KALAU ada komoditi yang sulit dipegang buntutnya, tak pelak lagi namanya minyak. Begitu banyaknya faktor yang berpengaruh, termasuk spekulasi dan sistem korting yang njelimet, membuat sang harga berubah-ubah dari waktu ke waktu. Para analis umumnya bersepakat, rata-rata harga minyak yang kini berlaku di pasaran internasional jatuh di sekitar US$ 20 per barel. Lihat saja jenis Brent, minyak mentah Inggris dari Laut Utara yang paling jempolan, yang pekan lalu sudah anjlok lagi menjadi 14 dolar sebarel. Demikian pula yang terjadi dengan West Texas Intermediate, jenis minyak Amerika yang belakangan ini digunakan sebagai patokan di AS. Kedua jenis minyak itu paling banter bisa dijual di bawah harga US$ 16 per barel. Harga yang terjadi di pasaran tunai (spot), dan penjualan dengan penyerahan kemudian (futures trading), oleh sementara industralis dan pengamat minyak suka dituding sebagai "harga di atas kertas". Salah satu alasan adalah, jumlah minyak yang bergerak di kedua pasar itu hanya mewakili sekitar 10 persen dari seluruh perdagangan minyak. Celakanya, harga di atas kertas itu, yang dalam hal penjualan dengan penyerahan kemudian hanya berkisar kurang dari 1 persen, dipakai untuk mengukur harga minyak internasional. Demikian runyamnya harga minyak sehingga Menteri Pertambangan dan Energi Subroto terpaksa menerima desakan para kontraktor minyak asing agar pajak mereka diperingan. Berlaku surut per 1 Februari, pemerintah telah menetapkan pemungutan pajak minyak perusahaan asing berdasarkan harga pasar, dan tidak lagi berdasarkan harga resmi. Ketetapan baru tersebut dengan sendirinya akan mengurangi sasaran pajak perseroan minyak. Baik untuk tahun anggaran yang masih berjalan dan akan berakhir per 31 Maret nanti maupun untuk tahun anggaran 1986-1987 yang ingin mencapai sasaran pajak perseroan Migas sebesar Rp 9.738 milyar. Tapi keringanan untuk para kontraktor asing itu oleh pemerintah dilihat perlu, agar mereka tak menutup usaha eksplorasinya, lalu hengkang ke luar Indonesia. "Dengan kebijaksanaan ini, diharapkan mereka tetap bisa mengadakan investasi lagi di sini," kata Subroto. Tahun 1984, Pertamina hanya memperoleh dua kontrak eksplorasi, sedang tahun lalu hanya tiga. Staf ahli Menteri Pertambangan dan Energi Wijarso, dalam seminar yang diselenggarakan TEMPO minggu ini di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, banyak bicara tentang kegiatan eksplorasi. Menurut Wijarso, dalam bagian pertama tahun delapan puluhan, rata-rata pengeboran eksplorasi berjumlah 230 sumur dalam setahun. Kegiatan tersebut, diakuinya, memang agak menurun dalam tahun 1985, tapi, katanya, "masih lebih tinggi dari rata-rata tahun tujuh puluhan." Adalah kegiatan seismik yang, menurut Wijarso, menurun agak besar. Ini, menurut pembicara tunggal dalam seminar tersebut, disebabkan berkurangnya penandatanganan kontrak baru dalam tahun 1984 dan 1985. Adapun penyebabnya, "karena ketidakjelasan dalam Undang-undang perpajakan baru, yang kini telah dapat diselesaikan," katanya. Ia selanjutnya mengatakan, di dalam setiap penilaian kemampuan produksi suatu perusahaan, masalah cadangan memang merupakan ukuran kemampuannya. Maka, usaha mencari cadangan merupakan indikasi dari kegiatannya. Cadangan itu dapat berupa cadangan terbukti atau cadangan potensial. Dari besarnya cadangan yang beragam itu, umumnya dapat diketahui "olah" suatu perusahaan. Hal tersebut -- penjumlahan cadangan terbukti -- sering juga digunakan untuk menilai "umur" dan "olah" dari negara pengekspor minyak. Untuk negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah, dengan ladang minyak yang memiliki cadangan terbukti puluhan milyar barel, bahkan melebihi seratus milyar barel, cara tersebut memang dapat dipergunakan. Dengan cadangan terbukti yang cukup untuk 50 atau 60 tahun, maka tambahan cadangan potensial hanya akan memperpanJang kemampuan produksi sampai setelah tahun 2030 atau 2040. Cara yang lazim digunakan di Timur Tengah itu kemudian juga diikuti oleh negara pengekspor mmyak yang lam. Maka, menurut Wijarso, di sini sebenarnya terletak perbedaan dalam menilai cadangan terbukti yang terpendam di bumi Indonesia. Ladang-ladang minyak kita sendiri umumnya tergolong tidak besar, kecuali beberapa ladang minyak seperti Minas dan Duri punya PT Caltex. Akibatnya, cadangan terbukti yang diketahui setiap saat tidak akan terlalu besar. Sebab, tak dapat diharapkan bahwa perusahaan-perusahaan minyak akan memastikan bahwa cadangancadangan kecil yang baru ditemukan akan bisa dikembangkan 10-15 tahun mendatang. Karena itu, "ukuran cadangan terbukti bukanlah cara yang tepat untuk menilai kemampuan produksi minyak Indonesia di masa mendatang," kata Wijarso. Minyak bumi umumnya dapat ditemukan dalam cekungan-cekungan geologis, dengan kemungkinan satu cekungan mengandung minyak bumi lebih besar dari lain cekungan, tergantung kondisi geologisnya. Dewasa ini diketahui terdapat 60 cekungan di dalam wilayah teritorial dan landas kontinen Indonesia. Dari jumlah itu, 23 cekungan sudah dieksplorasi, dan 13 di antaranya sudah berproduksi. Para ahli geologi Indonesia memperkirakan, potensi produksi minyak Indonesia masih sangat besar: mencapai 50 milyar barel atau lebih dari 70 tahun dari tingkat produksi minyak Indonesia dewasa ini. Patut dicatat, dengan makin sempurnanya penelitian geologis di Indonesia, jumlah cekungan yang ditemukan pun semakin banyak. Gas alam, menurut Wijarso, agak berbeda dengan minyak. "Alam telah melimpahkan kepada kita cadangan-cadangan yang besar. Sehingga tanpa perlu memperkirakan potensi gas alam yang kita miliki, cadangan terbukti yang ada dapat menjamin tingkat produksi gas yang sekarang untuk masa yang lebih dari 70 tahun," katanya. Sejak Agustus 1977 Indonesia telah melaksanakan ekspor gas alam cair (LNG) yang pertama, dan hingga kini telah mencapai 15,1 juta ton setahun. Tujuan ekspor adalah Jepang. Diharapkan dalam tahun ini dapat direalisasikan ekspor LNG ke Korea Selatan kemudian juga ke Taiwan. Dari segi penerimaan negara, maka ekspor LNG merupakan suatu sumber yang stabil untuk jangka waktu 20 tahun sejak 1977. Itu pula yang membedakan Intara ekspor minyak dan ekspor LNG. Dalam RAPBN 1986-1987 LNG merupakan 16,4% dari seluruh penerimaan Migas. Di bidang LNG, Indonesia dalam waktu kurang dari 7 tahun telah mampu tampil sebagai produsen dan eksportir terbesar di dunia. Dengan dua lokasi dan sembilan unit pencair (yang segera akan menjadi 10 unit), suplai LNG dari Indonesia dapat dikatakan merupakan "teraman". Sekalipun pada bulan April 1983 terjadi kecelakaan pada satu di antara lima unit pencair di lapangan Bontang, Kalimantan Timur, Indonesia dapat memenuhi semua kewajiban suplai LNGnya dalam tahun itu juga. BERBICARA soal ekspor minyak Indonesia, Wijarso mengakui memang terjadi penurunan permintaan dari Jepang. "Tapi itu diimbangi oleh pasaran minyak yang lain di sekitar kita," katanya. Menurut Wijarso, dalam enam tahun terakhir, rata-rata 60% dari suplai minyak Indonesia dipasarkan di kawasan Pasifik Barat. Tapi yang agaknya menarik adalah ini: Wijarso tak yakin minyak jenis Dacin dari RRC merupakan saingan Indonesia yang sesungguhnya. Pihak Jepang selalu mencoba menggambarkan seakan-akan minyak Cina itu merupakan saingan utama minyak Indonesia, agar selalu bisa menekan harga minyak yang lebih rendah di kedua pihak. "Kalau terus bersaing, diharapkan kedua jenis minyak itu akan turun harganya," katanya. Pihak Jepang, menurut Wijarso, akan senantiasa membeli minyak dari Cina karena pertimbangan neraca perdagangan. Juga, "karena minyak merupakan satu-satunya cara bagi Cina untuk membayar segala macam pembeliannya," kata Wijarso. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini