Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tangkapan Sampingan Operasi Cantrang

15 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL-kapal berukuran sedang bersandar di dermaga Pelabuhan Jongor, Tegal, Jawa Tengah. Jumlahnya diperkirakan ratusan dan sebagian sudah berkarat. Mesin dari beberapa kapal berukuran 30 tonase kotor (GT) sudah dikeluarkan dan ditaruh di atas dek kapal. Bahkan ada kapal yang nyaris tenggelam. Kapal-kapal itu rata-rata menggunakan alat tangkap cantrang.

"Sudah hampir setahun kami tak berlayar," ujar Casmadih, Kamis pagi pekan lalu. Pemilik kapal berukuran 30 GT ini belum mengantongi surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI). Pria 45 tahun ini mengatakan sudah mengajukan perpanjangan izin sejak Desember tahun lalu. Namun hingga kini suratnya belum terbit. Ia menduga kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan cantrang sebagai penyebabnya.

Nasib serupa dialami Kroni. Dia belum mengantongi SIUP dan SIPI lantaran izin kapalnya bukan di Jawa Tengah, melainkan di Jawa Timur. Akibat keterbatasan modal, Kroni enggan mengganti cantrang ke alat tangkap lain karena terbentur biaya mahal. Sejak Desember tahun lalu, ia tak bisa melaut.

Akibat ratusan kapal tak bisa melaut, Riswanto, pengurus Paguyuban Nelayan Kota Tegal, meminta pemerintah tidak melarang cantrang, tapi mengatur penggunaan pukat tarik tersebut. Menurut dia, pemerintah bisa mengatur standar lebar lubang jaring yang aman bila yang dipermasalahkan adalah lubang jaring yang terlalu sempit sehingga ikan kecil terjaring. "Kami siap kooperatif," katanya.

PT Ocean Mitramas, perusahaan perikanan nasional yang bergerak di bidang pengumpulan ikan cakalang, tuna, layang, dan tongkol, juga sudah tidak beroperasi sejak akhir 2014. Bedanya, perusahaan ini terimbas kebijakan moratorium kapal eks asing.

Ocean Mitramas, yang menggunakan alat tangkap purse seine (pukat cincin), dua pekan lalu terpaksa memotong (scrap) salah satu kapalnya menjadi besi tua di Pelabuhan Cilincing, Jakarta Utara. Perusahaan ini tak mampu lagi menanggung beban operasi. "Sudah 32 bulan kami tanpa pemasukan. Kami tidak punya pilihan," ujar Komisaris Ocean Mitramas, Esther Satyono, kepada Tempo pada Selasa pekan lalu. Jumlah kapal milik Ocean Mitramas sebanyak 14 unit dengan rata-rata ukuran 500-700 GT.

Esther mengisahkan, perusahaan harus mengeluarkan Rp 900 juta untuk biaya operasional per bulan. Akibat dilarang beroperasi pada November 2014, sejak Juli 2015 hingga kini perusahaan telah merumahkan sekitar 50 persen dari total 225 karyawan dan 778 nelayan. Dengan karyawan tersisa, perusahaan masih harus menanggung biaya Rp 300 juta per bulan, terutama untuk perawatan kapal.

Padahal Ocean Mitramas memiliki utang modal kerja Rp 35 miliar kepada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI). "Kami minta waktu beroperasi tiga tahun saja agar bisa membayar utang ke BRI. Namun hingga kini tidak dijawab," katanya.

Beruntung, menurut Esther, BRI menyetujui upaya restrukturisasi utang dengan mempertimbangkan force majeure (keadaan darurat). Adapun utang investasi perusahaan Rp 20 miliar sudah lunas sejak 2014. Utang nelayan-sebagai plasma mitra perusahaan--kepada BRI dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga sudah lunas.

Esther mengklaim perusahaannya 100 persen milik lokal, dengan modal berasal dari investor domestik. Kapal juga dimiliki orang Indonesia. Semua kapal bekas milik Ocean Mitramas itu dibeli dari Jepang dengan harga US$ 1 juta (sekitar Rp 13 miliar). Dengan modal awal Rp 2 miliar, 93 persen saham perusahaan ini dimiliki oleh Aries Liman dan 7 persen oleh Rebekah Widya Astuti.

Kisah tragis juga dialami Budi Santoso, nelayan dengan alat tangkap gill net (jaring insang) asal Indramayu, Jawa Barat. Pada 5 April lalu, dua kapal miliknya ditangkap oleh aparat keamanan di Pontianak karena tidak dilengkapi surat-surat.

Hal itu terjadi, kata Budi, akibat lamanya proses pembuatan surat izin penangkapan ikan di Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Padahal surat sudah saya urus dan satu tahun tak kunjung jadi," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia nekat melaut karena desakan ekonomi.

Budi juga mengeluhkan banyaknya prosedur dan pungutan yang harus dibayar untuk bisa melaut. Di antaranya biaya retribusi ketika menjual ikan di koperasi, pajak pendapatan, dan pajak kapal yang nilainya naik 800 persen. "Sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS) juga pulsanya dibebankan ke kami," katanya.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sjarief Widjaja, menyebutkan cantrang dilarang karena fakta di lapangan menunjukkan alat itu banyak dimodifikasi sehingga panjangnya mencapai 1 kilometer dan diberi pemberat. Cantrang tidak hanya menangkap ikan besar, tapi juga ikan yang masih kecil. Ikan-ikan kecil ini kemudian diolah menjadi tepung ikan, surimi, hingga pakan ternak. "Awalnya usaha sampingan, tapi menguntungkan dan jadi usaha utama. Akhirnya muncullah industri surimi," tuturnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Sjarief menambahkan, penggunaan cantrang yang dimodifikasi tersebut memicu konflik. Perselisihan antara nelayan setempat dan nelayan pendatang yang menggunakan cantrang terjadi di Pontianak hingga Sumenep, Madura.

Penangkapan yang terjadi bukan hanya soal cantrang, melainkan juga soal perizinan. Selain SIUP dan SIPI, surat lain yang wajib dimiliki kapal untuk melaut adalah buku kapal dan surat layak operasi. Sjarief berjanji mempercepat proses perizinan dengan membuka gerai di sejumlah daerah. "Dipercepat prosesnya dari 20 hari menjadi 5 hari," ujarnya.

Kini proses pengukuran kapal telah mencapai 10.000 unit dari target 5.000 unit. Ukur ulang, kata Sjarief, terpaksa dilakukan karena banyak kapal yang seolah-olah memiliki ukuran lebih kecil dari sebenarnya.

Soal usul pengaturan penggunaan alat tangkap, termasuk cantrang, berdasarkan musim dan wilayah, menurut Sjarief, hal itu mungkin saja dilakukan. Namun, dengan mempertimbangkan luas wilayah laut Indonesia dan rendahnya tingkat kepatuhan, pengawasan akan sulit dilakukan. "Banyak juga VMS yang dimatikan," ujarnya.

Sjarief enggan menanggapi ihwal izin untuk kapal eks asing, termasuk kasus yang menimpa Ocean Mitramas. Adapun Koordinator Satuan Tugas (Satgas 115) Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal Mas Achmad Santosa menyatakan Satgas hanya melakukan analisis dan evaluasi. "Yang memutuskan menteri," katanya Kamis pekan lalu.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Riza Damanik, menyatakan Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar dilakukan akselerasi dalam membangun industri perikanan. Di antaranya mempercepat proses perizinan, mempermudah akses permodalan, dan mendistribusikan bantuan peralatan. "Ini momentum konsolidasi bagi industri perikanan," ujarnya.

Pemerintah, kata Riza, akan menyiapkan otoritas pengelolaan perikanan melalui wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yang kini terbagi dalam 11 area. WPP ini nantinya akan dikoordinasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perwakilan dari sejumlah lembaga, seperti Kementerian Perhubungan dan pemerintah daerah, akan menjadi anggota di otoritas pengelolaan perikanan tersebut. "Ditargetkan terbentuk tahun ini. Sekretariatnya akan berada di tiap WPP," katanya.

Abdul Malik, Ayu Primasandi (jakarta), Muhammad Irsyam Faiz (tegal)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus