Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah akan mewajibkan pekerja menjadi peserta Tapera pada 2027.
Pekerja wajib menyetor iuran setara dengan 3 persen penghasilan untuk Tapera.
Pengelolaan dana oleh BP Tapera pernah menjadi sorotan BPK.
SHINTA Kamdani kaget ketika mendengar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera pada 20 Mei 2024. Shinta, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo, tak menyangka pemerintah tetap ngotot memberlakukan Tapera dengan hukum wajib, alih-alih bersifat sukarela, bagi karyawan swasta dan pekerja mandiri. “Sejak dulu posisi kami konsisten, menolak Tapera,” katanya kepada Tempo, Kamis, 6 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 adalah hasil revisi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020. Melalui aturan terbaru, pemerintah mewajibkan semua pekerja, dari aparat negara, karyawan swasta, pekerja mandiri, hingga tenaga kerja asing, menyetor penghasilan mereka untuk Tapera. Bukan hanya pekerja, perusahaan atau pemberi kerja juga wajib membayar simpanan peserta Tapera. Iuran anggota Tapera adalah 3 persen gaji atau upah bulanan. Angka ini terdiri atas potongan 2,5 persen upah karyawan dan 0,5 persen yang ditanggung pemberi kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu pula Apindo keberatan terhadap skema Tapera. Menurut Shinta, pengusaha bahkan sudah bergerak saat pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, delapan tahun lalu. Kala itu, dia mengungkapkan, pengusaha menyurati Presiden Jokowi, meminta pemerintah yang mewajibkan keanggotaan Tapera bagi aparatur sipil negara serta anggota Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian tak membebankan skema tersebut kepada pekerja swasta. Demikian pula ketika Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 sebagai aturan turunan pertamanya terbit.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (kanan) bersama Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat Heru Pudyo Nugroho (kiri) memberi keterangan pers terkait Program Tabungan Perumahan Rakyat di Kantor Staf Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 31 Mei 2024. Tempo/Subekti
Baik Undang-Undang Tapera maupun peraturan teknisnya menetapkan setoran wajib itu berlaku pada 2027. Shinta mengatakan pelaku usaha tak dilibatkan dalam penentuan waktu berlaku ataupun nilai iuran Tapera. Ketika Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 diterbitkan, dia melanjutkan, pengusaha merasa kecolongan karena tak ada pembahasan sebelumnya. “Seharusnya ketika aturan itu diubah ada konsultasi dengan pemangku kepentingan,” ujar Shinta.
Dalam aturan tersebut, pemerintah mewajibkan pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja membayar simpanan peserta Tapera. Nilai totalnya adalah 3 persen gaji pekerja atau penghasilan peserta mandiri. Pekerja menyetor 2,5 persen gaji, sementara pengusaha menomboki sisanya. Ini yang menjadi dasar penolakan pekerja dan pengusaha.
Menurut Shinta, penolakan Apindo tidak ditujukan pada program Tapera, melainkan pada pungutan wajib ketika program sejenis sebenarnya sudah tersedia. Program sejenis yang dimaksud Shinta adalah Jaminan Hari Tua atau JHT yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan menyediakan program manfaat layanan tambahan atau MLT.
Melalui MLT, pekerja dapat memanfaatkan 30 persen dana JHT untuk uang muka kredit pemilikan rumah, pembangunan rumah, dan renovasi. Shinta pun mempertanyakan skema Tapera yang seperti menduplikasi program ini. “Silakan saja kalau ada yang mau sukarela ikut Tapera, kami berfokus mengembangkan program MLT saja yang bisa dimanfaatkan oleh semua pekerja,” ucapnya.
Sedangkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Roy Jinto, menyebut Tapera sebagai langkah culas pemerintah. “Tapera hanya akal-akalan pemerintah untuk mengumpulkan dana dari buruh,” tuturnya. Menurut Roy, pemaksaan kepesertaan Tapera terhadap para pekerja tidak sejalan dengan kebijakan pengupahan. Saat ini, dia menjelaskan, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Cipta Kerja yang memperkecil tingkat kenaikan upah pekerja. “Pemerintah tidak sensitif terhadap buruh yang sudah sangat sulit.”
•••
SEBELUM memberlakukan Tabungan Perumahan Rakyat, pemerintah memiliki sejumlah program untuk membiayai penyediaan rumah, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Program tersebut antara lain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan Subsidi Selisih Bunga (SSB) kredit perumahan rakyat.
Melalui FLPP, pemerintah menyalurkan pendanaan kepada bank yang memberikan KPR bagi masyarakat. Masyarakat berpenghasilan rendah dikenai suku bunga 5 persen per tahun. Agar bisa memperoleh bantuan lewat skema FLPP, pemohon harus menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan minimal satu tahun. Mereka bisa mendapatkan tenor pinjaman maksimal 30 tahun.
Adapun dengan program SBUM, pemerintah memberikan bantuan uang muka kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah tapak atau rumah susun. Nilai bantuan maksimal Rp 40 juta untuk rumah tapak dan Rp 20 juta buat rumah susun. Sedangkan SSB sudah dihapus pemerintah pada akhir 2019. Pasalnya, program ini, selain membebani anggaran, tidak tepat sasaran dan kurang diminati konsumen.
Semua program ini menjadi jalan bagi pemerintah untuk mengurangi backlog atau kekurangan pasokan perumahan. Tanpa bantuan pendanaan, angka backlog perumahan terus melejit. Sebagai gambaran, menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, angka backlog perumahan pada 2023 mencapai 12,7 juta unit, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 11 juta unit.
Persoalannya, bantuan pembiayaan perumahan cenderung kurang diminati konsumen. Sebagai contoh, pada 2023, jumlah rumah yang disediakan melalui program FLPP "hanya" 121.779 unit, jauh di bawah target 220 ribu unit. Begitu pula dengan program SBUM. Dari target 220 ribu unit, yang terealisasi hanya 150 ribu unit.
Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di kantor pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, 4 Juni 2024. Tempo/Tony Hartawan
Kepala Center of Digital Economy and Small and Micro Enterprises Institute for Development of Economics and Finance, Eisha Maghfiruha, menilai program-program penyediaan rumah yang dijalankan pemerintah ini belum efektif karena tak menyelesaikan masalah inti. Menurut dia, banyak faktor yang memicu backlog perumahan, antara lain harga tinggi, kurangnya ketersediaan lahan, dan penguasaan properti oleh spekulan yang kemudian memicu kenaikan harga.
Eisha pun mengingatkan soal risiko pada skema Tapera. "Saat ini yang dikhawatirkan adalah kepercayaan masyarakat terhadap dana kelolaan tabungan perumahan," katanya kepada Tempo, Rabu, 29 Mei 2024.
Shinta Kamdani mempertanyakan sikap pemerintah yang memaksakan pemberlakuan Tapera dengan alasan mengatasi backlog perumahan. “Seharusnya pemerintah hadir menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah," ujarnya. Shinta menduga pemerintah menghadapi keterbatasan anggaran tapi menghendaki target pengurangan backlog cepat tercapai. "Jadi diwajibkan saja dengan melimpahkan beban itu ke pihak lain.”
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani (kanan) didampingi Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban (kiri) memberi keterangan pers terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat di Jakarta, 31 Mei 2024. Antara/Akbar Nugroho Gumay
Lebih jauh, Shinta menyatakan pengusaha sudah mendengar rencana pemerintah menyetop alokasi anggaran untuk FLPP bersamaan dengan pemberlakuan Tapera. Karena itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia mengerahkan kekuatan untuk mendorong revisi Undang-Undang Tapera guna menggagalkan klausul kepesertaan yang bersifat wajib bagi seluruh masyarakat. Upaya lain adalah meminta bertemu dengan Presiden Jokowi, beraudiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan menjajaki opsi judicial review atas aturan penyelenggaraan Tapera.
Gelagat pemerintah menghentikan program FLPP muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024. Dalam aturan hasil revisi tersebut, pemerintah menambahkan satu ayat pada pasal 64 yang menyatakan anggaran FLPP dapat dihentikan saat Badan Pengelola (BP) Tapera sudah beroperasi penuh.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Herry Trisaputra Zuna tak membantah kabar tentang rencana penghentian program FLPP. Namun, dia menerangkan, rencana itu tidak akan diwujudkan dalam waktu dekat mengingat sumber dana peserta yang dikelola BP Tapera belum terkumpul dan berkembang sesuai dengan target. “Sebelum dana ini mature, anggaran negara tentu akan ada di sana," katanya.
Selain karena backlog perumahan yang terus meningkat, Herry mengatakan, Tapera kian penting lantaran ada masalah berupa 26 juta rumah tak layak huni yang harus diperbaiki. Proyek perbaikan ini tentu memerlukan pendanaan. “Tapera bisa menjadi solusi dengan keunggulan suku bunga yang jauh di bawah bunga pasar, yaitu sebesar 5 persen flat,” ucapnya.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengiyakan keberlangsungan skema FLPP erat berkaitan dengan kesiapan BP Tapera. “Kalau BP Tapera sudah bisa mandiri, FLPP akan dikurangi. Mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat,” ujarnya. Sejak mulai bergulir pada 2010, dana FLPP sudah terakumulasi hingga Rp 105,2 triliun. Pengelolaan dana itu kini berada di bawah BP Tapera. Dana FLPP diinvestasikan dan imbal hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan rumah murah.
Pembangunan hunian tapak di kawasan Srijaya, Bekasi, Jawa Barat, 30 Mei 2024. Tempo/Tony Hartawan
Sedangkan Direktur Sistem Manajemen Investasi Kementerian Keuangan Saiful Islam menyatakan dana Tapera tidak digunakan untuk kegiatan pemerintah dan tidak masuk postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Simpanan Tapera tidak masuk skema APBN, tapi dicatat berdasarkan akun individu di bank kustodian by name by address untuk dipupuk oleh manajer investasi dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan,” ucapnya.
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengatakan sudah mengelola dua sumber dana, yaitu anggaran negara yang mengucur lewat FLPP dan dana peserta Tapera dari kelompok aparatur sipil negara. Dana tersebut sebelumnya dikelola Badan Pengelola Tabungan Perumahan atau Bapertarum. Sejak Bapertarum dilikuidasi pada 2019, BP Tapera belum mengumpulkan dana iuran aparatur negara ataupun peserta lain.
Untuk mengelola dana peserta, Heru menjelaskan, BP Tapera menjalankan tiga model bisnis. Yang pertama adalah dana cadangan 3-5 persen untuk penyediaan likuiditas pembayaran bagi peserta yang akan berakhir masa kepesertaannya atau pengembalian simpanan iuran peserta. Dana cadangan hanya bisa ditempatkan dalam bentuk deposito.
Skema kedua adalah alokasi dana pemanfaatan sebesar 42-47 persen untuk pembiayaan perumahan peserta Tapera melalui lembaga keuangan lain. Adapun yang terakhir adalah dana pemupukan investasi sebesar 50-54 persen untuk meningkatkan imbal hasil peserta. Dana ini ditempatkan pada produk investasi yang disebut Kontrak Investasi Kolektif Pemupukan Dana Tapera yang dikelola tujuh manajer investasi.
Menurut Heru, BP Tapera sudah menunjuk PT Bahana TCW Investment Management, PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen, PT BNI Asset Management, PT BRI Manajemen Investasi, PT Mandiri Manajemen Investasi, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, dan PT Schroder Investment Management Indonesia sebagai manajer investasi. “Sebanyak 80 persen portofolionya berupa obligasi, paling banyak obligasi negara, sebagian obligasi korporasi, dengan rating minimal grade A atau AAA," katanya.
Heru memastikan pengelolaan dana akan transparan. Menurut dia, peserta Tapera dapat memeriksa saldo serta posisi investasi secara real-time melalui aplikasi mobile BP Tapera. Dia mengklaim rata-rata imbal hasil pemupukan dana investasi di atas rata-rata suku bunga deposito, yaitu di kisaran 8 persen. Ihwal rencana mewajibkan pegawai swasta dan pekerja mandiri menjadi peserta Tapera, Heru mengatakan hal itu menunggu kesiapan tata kelola BP Tapera serta regulasi pemerintah. “Tidak saklek pada 2027."
•••
HASIL audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2021 mengungkap mekanisme pengelolaan dana oleh Badan Pengelola Tapera. Dalam laporan hasil auditnya, BPK menyatakan ada 124,9 ribu aparatur sipil negara yang tak bisa mencairkan simpanan yang mereka setor dengan total nilai Rp 567,45 miliar. Merujuk pada laporan pengelolaan dana BP Tapera 2022, total dana yang dikelola lembaga itu mencapai Rp 8 triliun, kontrak investasi kolektif Rp 3,32 triliun, dan pemanfaatan dana Rp 640,8 miliar.
Lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik Center of Economic and Law Studies atau Celios juga menyoroti pengelolaan dana Tapera dalam berkas policy brief yang dirilis pada Mei 2024. Laporan Celios mengungkap proporsi surat berharga negara atau SBN yang mendominasi portofolio investasi Tapera mengisyaratkan adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan dana publik tersebut. Apalagi ada nama Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam struktur Komite Tapera, yang salah satu tugasnya menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan dana Tapera.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan terdapat potensi pengumpulan dana Tapera hingga Rp 135 triliun dengan porsi penempatan dana untuk SBN dapat mencapai Rp 61 triliun. Porsinya bisa jadi terus meningkat, apalagi sejak 2022 terjadi lonjakan suku bunga deposito yang mengikuti kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau 7-Day Reverse Repo Rate yang bergerak agresif. “Investor rasional seharusnya memilih deposito dibanding SBN yang menawarkan tenor panjang,” tuturnya kepada Tempo, Selasa, 4 Juni 2024.
Selisih antara suku bunga deposito dan kupon SBN tenor 10 tahun pun kian sempit. Walhasil, hal ini membuat pasar SBN Indonesia tertekan di pasar sekunder domestik, sementara pemerintah harus berhati-hati dalam menerbitkan yield SBN karena berpotensi menambah beban negara. Masuk akal jika kini pemerintah tengah mendorong pembelian SBN melalui tangan kanan pemerintahan di pasar keuangan, khususnya lembaga pengelolaan investasi pelat merah, termasuk lewat Tapera.
Huda mengatakan pemanfaatan dana Tapera memang tidak secara langsung masuk ke anggaran negara, melainkan melalui skema investasi tidak langsung dalam pembiayaan SBN. “Ini mengesankan pemerintah ingin menarik lebih banyak uang dari masyarakat untuk pembiayaan program-program di masa mendatang yang nilainya fantastis,” ujarnya. Tak tertutup kemungkinan dana yang masuk melalui SBN itu digunakan untuk membiayai program pemerintahan selanjutnya, seperti kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara dan program makan bergizi gratis.
Sebaliknya, berdasarkan simulasi ekonomi yang dilakukan Celios, kebijakan Tapera dapat menyebabkan penurunan produk domestik bruto Rp 1,21 triliun. “Penghitungan menggunakan model input-output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp 1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terkena dampak dengan kontraksi sebesar Rp 200 miliar,” ucapnya.
Menanggapi temuan BPK, Heru Pudyo Nugroho mengatakan BP Tapera telah menindaklanjutinya dengan mengembalikan dana kepada peserta ataupun ahli warisnya. “Dana dan hasil pemupukannya akan dikembalikan paling lama tiga bulan setelah pensiun,” tuturnya. Pengembalian dana dilakukan melalui bank kustodian atau bank penampung. Hingga saat ini, BP Tapera mengklaim telah mengembalikan simpanan kepada 956.799 aparatur sipil negara yang pensiun atau ahli warisnya senilai Rp 4,2 triliun.
Sedangkan Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah telah melakukan perhitungan yang cukup matang sebelum memutuskan pelaksanaan Tapera. Dia pun menyamakan iuran Tapera dengan skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, yang memuat mekanisme gotong-royong untuk membantu masyarakat tak mampu melalui subsidi penerima bantuan iuran atau PBI. “Seperti dulu BPJS, ketika PBI digratiskan juga ramai. Tapi, setelah berjalan, saya kira semua bisa merasakan manfaatnya, ke rumah sakit tidak dipungut biaya,” katanya.
Toh, pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekaligus Ketua Komite BP Tapera, Basuki Hadimuljono, memberi isyarat lain. Menurut dia, seusai rapat kerja dengan Komisi V DPR yang antara lain membidangi infrastruktur pada Kamis, 6 Juni 2024, ada kemungkinan pelaksanaan program Tapera diundur. “Menurut saya pribadi, kalau memang ini belum siap, kenapa harus tergesa-gesa."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riani Sanusi Putri dan Riri Rahayu berkontribusi pada artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Alih Beban Bantuan Perumahan"