SETIAP hari, sedikitnya 2.000 rekening tagihan harus
diselesaikan 20 petugas pengetik Perusahaan Daerah Air Minum
Jawa Barat. Sekalipun mereka sudah bekerja lembur, tagihan toh
selalu datang terlambat ke rumah pelanggan. Tapi setelah
komputer mini NCR mereka pakai tiga tahun lalu, tagihan muncul
tepat pada waktunya.
Komputer berhasil mempersingkat waktu pengerjaan rutin itu
dengan cepat dan efisien. Tapi apa akibatnya bagi karyawan
bawah? Peranan mereka tergeser, dan mereka tak lagi mendapat
tambahan uang dari lembur. Berapa jumlah tenaga yang bisa
dihemat karena kehadiran komputer itu, Eddy Kurniady, direktur
PDAM Ja-Bar tadi, belum memperinci angkanya. Yang jelas
"penghematannya besar sekali," katanya.
Celakanya otomatisasi kantor dengan komputer semacam itu,
demikian seorang konsultan, justru dianggap sebagai tindakan
kurang populer, terutama oleh para manajer menengah. Mereka,
katanya, cenderung bersikap memusuhi pemakaian komputer dalam
manajemen karena menganggap benda itu hanya akan mengurangi
kekuasaan mereka saja. Anggapan ini tampaknya beralasan
mengingat pimpinan tertinggi kelak lebih banyak berhubungan
dengan komputer, bukan dengan manajer untuk memperoleh
informasi.
Di Amerika, jalan pintas yang dilakukan pimpinan tertinggi itu
ternyata telah menyebabkan tersingkirnya sejumlah manajer
menengah. Tenaga staf di kantor pusat Brunswich Corp., New York,
misalnya, berkurang 40% sesudah divisi pengolahan data
elektronik diperbolehkan memberikan laporan langsung kepada
direktur utama. Pengurangan itu tampaknya punya alasan kuat jika
diingat, menurut sebuah survei, kebanyakan manajer menghabiskan
25% dari waktunya untuk kegiatan nonproduktif, seperti menunggu
laporan dan pertemuan, serta membuat copy data.
Di sini korban otomatisasi seperti itu belum tampak menonjol. Di
beberapa perusahaan swasta bahkan para manajer masih tampak
memiliki kontrol kuat atas bidang yang dibawahkannya. Sembilan
manajer PT Toyota Astra Motor, misalnya, masih diajak dalam
rapat evaluasi mingguan dengan empat anggota dewan direktur. Di
situ dewan direktur bisa mengecek langsung pelaksanaan wewenang,
yang dibebankan pada setiap manajer. Sebagai pemegang data,
manajer ini harus selalu siap dengan laporannya.
Jadi dengan kata lain, di Toyota Astra Motor yang katanya
menganut manajemen gaya Jepang, kecil sekali kemungkinan dewan
direktur melakukan terobosan. Betapa pun sibuk, prosedur dan
birokrasi, menurut sebuah sumber di TAM, tetap ditaati. "Saya
tak perlu takut, karena saya tahu manajemen gaya Jepang menganut
asas kolektif dalam pengambilan keputusan tak seperti Amerika,
yang kadang one man show," kata Sutomo Susito, manajer Hubungan
Masyarakat, Personalia dan Umum TAM. Dengan asas itu "biasanya
pimpinan bertanya dulu pada masing-masing manajer kalau ingin
mengambil keputusan."
Tentu tidak selamanya kehadiran komputer akan menciutkan jumlah
manajer, dan mengubah struktur suatu perusahaan. Menurut Tigran
Adhiwiyogo, wakil direktur utama Astra-Graphia, komputer bahkan
bisa membuka bidang pekerjaan baru. Itu memang ada benarnya.
Kantor pusat Bank Indonesia, misalnya, kini mempekerjakan 113
tenaga, dari mula-mula tiga orang, untuk menangani komputer IBM.
Pengangkatan pegawai baru pun, setiap tahun masih terus
berlangsung di BI.
Sedang manajemen PT Sinar Kasih, penerbit koran Sinar Haraparl,
bersikap agak luwes dalam memasukkan komputer untuk menunjang
pelbagai kegiatan di perusahaan itu. Tiga tenaga yang menangani
tiga terminal di bagian administrasi, misalnya, merupakan
pegawai lama di situ, yang kemampuannya ditingkatkan lewat
program pendidikan. Hal serupa juga dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga, pemegang komputer word processor di bagian
redaksi. "Pengurangan tenaga tidak terjadi karena
komputerisasi," ujar Herald Tidar, kepala Pendidikan dan Latihan
PT Sinar Kasih.
Tak bisa disangkal, kehadiran komputer di sini juga turut
membuka bidang keahlian baru, yang menyerap tenaga kerja.
Puluhan operator, programmer (penyusun program untuk operator),
dan analis (penyusun sistem komputerisasi kantor), jelas akan
semakin banyak diperlukan jika otomatisasi kantor ingin
ditingkatkan.
Mereka ini pada umumnya dihasilkan dari pelbagai kursus dan
lembaga pendidikan tinggi, setingkat akademi, yang dalam lima
tahun belakangan ini pesat perkembangannya. Di Jakarta saja,
misalnya, ada 35 kursus dan akademi. Karena menganggap
pendidikan komputer ini masih termasuk langka, banyak di antara
kursus itu yang tak kepalang tanggung memungut biaya. Semarang
Computer School (SCS), misalnya, mengutip ongkos Rp 20 ribu per
bulan untuk pendidikan programmer yang berlangsung enam bulan.
Dengan kata laln, meningkatnya otomatisasi kantor dengan
komputer, juga telak mendorong sejumlah orang kreatif membuka
lapangan kerja baru. Pendapatan kursus dan lembaga pendidikan
ini jelas cukup besar. Ambil contoh Lembaga Komputer Terapan,
Kebayoran Baru, yang mengutip ongkos Rp 300 ribu tiap semester
untuk jurusan piranti keras (hardware) dari 400 muridnya. Dan
lewat kursus, serta lembaga pendidikan semacam inilah mereka
yang sudah punya keahlian di bidang komputer bisa mendapat
tambahan uang dengan bertindak sebagai guru. Lembaga Komputer
Terapan, misalnya, membayar pengajar itu Rp 25 ribu per jam.
Tentu tidak semua pihak yang berkepentingan dengan komputer
memanfaatkan iklim baik itu. Dalam usaha meningkatkan volume
penjualan komputer mikro Commodore yang diageninya, PT Info Data
Commodore memberikan program pendidikan ahli sistem analis,
programmer, dan operator secara gratis. "Kami ingin agar para
pemakai komputer bisa menganalisa dan membuat program untuk
persoalan mereka sendiri hingga tak tergantung dengan paket
program dari luar," kata Kusnadi Wibowo, asisten manajer Info
Data.
Otomatisasi kantor juga telah mendorong munculnya perusahaan
yang menyediakan jasa konsultasi, dan pembuatan piranti lunak
(software). PT Pusat Informatika, misalnya, sebuah di antara 10
usaha semacam itu, menyediakan jasa konsultasi dengan tarif Rp
25 ribu per jam konsultasi. Tarif setinggi itu terpaksa
dikenakan mengingat "pendidikan untuk sistem analis sangat
mahal," ujar Rudy Pesik, direktur perusahaan itu. "Biaya untuk
pendidikan orang kami yang belajar ke Eropa per hari mencapai
US$ 500."
Selain melayani jasa konsultasi, Pusat Informatika juga
menyediakan jasa membuat program, biasanya untuk satu persoalan,
dengan tarif Rp 10 ribu per jam. Pengerjaan untuk pesanan yang
kebanyakan datang dari instansi pemerintah itu biasanya memakai
waktu tiga bulan. Pembuatan program seperti itu memang terpaksa
dilakukan oleh pemakai komputer di sini karena program buatan
luar negeri tak selalu cocok. Untuk beberapa instansi pemerintah
bahkan ada "sejumlah persoalan yang tak boleh dibikinkan
programnya, sebab berbahaya," ujar Rukman Hutasoit, direktur PT
Pansystems.
Saingan di bidang bisnis softare ini, demikian Rudy Pesik,
tidak terlalu berat. Tidak banyak pengusaha mau bergerak di
sektor ini mengingat bidang usaha itu memerlukan pembinaan
keterampilan khusus "Saya hampir tak pernah bertemu dengan
pengusaha jenis tersebut di lapangan, mungkin karena pasarnya
besar, dan selalu bertambah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini