatif singkat, simpanan masyarakat dalam bentuk deposito di bank-bank berkembang pesat (lihat grafik). Adalah karena usul masyarakat juga, plus kritik, maka pemerintah mempertimbangkan kembali kebijaksanaan penangguhan PPh deposito itu. Kritik itu sebenarnya sudah berkembang sejak 1984. Mengapa dividen dan kupon obligasi di pasar modal dikenai pajak, tapi deposito tidak? Sampai Agustus 1986, Menteri Keuangan (waktu itu Radius Prawiro) dalam wawancara dengan TEMPO mengatakan bahwa belum waktunya deposito dikenai PPh. Alasannya: rata-rata deposan adalah penabung kecil. Jika dipajaki pun, pemerintah tak akan memperoleh banyak tambahan penerimaan. Sementara itu, para penabung di pasar modal bisa meraih keuntungan ganda, yakni dividen dan laba kurs modal (capital gain) yang tak kena pajak. Tapi diskusi-diskusi perpajakan yang mulai menghangat sejak akhir tahun silam akhirnya melihat alasan pemerintah ternyata kurang kuat. Seperti dikatakan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin di Departemen Penerangan pekan silam, pemerintah mulai mempertimbangkan pengenaan pajak bunga deposito setelah ada diskusi-diskusi perpajakan menjelang Repelita V. Diskusi-diskusi yang disebutkan Sumarlin tadi dirangkum dalam majalah Barometer Pajak yang beredar pekan silam, diterbitkan Kelompok Pengamat Perpajakan Yayasan Bina Pembangunan (kini lembaga itu bernama Center For Fiscal and Monetary Studies). Diskusi pertama dilakukan bulan Oktober 1987 di Jakarta, oleh Kelompok Pengamat Perpajakan bersama majalah TEMPO. Dari sini kemudian berkembang dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia Februari 1988 di Padang. Diskusi serupa, yang juga disponsori pers, berlanjut di Jakarta pada 16 April 1988, yang diikuti beberapa pakar ekonomi dari Universitas, pengusaha, kalangan perbankan, dan anggota DPR RI. Dari diskusi-diskusi, tampak bahwa penangguhan pajak bunga deposito itu sebenarnya merupakan suatu kelemahan dalam sistem perpajakan Indonesia. Kelemahan itu berdasarkan pertimbangan konsistensi peraturan/perundang-undangan, keadilan dalam memikul beban pajak, redistribusi pendapatan, dan pertumbuhan pasar modal. Pendapat Soemarso S.R., dosen di FE-UI yang juga menjadi salah satu Ketua Ikatan Akuntan Indonesia tersebut, antara lain didukung osen FE-UGM Guritno Mangkoesoebroto, anggota DPR dari FKP Bomer Pasaribu, dan Harris Norman dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. Kelemahan utama menyangkut rinsip keadilan. "Pengecualian pajak atas bunga deposito menimbulkan diskriminasi atas penggunaan tenaga kerja, sehingga pemerintah seolah-olah tidak menghargai kerja," tulis Barometer Pajak. Misalnya ada dua orang berpenghasian Rp 500.000 sebulan. Yang seorang memperoleh hasil itu dari kerja keras. Tapi ia harus membayar PPh 15% atau Rp 75.000. Sementara seorang lagi enak-enak memperoleh Rp 500.000 sebulan, tanpa kerja keras dan tidak membayar pajak, karena penghasilannya dari bunga deposito yang diwariskan orangtuanya. Tingginya bunga deposito juga telah merangsang beberapa pemilik modal cenderung menyimpan uangnya dalam deposito daripada melakukan investasi usaha yang pada akhirnya tak akan menolong menciptakan kesempatan kerja. Kalangan perbankan juga setuju pada pengenaan pajak deposito, asalkan rahasia bank tetap terjamin. Kalangan Bapepam dan PT Danareksa jelas sangat mendukung. Karena kebijaksanaan ini diharapkan akan menggairahkan pasar modal. Tapi bukan berarti tidak ada yang kontra. Beberapa pengusaha khawatir, pemajakan bunga deposito akan menyebabkan pelarian modal keluar negeri. Mereka mengusulkan lebih baik suku bunga deposito diturunkan daripada memajaki deposito. Sebagian anggota DPR tidak setuju. Alasan mereka: pajak bunga deposito tidak akan memberikan tambahan penghasilan yang berarti bagi pemerintah, sementara masih ada peluang lain yang belum digarap secara intensif. Jika Keppres 1984, yang menangguhkan PPh deposito itu dihapus, maka kebijaksanaan lain, seperti pemutihan kekayaan, juga harus dicabut. Sebagian pakar ekonomi berpendapat bahwa kepercayaan terhadap rupiah perlu ditegakkan dulu. Selama masih ada kekhawatiran terhadap devaluasi, pengenaan pajak terhadap bunga deposito akan menimbulkan kerawanan-kerawanan moneter. Di antara kedua kubu pro dan kontra itu ada kelompok netral. Kalangan perbankan melihat bahwa pajak deposito sebenarnya bisa memberikan tambahan penghasilan yang lumayan bagi pemerintah, asal dilaksanakan secara hati-hati. Segala usul dan pertimbangan kelompok moderat itu secara diam-diam rupanya sudah dibahas Kabinet Pembangunan V. Dan hasilnya, tertuang dalam paket deregulasi yang diumumkan 27 Oktober 1988 itu. Menurut Menko Ekuin Radius, pemajakan bunga deposito itu bukan dimaksudkan untuk mencari tambahan penghasilan pemerintah karena merosotnya harga minyak. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa PPh 15% yang dihitung final itu (tidak berjenjang sebagaimana menurut UU Perpajakan bahwa pendapatan sampai Rp 10 juta dikenai PPh 15%, di atas itu sampai Rp 50 juta kena PPh 25%, dan di atas Rp 50 juta kena PPh 35%), toh akan memberikan tambahan pendapatan APBN yang lumayan dalam Repelita mendatang. Kalau jumlah deposito bisa bertahan sekitar Rp 20 trilyun dengan bunga 18% per tahun, maka PPh 15% itu akan menghasilkan sekitar Rp 540 milyar. Ini cukup besar bagi penciptaan kesempatan kerja, jika dimanfaatkan untuk proyek-proyek Inpres kabupaten dan kecamatan, umpamanya. Alasan pemerintah bahwa pemajakan bunga deposito akan merangsang pasar modal masih menjadi tanda tanya. Menurut Nyoman Moena, dewasa ini para investor memang bisa memilih investasi ke pasar uang perbankan atau ke saham-saham dan obligasi di pasar modal. Dua-duanya kena pajak. Tapi terselip faktor lain yang harus diperhitungkan investor untuk terun ke pasar modal. "Beberapa perusahaan memang memberikan prospek bagus. Kalau perusahaan untung besar, investor akan menikmati dividen dan kenaikan kurs saham. Kalau perusahaan merugi, investor tak menerima apa-apa," ujar Moena. Beberapa pengusaha asuransi, yang secara teori mestinya menjadi penunjang utama pasar modal, ternyata masih akan cenderung menyimpan uang dalam deposito. Masalahnya, dunia perasuransian dalam 7 tahun terakhir ini sering menghadapi klaim. Sehingga mau tak mau, "Harus menjaga tingkat likuiditas tinggi," kata Wiryanta A. Tjindarbumi, 56 tahun, seorang pengamat asuransi. Dalam keadaan demikian, sulit bagi perusahaan asuransi untuk bermain di pasar modal yang berbau spekulasi. "Asuransi 'kan menjual jasa kepercayaan. Kalau kita bermain dalam spekulasi, bagaimana nasabah bisa percaya," tutur sarjana ekonomi dari Universitas Heidelberg itu. Apalagi menurut Tjindarbumi, fasilitas obligasi dan saham di pasar modal mestinya lebih likuid dari deposito. Hari ini dibeli, hari itu juga bisa dicairkan. Tapi nyatanya, proses jual-beli saham di bursa Jakarta bisa berhari-hari. "Kalau bursa sudah berjalan sebagaimana mestinya, misalnya saham bisa dialihkan dalam sekejap, kami mungkin tertarik," kata Tjindarbumi, yang juga menjabat Direktur Pengelola PT Maskapai Asuransi Umum Wuwungan. Pendapat serupa dikemukakan Amir Imam Puro, Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwa Indonesia (AJI). BUMN yang ikut menanggung asuransi satelit Palapa ini, menyimpan dana sebagian besar dalam deposito atau promes LKBB. "Hanya sekitar Rp 2,5 milyar atau 3% aset AJI yang ditanamkan dalam saham-saham di bursa Jakarta," tutur Amir. Perusahaan asuransi jiwa juga belum berambisi bermain di pasar modal. Sitandang, S.H., Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih, mengatakan perusahaannya masih lebih mengandalkan deposito, kendatipun untuk investasi jangka panjang. "Kini setelah deposito kena pajak, kami mungkin mempertimbangkan menanam uang lebih banyak di bursa," kata Sitandang. Nah. Jika pemilik uang sudah bisa memilih bermain di deposito atau saham, apakah sumber-sumber permodalan akan menjadi efisien, masih harus ditunggu. Ataukah masih perlu bermain swap? (Lihat: Kebijaksanaan Swap) Max Wangkar, Sidartha Pratidina, Moebanoe, dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini