Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersebab Cantrang, Susi Digoyang

Presiden Joko Widodo meminta masa transisi penggunaan cantrang diperpanjang. Susi Pudjiastuti menuding ada pengusaha besar berlindung di balik nelayan.

15 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan di Istana Kepresidenan pada Rabu dua pekan lalu memupus harapan Susi Pudjiastuti. Datang menemui Presiden Joko Widodo, Menteri Kelautan dan Perikanan ini membahas pelarangan cantrang yang ia keluarkan dua tahun lalu. Hasilnya, "Kami perpanjang penggunaan cantrang sampai akhir 2017," kata Susi di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Pelonggaran masa transisi pemakaian cantrang ini tidak sesuai dengan rencana semula. Susi awalnya berikhtiar melarang penuh penggunaan cantrang sebagai alat tangkap ikan per awal Juli tahun ini. Batas waktu ini diberikan setelah ia memberi toleransi kepada nelayan yang menentang kebijakan itu sejak dua tahun lalu. Namun pertemuan dua jam di Istana itu membuyarkan rencana tersebut.

Kepala Staf Presiden (KSP) Teten Masduki, yang hadir dalam pertemuan pada Rabu pagi itu, menyebutkan masa transisi diperpanjang karena persentase penggantian cantrang, arad, dan dogol untuk nelayan besar dan kecil masih rendah. Teten hadir untuk menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi KSP atas implementasi kebijakan pelarangan cantrang.

Menurut data yang dimiliki KSP, jumlah nelayan yang terkena dampak larangan cantrang hampir mencapai 7.000 orang. Sebagian besar berasal dari Jawa Tengah. Selama dua tahun terakhir, nelayan kecil di Jawa Tengah yang berganti alat tangkap baru sekitar 10 persen. Adapun penggantian cantrang pada nelayan besar baru sekitar 7 persen. "Jadi nelayan belum siap dan bisa menimbulkan masalah sosial kalau tidak ada fleksibilitas kebijakan," kata Teten saat dihubungi pada Kamis pekan lalu.

Menurut Teten, Presiden Joko Widodo sudah lama mendengar keluhan nelayan. "Termasuk memperoleh laporan langsung dari para kepala daerah," ujarnya. Selain soal percepatan peralihan cantrang dan perpanjangan masa transisi, pertemuan di Istana Kepresidenan itu membicarakan masalah perizinan dan pendanaan bagi nelayan untuk mengganti cantrang.

Menurut Susi, cantrang yang selama ini digunakan sejumlah nelayan sudah banyak dimodifikasi, misalnya dengan pemberat, sehingga bisa mengeruk seluruh biota sampai ke dasar laut, termasuk merusak terumbu karang. Panjangnya ada yang mencapai 3-4 kilometer, tak lagi melayang di permukaan.

Itu sebabnya, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, Susi menerbitkan kebijakan yang melarang nelayan memakai cantrang atau segala jenis pukat untuk menangkap ikan. Sebagai gantinya, pemerintah membagikan gill net atau jaring vertikal, yang lebih ramah lingkungan. Distribusi alat ganti ini yang dinilai lamban.

Seorang pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengetahui isi pertemuan di Istana Kepresidenan mengatakan bahwa isi rapat itu di luar dugaan Susi. Semula ia mengira akan bertemu dengan Presiden Jokowi saja. Ternyata pertemuan yang sudah diatur sejak 30 April itu juga dihadiri Kepala Staf Presiden Teten Masduki. "Ibu kaget ketika dipanggil Presiden kok ada KSP," kata pejabat tersebut.

Apalagi laporan Teten berbeda dengan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menurut pejabat tersebut, Teten menyajikan data yang menunjukkan kebijakan Susi mengenai peralihan alat tangkap cantrang belum optimal. Ditemui seusai pertemuan, Susi tak banyak berkomentar dan buru-buru meninggalkan Istana.

Teten memastikan, Istana setuju dengan kebijakan Susi melarang cantrang demi menjaga lingkungan dan keberlanjutan ekonomi kelautan. Perpanjangan masa transisi, kata dia, semata-mata dipicu oleh ketidaksiapan banyak nelayan. "Kami khawatir akan mengakibatkan banyak nelayan tidak bisa melaut dan ujung-ujungnya kian memperparah kesenjangan," ucap Teten.

Pada hari yang sama setelah pertemuan, Teten mengatakan, hingga April lalu baru 605 nelayan dan tiga koperasi nelayan yang sudah mendapatkan alat tangkap pengganti cantrang. Jumlahnya masih di bawah 10 persen dari jumlah total nelayan di Indonesia. Itu sebabnya banyak nelayan memprotes.

l l l

PENOLAKAN nelayan kian ramai setelah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar mendesak Menteri Susi mencabut aturan pelarangan cantrang saat menghadiri Silaturahmi Nelayan Pantura di Tegal, Jawa Tengah, akhir April lalu. Pelarangan cantrang, kata Muhaimin, merugikan nelayan.

Menurut catatan Paguyuban Nelayan Kota Tegal, dari 600 kapal, baru 10 unit yang sudah mengganti cantrang ke alat tangkap gill net. Mereka adalah pemilik kapal bermodal besar. Eko Susanto, misalnya, pemilik kapal berukuran 90 gross tonnage (GT), sudah merogoh uang Rp 2,5 miliar untuk mengganti alat tangkap. "Mengganti alat tangkap kan juga harus mengganti mesin dan komponen lain," katanya.

Meski sudah mengganti alat tangkap, dia masih belum yakin akan mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Kapal miliknya baru berangkat 15 hari lalu ke perairan Indonesia timur untuk mencari ikan jenis tongkol. "Saya masih ketar-ketir apakah bisa balik modal apa tidak. Soalnya, untuk perbekalan saja, sudah habis Rp 900 juta," ujarnya.

Persoalannya bukan itu saja. Menurut Eko, pemerintah perlu memperhatikan dampak yang lebih luas dari peraturan tersebut. Bukan hanya bagi para pemilik kapal, larangan cantrang juga membuat ribuan orang yang menggantungkan nasib di sektor perikanan terkatung-katung hidupnya. "Ada ribuan anak buah kapal," kata Eko. "Belum lagi usaha filet ikan skala rumah yang mencapai 300 unit dan nasib para buruhnya."

Presiden Jokowi merespons keluh-kesah nelayan Tegal itu. Hanya satu hari setelah Muhaimin Iskandar mengeluarkan pernyataan, Jokowi menyatakan akan memanggil Susi untuk menjelaskan duduk perkara yang dikeluhkan nelayan. "Saya sudah mendengar keluhannya, tapi saya belum berbicara dengan Menteri Kelautan. Kalau saya sudah bicara, saya akan menyampaikan kebijakan untuk cantrang ini apa," kata Jokowi setelah meresmikan rusunami di Banten, Kamis tiga pekan lalu.

Para nelayan juga melaporkan kondisi yang mereka alami ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Saat ditemui di Gedung Joang, Jakarta Pusat, Ahad dua pekan lalu, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan akan melakukan kajian lapangan agar bisa memberikan rekomendasi kepada Menteri Susi. Dia meminta pemerintah tidak lalai mengganti alat tangkap nelayan.

Teten Masduki mengatakan pemerintah akan mempercepat penggantian cantrang kepada pemilik kapal berukuran kurang dari 10 GT. Pemerintah, kata dia, akan menyediakan biaya Rp 124 miliar untuk program tersebut. Adapun untuk pemilik kapal di atas 30 GT, pemerintah belum menentukan skema pendanaan yang tepat. Teten mengatakan persoalan ini akan dibahas dengan Kementerian Koordinator Perekonomian. "Presiden Joko Widodo sudah meminta soal fasilitas pembiayaan dan kemudahan perizinan dibicarakan," ujar Teten.

l l l

POLEMIK soal cantrang yang kembali mengemuka sempat membuat Susi Pudjiastuti naik pitam. Ditemui di Padma Resort Kuta, Bali, pada Kamis dua pekan lalu, Susi mengatakan isu tersebut merupakan persoalan lama yang kembali diungkit-ungkit. "Sudah dua tahun lalu tidak move on," katanya.

Tanpa menyebutkan nama, Susi mengatakan isu cantrang kembali ramai lantaran ada pengusaha besar yang menumpang isu ini. Menurut dia, pengusaha-pengusaha ini berupaya melobi dari beragam pintu dengan menjadikan nelayan sebagai tameng. "Para pengusaha besar, tolong stop mengadu domba, lobi kanan-kiri," ujar Susi. "Sudah, Anda semua sudah cukup berpesta ketika tidak ada aturan di laut."

Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Riza Damanik, menjelaskan bahwa KSP ikut terlibat dalam urusan ini karena bertugas mengawal janji-janji Presiden. "Kami menerima laporan dari nelayan, baik skala besar maupun kecil, khususnya di pantura Jawa," kata Riza, Rabu pekan lalu. "Tidak sekadar menerima, kami juga mengecek ke lapangan."

Larangan penggunaan cantrang sebetulnya bukan isu baru. Pemerintah sudah melarang penggunaan alat tangkap cantrang sejak 35 tahun lalu melalui peraturan presiden. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan Sjarief Widjaja mengatakan, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, pemerintah melarang alat tangkap berbahaya dari jenis trawl alias pukat harimau. Namun, khusus Jawa Tengah, pemerintah memberi kesempatan untuk beralih ke alat tangkap lain mulai 2009 sampai 2014. Dengan catatan, Jawa Tengah dilarang mengeluarkan izin baru.

Meski dilarang sejak 1980, penggunaan cantrang justru terus bertambah. Pada 2015 tercatat sebanyak 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Kemudian KKP melakukan penggantian sebanyak 1.529 unit dengan alat tangkap ramah lingkungan. Proses tersebut masih terus berlanjut. Namun Sjarief menyayangkan kecurangan yang terus terjadi. Pada awal 2017, KKP mencatat jumlah pemakaian alat tangkap cantrang naik menjadi 14.357 unit.

Meski nelayan di Jawa Tengah menolak kebijakan Susi, dukungan datang dari Jawa Timur. Senin pekan lalu, anak-anak muda di Pulau Masalembu, Sumenep, Jawa Timur, membuat grafiti di dinding rumah, gudang, hingga dinding tangkis laut di pesisir pantai. Grafiti itu di antaranya berisi kalimat seperti "musnahkan cantrang dari bumi pertiwi". Kegiatan ini mengganti rencana semula, yakni pergi ke Jakarta memberi dukungan langsung buat Susi.

Menurut Daeng Mahsyar, sesepuh nelayan di Masalembu, para nelayan tradisional di pulau yang mayoritas didiami suku Bugis Bajo ini menolak kapal cantrang. Sebab, para nelayan di Jawa Timur sering kalah berkompetisi dengan nelayan yang memakai kapal cantrang.

Mahsyar bercerita, dulu, sekali panen satu nelayan bisa membawa pulang sampai enam ton ikan. Namun, sejak kapal cantrang ramai digunakan, paling mujur nelayan hanya membawa pulang tujuh kuintal. "Jadi kami ingin pelarangan cantrang jangan ditunda lagi," kata Mahsyar saat ditemui pada Kamis pekan lalu.

Ayu Primasandi, Abdul Malik, Istman M.P. (Jakarta), Muhammad Irsyam Faiz (Tegal), Mustofa Bisri (Sumenep), Bram Setiawan (Kuta)


PDB Perikanan (Rp triliun)
2011 : 154,5
2012 : 164,3
2013 : 176,1
2014 : 189,1
2015 : 204,9
Tumbuh 33% dalam 5 tahun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus