Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA kapal perang itu sudah sebulan mondar-mandir di perairan Bangka Belitung. KRI 727 Pulau Rangsang, KRI 816 Warakas, dan KRI Krait datang dari pangkalan mereka di Natuna atas pesanan Kolonel Hendra Kusuma, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Bangka Belitung. Kapal-kapal tersebut tiba menjelang akhir Juni lalu, bersamaan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo di provinsi pecahan Sumatera Selatan itu.
Presiden yang akrab dipanggil Jokowi ini membawa satu misi dan instruksi khusus ke sana. Dia minta agar penambangan dan ekspor timah ilegal dihentikan karena merusak lingkungan dan merugikan keuangan negara. Hendra menyambutnya dengan menyiapkan anak buah untuk membantu memberantas penyelundupan melalui laut. "Kami menunggu perintah," katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Beberapa hari sepulang dari Bangka Belitung, Presiden menggelar rapat terbatas membahas timah bersama beberapa pembantunya. Hadir antara lain Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot, Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti, hingga Direktur Utama PT Timah (Persero) Sukrisno. Sekali lagi Jokowi menegaskan pentingnya menertibkan ekspor timah, agar Indonesia bisa ikut menentukan pasar komoditas ini.
Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan selama bertahun-tahun timah ilegal membanjiri pasar dunia. Inilah yang membuat Indonesia sebagai produsen terbesar kedua tak mampu mengendalikan harga timah internasional. "Perintah Presiden tegas. Ekspor ilegal harus ditindak," katanya.
Sikap tegas pemerintah inilah yang ditunggu-tunggu Hendra. Selain menanti perintah, Hendra meminta ada payung hukum yang bisa ia pegang dalam memberantas smokel. Sayang, perintah untuk bergerak yang ia harapkan tak kunjung datang. Apa boleh buat, tiga kapal perang yang telanjur dipesan itu untuk sementara terpaksa hanya bisa ia parkir. "Tiga kapal masih ada di perairan barat untuk pengamanan."
Selama kapal-kapal perang itu parkir, penambangan dan pengiriman timah yang tak sesuai dengan ketentuan sama sekali tak berkurang. Pasokan timah ilegal masih mengalir deras ke luar negeri. Dari data di bursa Kuala Lumpur dan London, pasokan di gudang para bandar melimpah ruah di tengah menurunnya permintaan akibat lesunya ekonomi dunia.
Efek berikutnya sudah bisa dipastikan: harga terjun bebas. Pada 30 Juni lalu, harga timah di London Metal Exchange (LME)—bursa timah terbesar di dunia—anjlok sampai level terendah, yaitu US$ 13.300 per ton. Harga ini jauh dibanding tahun lalu, yang sempat cukup lama berada di atas US$ 20 ribu per ton.
Data LME menyebutkan tumpukan timah mencapai 6.600-7.500 ton pada 22 Juni-2 Juli. Sekitar 80 persen pasokan itu didominasi stok timah di gudang Malaysia. Sofyan Djalil mencurigai besarnya stok timah di negara tetangga itu berasal dari pertambangan liar di Bangka Belitung. "Ini bocoran dari Indonesia," ujarnya.
Maraknya ekspor timah ilegal juga disebabkan oleh lembeknya syarat sertifikat clean and clear (CNC) dalam aturan pertambangan dan ekspor timah. Sertifikat CNC merupakan dokumen yang menunjukkan pertambangan tersebut sudah memenuhi standar kelestarian lingkungan, izin tidak tumpah-tindih, serta telah membayar royalti dan setoran lain kepada negara.
Penerapan syarat CNC inilah yang sekarang masih belum putus dibicarakan oleh Kementerian Perdagangan bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2015 yang terbit pada Mei lalu, pengusaha yang berstatus eksportir terdaftar (ET) lama wajib mengantongi sertifikat CNC pada 1 November mendatang. Sedangkan pemegang ET baru wajib mengantongi sertifikat CNC pada 1 Agustus nanti.
Adapun untuk mendapatkan izin ekspor, pengusaha harus mengantongi rekomendasi dari Kementerian Energi. Masalahnya, semua pertambangan mineral wajib mengantongi sertifikat CNC, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2013, yang berlaku sejak dua tahun lalu. Seorang pengusaha mengatakan, jika Kementerian Energi menegakkan aturan ini, eksportir timah yang tidak mengantongi sertifikat CNC seharusnya tidak boleh mengekspor. "Aturan ini bertabrakan," katanya.
Tabrakan dua aturan itu membuat Kementerian Energi mengundang Kementerian Perdagangan, Asosiasi Eksportir Timah Indonesia, serta perwakilan bursa timah Indonesia (Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia, BKDI) pada Jumat, 3 Juli lalu. Rapat yang dipimpin Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot itu hanya berlangsung 20 menit dan tidak menghasilkan kesepakatan apa pun.
Pembicaraan disambung tiga hari kemudian, dipimpin oleh Mohammad Hidayat, Direktur Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, di kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Tapi sahibulbait hanya membuka forum. Selanjutnya Kepala Subdirektorat Produk Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perdagangan Hernito Kandiawan yang meneruskan pembahasan.
Salah seorang peserta rapat mengatakan Hernito meminta Kementerian ESDM untuk sementara mengabaikan syarat sertifikat CNC dalam penerbitan rekomendasi persetujuan ekspor. Setelah Hernito menyampaikan ulasannya, rapat selama hampir dua jam itu berakhir.
Komisaris Utama BKDI Fenny Wijaya, yang hadir dalam rapat itu, membenarkan adanya permintaan menunda pemberlakuan syarat CNC. "Syarat CNC diberlakukan nanti. Sekarang mereka melakukan maraton untuk menyusun formulasi rekomendasi penerbitan persetujuan ekspor," katanya kepada Tempo, Senin dua pekan lalu.
Penundaan ini jelas mengecewakan segelintir eksportir yang sudah mengantongi syarat CNC. Untuk mendapatkan sertifikat CNC bukan perkara mudah. Sertifikat ini diperoleh setelah pengusaha diperiksa dokumen izin produksi hingga setoran pajak dan royaltinya. Mereka menilai penundaan syarat CNC itu menguntungkan eksportir yang selama ini tak patuh melaporkan setorannya kepada negara. "Ini tak adil bagi kami yang tunduk mengikuti aturan," kata salah satu pengusaha timah. "Ketidaktegasan dan kesimpangsiuran aturan itulah yang selama ini jadi celah bagi para penambang liar dan penyelundup."
Sekretaris Perusahaan PT Timah Tbk Agung Nugroho mengatakan urusan pemberlakuan syarat CNC itu terlalu berbelit-belit. Dia menilai pemerintah kelewat memanjakan pengusaha yang menginginkan penerapan aturan itu diulur-ulur. Padahal, kata Agung, pada awal penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan itu pada Mei lalu, semua eksportir timah sama-sama belum mengantongi sertifikat CNC.
Kesepakatannya waktu itu, ia melanjutkan, para pengusaha diminta membereskan sertifikat CNC di Kementerian ESDM sebelum Agustus mendatang. Setelah sebagian eksportir bersusah payah memenuhi syarat mendapatkan sertifikat CNC, ternyata pemberlakuannya ditunda lagi. "Semestinya tak perlu dimundurkan lagi. Masa transisi sudah sering diberikan," kata Agung.
Hernito tidak menyangkal ada perintah mengabaikan sertifikat CNC untuk sementara. Namun ia menolak penjelasannya tentang hal ini dikutip Tempo. Adapun Didi Sumedi, Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Kementerian Perdagangan, membantah jika anak buahnya disebut melobi agar ada penundaan berlakunya syarat CNC. Awalnya pemberlakuan CNC untuk pengusaha berstatus ET lama dimulai pada Juni, tapi mundur ke Agustus. Kemudian ada pengunduran lagi menjadi November mendatang. "Itu kesepakatan bersama," ujar Didi.
Menurut Didi, instansinya sudah lama ingin memasukkan syarat CNC karena menjadi rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia menilai ketidaksiapan justru berasal dari Kementerian ESDM. Dia menegaskan, para pengusaha sudah banyak menyodorkan dokumen untuk mengurus penerbitan sertifikat itu. "Permasalahan ada di Kementerian ESDM dan pemerintah provinsi," ujarnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot membantah tudingan lembaganya mempersulit penerbitan sertifikat CNC. Penolakan terhadap permohonan sertifikat CNC, kata dia, lantaran pengusaha belum melengkapi persyaratan yang diminta.
Kekurangan dokumen paling lazim ialah tidak adanya laporan eksplorasi, kurangnya laporan analisis mengenai dampak lingkungan, dan peta koordinat pertambangan yang tumpang-tindih. Bukan hanya perusahaan swasta yang sulit menembus persyaratan CNC, perusahaan pelat merah seperti PT Timah Tbk juga kerap tak bisa melengkapinya untuk beberapa kawasan pertambangan mereka. "Rata-rata kurang memenuhi secara teknis dan administrasi," kata Bambang Gatot, Jumat pekan lalu.
Didi Sumedi mengakui pemberlakuan syarat CNC secara ketat pasti akan menggerus volume ekspor timah. Pasalnya, hanya segelitir pengusaha berstatus ET lama yang mengantongi sertifikat itu. Menurut salah seorang pengusaha, dari puluhan eksportir, hanya enam yang sudah punya. Itu sebabnya, jika Agustus nanti aturan dijalankan, bisa dipastikan hanya enam perusahaan itu yang bisa mengekspor. Puluhan perusahaan lain yang terancam tak boleh ekspor itulah yang mati-matian melobi penundaan.
Komisaris Utama BKDI Fenny Wijaya mengatakan polemik CNC ini bisa berujung pada sepinya ekspor timah bulan depan. Ia pesimistis pemerintah bisa menerbitkan persetujuan ekspor (PE) untuk pengusaha, jika peraturan Menteri Perdagangan dipatuhi. "Saya tidak yakin akan ada ekspor karena PE belum ada yang keluar. Volume ekspor akan berkurang."
Hingga Jumat pekan lalu, Bambang Gatot mengkonfirmasi belum ada satu pun rekomendasi ekspor yang diterbitkan Kementerian Energi. Ia mengakui perbedaan aturan di instansinya dan Kementerian Perdagangan menjadi ganjalannya. "Nanti akan ada peraturan susulan berbentuk peraturan menteri atau peraturan dirjen."
Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo