Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan siswa mengerubungi gerobak penjual sosis goreng di depan SMP Negeri 16 Palmerah, Jakarta, Kamis siang pekan lalu. Pemandangan serupa kerap tampak pada waktu istirahat di banyak sekolah lain di Ibu Kota, juga di banyak kota lain dan desa-desa. Jajanan berbahan olahan daging sapi atau ayam ini jadi salah satu kudapan favorit, seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi masyarakat.
Sebagian produk lokal, bahkan hasil industri rumahan. "Tapi semakin banyak produk impornya," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengolah Daging Nasional Haniwar Syarif, Rabu pekan lalu. Haniwar dan rekan-rekannya mengaku risau melihat kecenderungan ini.
Sebab, banyak produk olahan itu ditengarai berbahan baku daging sapi yang berasal dari negara-negara yang belum bebas penyakit kuku dan mulut. Beragam produk dari Malaysia, misalnya, diketahui menggunakan daging sapi asal India, yang terlarang untuk diimpor ke Indonesia.
Haniwar menyebutkan impor sosis dan produk daging olahan sejenisnya naik 18 kali lipat dalam tiga tahun belakangan. Dari hanya US$ 305.600 pada 2012 menjadi US$ 5,55 juta atau setara dengan Rp 72 miliar pada 2014. Dari volumenya, jumlah impor sosis naik dari 64,23 ton menjadi 2.000 ton lebih. "Sebesar 85 persen diimpor dari Malaysia."
Impor gaging olahan dalam bentuk lain sama saja. Kenaikannya dari 2.300 ton senilai US$ 9,9 juta pada 2012 menjadi 3.800 ton dengan nilai US$ 14,24 juta pada 2014.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparringa mengakui banyaknya produk olahan daging yang masuk ke Indonesia akhir-akhir ini. Sejak 2014 hingga Juni 2015 saja BPOM sudah mengeluarkan izin edar untuk 172 produk, 19 di antaranya sosis. Rinciannya: Malaysia 9 izin, Cina 3, Korea 3, Singapura 2, dan Prancis 2. Adapun untuk daging olahan selain sosis ada 153 izin, meliputi 45 dari Cina, 36 dari Malaysia, 19 dari Taiwan, 12 dari Singapura, 10 dari Korea, dan 9 dari Prancis.
Roy menyatakan produk impor yang diterbitkan izin edarnya itu telah memenuhi standar keamanan dan nilai gizi. "Pemerintah memang tidak mengizinkan impor daging segar dari negara yang belum bebas penyakit kuku dan mulut. Tapi penyakit ini dapat dihilangkan melalui proses pemanasan," ujarnya.
Meski barang impor membanjir dan terus melonjak, para produsen dalam negeri sebenarnya masih menguasai 80 persen pasar. Masalahnya, kata Haniwar, mereka melihat ancaman itu akan semakin besar bila pasar bebas ASEAN dibuka tahun depan. Para pemain lokal terpaksa bersaing dengan produsen negeri tetangga, yang bisa mendapatkan bahan baku daging lebih murah dari India. "Sedangkan kami hanya boleh menggunakan daging dari negara yang bebas penyakit kuku dan mulut."
Haniwar menjelaskan, harga daging sapi India sekitar Rp 30 ribu per kilogram, sementara dari Australia Rp 60 ribu. Terang saja harga sosis dan olahan lain dari Malaysia bisa lebih murah. Begitu pula bahan baku daging ayam. Produsen Malaysia bisa mengimpor mechanically deboned meat (MDM) atau daging yang dipisahkan dari tulangnya dengan mesin, yang harganya lebih murah. "Tapi produsen lokal dilarang impor MDM ayam untuk industri. Kami harus beli dari dalam negeri, yang jauh lebih mahal."
Itu sebabnya, Haniwar meminta pemerintah melarang atau membatasi impor produk olahan daging yang menggunakan bahan baku dari negara yang belum bebas penyakit kuku dan mulut. Jika tidak, ia menuntut kebijakan yang sama diberlakukan bagi industri dalam negeri. "Kami minta diberi kebebasan memilih bahan baku."
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Muladno Basar menyatakan kemungkinan untuk membuka pintu impor daging sapi dari India ada. "Kami pelajari peluang untuk mengimpor sapi selain dari Australia, tentu dengan tetap mempertimbangkan faktor keamanan."
Pingit Aria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo