Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu Obat Lesu Sriwijaya

Jatuhnya pesawat SJ-182 diperkirakan menyulitkan kondisi Sriwijaya Air. Dibayangi segunung utang lama. 

16 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Loket penjualan tiket maskapai penerbangan Sriwijaya Air di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, Oktober 2009. Dok.TEMPO/ Tri Handiyatno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Musibah SJ-182 menjadi pukulan baru bagi bisnis Sriwijaya Air.

  • Sriwijaya masih terlilit utang lama.

  • Opsi sumber pendanaan baru dan inovasi layanan dianggap krusial untuk menyelamatkan perseroan.

BISNIS penerbangan sejak awal diperkirakan belum akan siuman pada 2021. Meningkatnya angka kasus positif Covid-19 dan temuan varian baru virus pada akhir tahun lalu telah memaksa pemerintah memberlakukan lagi pembatasan kegiatan masyarakat dan menutup pintu kedatangan internasional. Kondisi ini ujung-ujungnya diperkirakan berimbas ke lalu lintas penerbangan domestik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khusus untuk Sriwijaya Air, musibah yang menimpa unit Boeing 737-500 mereka pada Sabtu, 9 Januari lalu, menjadi pukulan baru di awal tahun yang membuat gambaran bisnis maskapai ini kian buram. Pesawat dengan kode registrasi PK-CLC itu jatuh ketika terbang dari Jakarta menuju Pontianak, satu dari lima rute tergemuk Sriwijaya yang setahun terakhir menopang kinerja maskapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manajemen Sriwijaya Air belum bersedia menjelaskan dampak musibah ini terhadap rencana usaha perseroan ke depan. Juru bicara Sriwijaya Air, Theodora Erika, mengatakan perusahaan sedang berfokus pada penanganan kecelakaan pesawat dengan nomor penerbangan SJ-182 tersebut. “(Nanti) setelah kami selesai evakuasi satu minggu,” kata Theodora, Sabtu, 16 Januari lalu.

Pada November 2020, Sriwijaya sempat menyatakan optimismenya menyambut Natal dan tahun baru 2021. Hasil evaluasi kinerja sepanjang sepuluh bulan pertama 2020 menunjukkan rute Jakarta-Pontianak menjadi tumpuan Sriwijaya. Empat rute lain yang juga diklaim moncer adalah Pontianak-Jakarta, Makassar-Jakarta, Surabaya-Makassar, dan Makassar-Surabaya. “Berdasarkan evaluasi, kelima rute terpadat itu mampu memberikan kinerja positif bagi perusahaan,” begitu diungkapkan tim Corporate Communication Sriwijaya Air kala itu.

Meski demikian, pada periode itu dampak pandemi mulai tampak. Hingga Oktober 2020, misalnya, Sriwijaya hanya melayani 69 penerbangan, berkurang sebanyak 43 dari 112 rute pada Oktober 2019. “Berdasarkan data tersebut, sejauh ini sejumlah strategi yang disusun akan dilakukan sejalan dengan evaluasi rutin sambil terus memperhatikan perkembangan industri penerbangan nasional,” demikian penjelasan tim Corporate Communication Sriwijaya Air.

Manajemen Sriwijaya Air sebenarnya sedang menatap lembaran baru setelah “bercerai” dengan Garuda Indonesia Group pada November 2019. Berakhirnya kerja sama pengelolaan Sriwijaya Air itu diwarnai saling tuding. Pemilik Sriwijaya Air, lewat kuasa hukumnya saat itu, Yusril Ihza Mahendra, menilai kerja sama dengan Garuda justru merugikan perseroan.

Petugas keamanan di depan kantor pelayanan pelanggan Sriwijaya Air di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten, 9 Januari lalu. REUTERS/Willy Kurniawan

Sriwijaya mengklaim pangsa pasarnya merosot akibat persaingan yang mereka anggap tidak adil dan konflik kepentingan dengan maskapai anak perusahaan Garuda. Utang pun diklaim membesar, alih-alih berkurang, akibat adanya ketentuan management fee dan profit sharing.

Adapun juru bicara Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, saat itu menegaskan bahwa kerja sama operasional itu merupakan langkah untuk mengamankan aset dan piutang negara terhadap Sriwijaya Air Group. Dengan bubarnya kerja sama, ia meminta iktikad baik Sriwijaya Air Group dalam menyelesaikan kewajiban kepada beberapa perusahaan negara.

Di luar masalah pandemi dan musibah jatuhnya SJ-182, Sriwijaya Air memang telah lama terlilit utang triliunan rupiah. Laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada September 2020 mencatat piutang terhadap Sriwijaya Air senilai US$ 37,5 juta atau sekitar Rp 527 miliar. Angka itu sudah menyusut dibanding data per 31 Desember 2019, yang masih mencatat piutang senilai US$ 40,25 juta. Dalam laporan keuangan tersebut, manajemen Garuda telah melakukan pengikatan fidusia atas aset tetap tertentu milik Sriwijaya Air.

Pada periode yang sama, utang Sriwijaya kepada PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk mencapai US$ 54,28 juta atau sekitar Rp 763 miliar, bertambah dibanding posisi akhir 2019 yang hanya US$ 47,85 juta. Garuda Maintenance Facility juga mencatat piutang lain terhadap PT Nam Air, anak perusahaan Sriwijaya Air, senilai US$ 9,18 juta atau sekitar Rp 129 miliar.

Belum diketahui pasti bagaimana nasib utang Sriwijaya Air kepada sejumlah badan usaha milik negara lain, seperti PT Pertamina (Persero), PT Angkasa Pura I, dan PT Angkasa Pura II. Tapi, di mata pengamat aviasi Gerry Soejatman, bisnis Sriwijaya Air masih penuh kesulitan. Meski begitu, dia menilai kondisi saat ini lebih baik ketimbang tetap bersama Garuda Group. “Kayak orang di intensive care unit dengan kondisi yang lemah,” ucap Gerry. “Daripada seperti kemarin, jalan digandeng orang tapi sakit-sakitan. Sekarang di ICU, tapi kondisinya lebih tenang dan membaik.”

Dalam catatan Gerry, sekarang maskapai hanya menjalankan unit armada sesuai dengan kemampuan membayar biaya operasional pesawat. Ia menyebutkan, dari total 30 unit pesawat, tak lebih dari 10 unit yang beroperasi melayani berbagai rute. “Ada yang maintenance. Yang sehat kerja nyari duit buat mengongkosi maintenance yang lain.”

Sebenarnya, Sriwijaya juga telah lama menggagas berbagai opsi untuk mengatasi krisis likuiditas mereka. Chandra Lie, pemilik perusahaan, bahkan menyinggung rencana menggelar penawaran saham perdana kepada publik (initial public offering/IPO). “IPO mimpi besar perusahaan kami,” ujarnya pada September 2016. Kala itu, Chandra Lie membidik dana dari luar negeri hasil program pengampunan pajak (tax amnesty) bisa masuk untuk membeli saham Sriwijaya Air.

Namun Direktur Utama Sriwijaya Air Group Jefferson Jauwena menegaskan bahwa perusahaannya sedang berfokus memulihkan kondisi setelah manajemen terseok-seok akibat kisruh kerja sama dengan Garuda Group. Kalibut itu, dia menambahkan, menyebabkan frekuensi penerbangan melorot hingga sejumlah pesawat dikandangkan.

Rencana menggalang dana itu pun urung terlaksana lantaran pada saat yang sama kondisi perekonomian memburuk. Adapun Direktur Keuangan Sriwijaya Air Andreas Gunawan pernah mengungkapkan, IPO hanya satu dari beberapa opsi yang disiapkan perusahaan untuk mencari sumber pendanaan baru. Saat ini perusahaan tengah membuka diri untuk menerima investor atau lender.

Opsi ini pun bukan tanpa hambatan. Industri penerbangan bersama bisnis sektor pariwisata lain telah menjadi korban pertama sejak Covid-19 teridentifikasi masuk ke Indonesia pada Maret 2020. Pada awal Januari lalu, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penumpang pesawat rute domestik sepanjang November 2020 hanya 2,97 juta orang, menyusut lebih dari separuh dari 6,6 juta penumpang pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Di tengah impitan itu, Gerry menyarankan maskapai penerbangan, termasuk Sriwijaya, bertindak kreatif. Peluang baru, menurut dia, kini justru muncul dari layanan kargo yang volumenya belakangan terus meningkat. Per Desember 2020, volume bisnis kargo sudah hampir mencapai angka layanan bulanan November dan Desember 2019, yang berada di kisaran 37-38 ribu ton per bulan. “Ini bisa mengurangi biaya produksi perusahaan,” tuturnya. “Tidak bisa mengganti semua (biaya operasional maskapai), tapi paling tidak menutup sebagian untuk meringankan beban maskapai.”

RETNO SULISTYOWATI, FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus