Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tekad si om

Kebun kelapa hibrida milik multi agro dari astra di lampung, maju pesat. perkebunan swasta terlantar karena kurang menguasai manajemen. di aceh perkebunan swasta bergabung untuk mengatasi kesulitan.(eb)

1 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK hanya mobil, motor, dan karet dihasilkan kelompok Astra International Inc., tapi juga kelapa hibrida. Di Gunung Batin, Lampung, kebun induk kelapa hibrida seluas 160 ha milik grup ini, pekan Ini, dipanen untuk pertama kalinya dalam sebuah upacara. Tidak sia-sia tampaknya usaha William Soeryadjaya, Presiden Komisaris Astra, memasuki sektor agribisnis, yang dirintisnya dengan uang pribadi lebih dari 10 tahun lalu. Dari kebun induk itu, selain kelapa, diperoleh juga bibit hibrida yang akan ditanam kembali di lahan yang masih kosong, hingga kelak tanaman kelapa milik PT Multi Agro Corp. tadi akan mencapai luas 3.000 ha. Dan investasi yang dibutuhkan, secara bertahap, akan menggelembung hingga Rp 20 milyar. Panen pertama dan investasi sebesar itu, mungkin, tak akan terwujud jika William tidak nekat masuk ke Lampung merintis perkebunan singkongnya sejak 1974, hingga kemudian menghasilkan tapioka dari pabriknya. Tidak ada satu pun anggota Direksi Astra,ketika itu, merasa yakin tanaman singkong Si Om akan berhasil, mengingat harga jual komoditi ini sangat rendah ditambah lagi biaya pengangkutannya sangat mahal. Apa boleh buat, William terpaksa mengeluarkan dana sendiri Rp 5 juta setiap bulan untuk mendukung gagasan ini, sebelum akhirnya pihak Bank Bumi Daya setuju memberi kredit Rp 250 juta, dan direksi memberi lampu hijau. "Kalau bicara risiko, agribisnis memang tinggi. Tapi kalau tidak dimulai, kapan kita mau menaikkan daya beli masyarakat di sekitar perkebunan?" katanya. Mantapnya likuiditas dan manajemen Astra, tentu, jadi salah satu penopang kukuh bagi William untuk mewujudkan gagasannya: menciptakan lapangan kerja bagi tenaga tak terdidik dan menaikkan daya beli mereka. Kelebihan seperti itu, agaknya, yang tidak dimiliki hampir separuh dari 797 perkebunan swasta yang dianggap kurang terawat dan telantar oleh Menmud Tanaman Keras Hasyrul Harahap, belum lama ini, di DPR. Yang telantar dan kurang terawat itu, pada umumnya, merupakan perkebunan tua warisan kolonial. Di Jawa Tengah saja, menurut catatan Dr. Dibyo Prabowo, Staf Ahli Menmud, terdapat 15 lokasi perkebunan telantar dengan luas keseluruhan 500 ha -- yang terbesar perkebunan Tuk Bandung di Temanggung seluas 140 ha. Kata Dibyo, perkebunan jadi telantar karena pemilik tidak menerapkan manajemen agribisnis mutakhir dan kurang telaten mengelola, mengingat perputaran modalnya cukup lama -- sekitar lima tahun. Pinjaman dari bank juga sulit diperoleh kalau arealnya kurang dari 25 ha. Yang menjengkelkan, demikian Dibyo kalau mereka sudah mendapat kredit dengan bunga murah (12,5%), ada di antaranya yang menggunakan untuk kepentingan sektor usaha lain, atau malah didepositokan karena imbalan bunganya lebih tinggi. Bak buah simalakama. Begitu pula kira-kira keadaan perkebunan kopi dan cengkih Tuk Bandung di Temanggung yang pernah ditanami pohon jarak di masa Jepang. Perkebunan warisan masa kolonial ini, sejak 1982 diharuskan oleh pemiliknya, PT Rejodadi di Bogor, bisa menghidupi dirinya sendiri dari hasil panenan yang diperkirakan memerlukan Rp 10 juta setiap tahun. Hasilnya tidak banyak, karena Tuk Bandung hanya memiliki pohon kopi 30 batang, sedang cengkih 2.000 batang. Uang masuk diduga hanya Rp 7 juta tahun ini. Keluhan hidup senen-kemis itu juga dihadapi pemilik perkebunan teh dan karet Nyalindung di 35 km ke arah barat Bandung. Tanaman karetnya seluas 350 ha dianggap sudah perlu diremajakan karena telah relewati masa produktif. "Untuk meremajakan itu, kami perlu kredit, yang tidak usah diberikan sekaligus, tapi bertahap pun sudah senang," kata Abdurahman Nawawi, Direktur Operasional Nyalindung. Karena prospeknya, mungkin, dianggap kurang baik, kredit bank hingga kini belum turun juga. Nyalindung dan Tuk Bandung tentu tak perlu menyerah jika saja ada perkebunan swasta lain mau diajak bergabung membentuk satu perusahaan yang dikelola secara profesional -- seperti dilakukan di Aceh. Supaya jalannya usaha bisa lebih mantap, enam perkebunan swasta di Aceh bergabung membentuk sebuah perusahaan, PT Mopoli Raya, Syukur setelah bergabung, 9.000 ha tanaman sawit mereka berhasil, dan bahkan mereka kemudian punya pabrik pengolahan sendiri. "Kalau tidak bergabung, kami tak bisa bergerak dan pasti telantar," ujar Mochamad Sati, Direktur Mopoli. Menurut Sati, para pengusaha perkebunan swasta di Aceh, yang jumlahnya lebih dari 20 itu, pada umumnya kekurangan dana untuk penembanan dan peremaiaan. Hampir sebagian besar kebun merupakan warisan kolonial berisi tanaman tua. "Andai kata sejak 15 tahun silam ada bantuan kredit, kebun swasta yang kini melarat bakal tidak telantar," katanya. Orang ketika itu, memang, bagai lupa daratan ditimbun uang minyak yang bagai tumpah dari langit sesudah harganya terus meroket. Sekarang, setelah pamor minyak turun, perkebunan baru dilihat -- sementara Malaysia dan Muangthai sudah beberapa puluh tahun di depan. Eddy Herwanto Laporan Biro Bandung, Yogya, dan Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus