Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tanya saja pada komputer

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP hari, sedikitnya 2.000 rekening tagihan harus diselesaikan 20 petugas pengetik Perusahaan Daerah Air Minum Jawa Barat. Sekalipun mereka sudah bekerja lembur, tagihan toh selalu datang terlambat ke rumah pelanggan. Tapi setelah komputer mini NCR mereka pakai tiga tahun lalu, tagihan muncul tepat pada waktunya. Komputer berhasil mempersingkat waktu pengerjaan rutin itu dengan cepat dan efisien. Tapi apa akibatnya bagi karyawan bawah? Peranan mereka tergeser, dan mereka tak lagi mendapat tambahan uang dari lembur. Berapa jumlah tenaga yang bisa dihemat karena kehadiran komputer itu, Eddy Kurniady, direktur PDAM Ja-Bar tadi, belum memperinci angkanya. Yang jelas "penghematannya besar sekali," katanya. Celakanya otomatisasi kantor dengan komputer semacam itu, demikian seorang konsultan, justru dianggap sebagai tindakan kurang populer, terutama oleh para manajer menengah. Mereka, katanya, cenderung bersikap memusuhi pemakaian komputer dalam manajemen karena menganggap benda itu hanya akan mengurangi kekuasaan mereka saja. Anggapan ini tampaknya beralasan mengingat pimpinan tertinggi kelak lebih banyak berhubungan dengan komputer, bukan dengan manajer untuk memperoleh informasi. Di Amerika, jalan pintas yang dilakukan pimpinan tertinggi itu ternyata telah menyebabkan tersingkirnya sejumlah manajer menengah. Tenaga staf di kantor pusat Brunswich Corp., New York, misalnya, berkurang 40% sesudah divisi pengolahan data elektronik diperbolehkan memberikan laporan langsung kepada direktur utama. Pengurangan itu tampaknya punya alasan kuat jika diingat, menurut sebuah survei, kebanyakan manajer menghabiskan 25% dari waktunya untuk kegiatan nonproduktif, seperti menunggu laporan dan pertemuan, serta membuat copy data. Di sini korban otomatisasi seperti itu belum tampak menonjol. Di beberapa perusahaan swasta bahkan para manajer masih tampak memiliki kontrol kuat atas bidang yang dibawahkannya. Sembilan manajer PT Toyota Astra Motor, misalnya, masih diajak dalam rapat evaluasi mingguan dengan empat anggota dewan direktur. Di situ dewan direktur bisa mengecek langsung pelaksanaan wewenang, yang dibebankan pada setiap manajer. Sebagai pemegang data, manajer ini harus selalu siap dengan laporannya. Jadi dengan kata lain, di Toyota Astra Motor yang katanya menganut manajemen gaya Jepang, kecil sekali kemungkinan dewan direktur melakukan terobosan. Betapa pun sibuk, prosedur dan birokrasi, menurut sebuah sumber di TAM, tetap ditaati. "Saya tak perlu takut, karena saya tahu manajemen gaya Jepang menganut asas kolektif dalam pengambilan keputusan tak seperti Amerika, yang kadang one man show," kata Sutomo Susito, manajer Hubungan Masyarakat, Personalia dan Umum TAM. Dengan asas itu "biasanya pimpinan bertanya dulu pada masing-masing manajer kalau ingin mengambil keputusan." Tentu tidak selamanya kehadiran komputer akan menciutkan jumlah manajer, dan mengubah struktur suatu perusahaan. Menurut Tigran Adhiwiyogo, wakil direktur utama Astra-Graphia, komputer bahkan bisa membuka bidang pekerjaan baru. Itu memang ada benarnya. Kantor pusat Bank Indonesia, misalnya, kini mempekerjakan 113 tenaga, dari mula-mula tiga orang, untuk menangani komputer IBM. Pengangkatan pegawai baru pun, setiap tahun masih terus berlangsung di BI. Sedang manajemen PT Sinar Kasih, penerbit koran Sinar Haraparl, bersikap agak luwes dalam memasukkan komputer untuk menunjang pelbagai kegiatan di perusahaan itu. Tiga tenaga yang menangani tiga terminal di bagian administrasi, misalnya, merupakan pegawai lama di situ, yang kemampuannya ditingkatkan lewat program pendidikan. Hal serupa juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga, pemegang komputer word processor di bagian redaksi. "Pengurangan tenaga tidak terjadi karena komputerisasi," ujar Herald Tidar, kepala Pendidikan dan Latihan PT Sinar Kasih. Tak bisa disangkal, kehadiran komputer di sini juga turut membuka bidang keahlian baru, yang menyerap tenaga kerja. Puluhan operator, programmer (penyusun program untuk operator), dan analis (penyusun sistem komputerisasi kantor), jelas akan semakin banyak diperlukan jika otomatisasi kantor ingin ditingkatkan. Mereka ini pada umumnya dihasilkan dari pelbagai kursus dan lembaga pendidikan tinggi, setingkat akademi, yang dalam lima tahun belakangan ini pesat perkembangannya. Di Jakarta saja, misalnya, ada 35 kursus dan akademi. Karena menganggap pendidikan komputer ini masih termasuk langka, banyak di antara kursus itu yang tak kepalang tanggung memungut biaya. Semarang Computer School (SCS), misalnya, mengutip ongkos Rp 20 ribu per bulan untuk pendidikan programmer yang berlangsung enam bulan. Dengan kata laln, meningkatnya otomatisasi kantor dengan komputer, juga telak mendorong sejumlah orang kreatif membuka lapangan kerja baru. Pendapatan kursus dan lembaga pendidikan ini jelas cukup besar. Ambil contoh Lembaga Komputer Terapan, Kebayoran Baru, yang mengutip ongkos Rp 300 ribu tiap semester untuk jurusan piranti keras (hardware) dari 400 muridnya. Dan lewat kursus, serta lembaga pendidikan semacam inilah mereka yang sudah punya keahlian di bidang komputer bisa mendapat tambahan uang dengan bertindak sebagai guru. Lembaga Komputer Terapan, misalnya, membayar pengajar itu Rp 25 ribu per jam. Tentu tidak semua pihak yang berkepentingan dengan komputer memanfaatkan iklim baik itu. Dalam usaha meningkatkan volume penjualan komputer mikro Commodore yang diageninya, PT Info Data Commodore memberikan program pendidikan ahli sistem analis, programmer, dan operator secara gratis. "Kami ingin agar para pemakai komputer bisa menganalisa dan membuat program untuk persoalan mereka sendiri hingga tak tergantung dengan paket program dari luar," kata Kusnadi Wibowo, asisten manajer Info Data. Otomatisasi kantor juga telah mendorong munculnya perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi, dan pembuatan piranti lunak (software). PT Pusat Informatika, misalnya, sebuah di antara 10 usaha semacam itu, menyediakan jasa konsultasi dengan tarif Rp 25 ribu per jam konsultasi. Tarif setinggi itu terpaksa dikenakan mengingat "pendidikan untuk sistem analis sangat mahal," ujar Rudy Pesik, direktur perusahaan itu. "Biaya untuk pendidikan orang kami yang belajar ke Eropa per hari mencapai US$ 500." Selain melayani jasa konsultasi, Pusat Informatika juga menyediakan jasa membuat program, biasanya untuk satu persoalan, dengan tarif Rp 10 ribu per jam. Pengerjaan untuk pesanan yang kebanyakan datang dari instansi pemerintah itu biasanya memakai waktu tiga bulan. Pembuatan program seperti itu memang terpaksa dilakukan oleh pemakai komputer di sini karena program buatan luar negeri tak selalu cocok. Untuk beberapa instansi pemerintah bahkan ada "sejumlah persoalan yang tak boleh dibikinkan programnya, sebab berbahaya," ujar Rukman Hutasoit, direktur PT Pansystems. Saingan di bidang bisnis softare ini, demikian Rudy Pesik, tidak terlalu berat. Tidak banyak pengusaha mau bergerak di sektor ini mengingat bidang usaha itu memerlukan pembinaan keterampilan khusus "Saya hampir tak pernah bertemu dengan pengusaha jenis tersebut di lapangan, mungkin karena pasarnya besar, dan selalu bertambah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus