Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terang Bulan Di Laut Jepara

Nelayan pukat harimau sudah tak berkutik lagi. namun tak dengan sendirinya nelayan kecil bernafas lega. dicurigai ada kapal asing mencuri diam-diam. (eb)

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Terang Bulan Di Laut Jepara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
HAJI Mohamad Sulchan, bekas pengusaha trawl dari Semarang itu, masih penasaran. Ia beranggapan dicabutnya nyali kapal-kapal trawl (yang juga dikenal dengan pukat harimau) ternyata tidak saja merugikan sejumlah pengusaha ikan dan udang yang menghasilkan devisa, tapi juga tak mampu mengangkat derajat kehidupan kaum nelayan kecil. Dalam sebuah surat terbuka 2 Juni lalu -- 20 hari sebelum pengusaha beken itu mendapat piala utama dari Menteri Agama karena terpilih sebagai keluarga teladan (lihat Pokok & Tokoh) -- dia menulis "Yang besar sudah telanjur hancur, tetapi yang kecil bahkan mati. . . " Dir-Ut PT Cejamp (Central Jawa Marine Products), pabrik pendingin udang di Semarang itu tak menentang ucapan Mensesneg Sudharmono betapa para nelayan akan memperoleh lebih banyak ikan setelah itu trawl dilarang beroperasi. Di lain pihak, Sulchan tak melihat penghasilan ikan yang bertambah itu akan menambah rezeki para nelayan. Soalnya, menurut Sulchan, pemasaran ikan-ikan yang kecil itu tidaklah semudah menjual udang. Perlu tempat penjemuran yang luas, tempat penyimpanan dan jaringan penjualan, yang semuanya membutuhkan modal dan ketrampilan. Sulchan berpendapat para nelayan sudah merasa senang, kalau saja mereka mendapatkan tiga kilogram udang sekali melaut. "Bayangkan, di pabrik pendingin sekilo udang bisa laku antara Rp 7.000 sampai Rp 8.000," katanya. Sejak Oktober tahun lalu, beberapa saat setelah keluarnya Keppres No. 39 tanggal 1 Oktober 1980 yang melarang tawl itu, pabriknya yang patungan dengan Jepang kontan menurun produksinya. "Udang yang masuk dari pasaran umum waktu itu hanya 25%, sedang dari kapal sendiri sifatnya cuma tambahan," kata Sulchan yang kini banting stir ingin membuka pabrik semen. Dinding Bambu Keterangan Sulchan itu dibenarkan oleh Eddy Soehodo, 29 tahun, mahasiswa Undip, calon sarjana hukum yang memiliki dua kapal pukat harimau. Kini kapalnya diubah berjaring gilnet, tapi baru jalan satu. Kapal Eddy itu diongkosi lewat kredit Rp 8 juta dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk diubah menjadi gilnet. "Tapi untuk mengangsur tiap bulan Rp 240 ribu, setengah mati," katanya kepada wartawan TEMPO Hamid S. Darminto di Semarang. Pada 18 Juni lalu hasil tangkapan nelayan pribumi itu sampai sekitar dua ton, berupa ikan cucut dan jenis lainnya. "Tapi uangnya cuma Rp 900 ribu," katanya. Musim begini memang sepi, belum panen. Tapi andaikata panen, penghasilan dari gilnet itu menurut Eddy toh tetap kecil dibandingkan trawl. "Paling tidak satu berbanding sepuluh," katanya. Tapi benarkah sinyalemen Sulchan itu -- yang disetujui oleh Eddy -- tentang kehidupan nelayan kecil yang masih payah setelah pukat harimau disingkirkan? Matran, 55 tahun, nelayan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mengakui penghasilannya kini rata-rata Rp 900 sehari. Semasih ada trawl Rp 800. Nelayan dari Desa Jobokuto, Jepara, yang menghidupi delapan mulut itu memiliki perahu sendiri yang sampai sekarang belum juga bermesin. Lain lagi Fadlan, 45 tahun, dari desa itu juga. Bersama enam rekannya, nelayan yang beranak lima dari satu istri itu sudah sebulan melaut, mencari ikan untuk dijadikan ikan asin. Bekal yang dibawa Fadlan menelan Rp 100 ribu, yang ia pinjam dari seorang tengkulak, dengan perjanjian: hasil tangkapannya harus dijual kepada si pedagang itu dengan harga di bawah pasaran. Untuk teri hitam misalnya Rp 500 per kilo, sedang di pasar laku Rp 800. Setelah dihitung-hitung, nelayan itu merasa rugi. "Saya harus menombok Rp 10 ribu kepada majikan saya," katanya. Pembantu TEMPO B. Amarudin yang merekam kehidupan nelayan di perairan Jepara itu juga menceritakan nasib jelek yang diderita Sutadji, 45 tahun, asal Jobokuto juga. Nelayan ini tadinya memiliki sebuah perahu. Sekarang sudah dijual untuk menombok utang. "Sekarang saya ikut orang," kata ayah dari lima anak itu. Sebagaimana banyak nelayan lain di sana, Sutaji sudah seminggu lebih menganggur, karena terang bulan. Kehidupan para nelayan di Jepara itu nampak tidak berubah. Perumahan umumnya terbuat dari dinding bambu, lantai dari tanah liat dan atap daun rumbia. Mereka rata-rata punya lima anak, yang paling banter bersekolah di SD. Tapi adalah anak-anak itu pula yang sepulang dari sekolah bekerja keras sebagai pengrajin ukiran. Kegiatan para pengrajin cilik itu antara lain terdapat di Desa Bulak, Kecamatan Kedung, Jepara. "Kalau tak ada anak-anak ini, kehidupan para nelayan di sini pasti lebih susah," kata Sutoyo, Kepala Desa Bulak. Untung saja di samping cerita dari Jepara yang memprihatinkan itu, masih ada kabar baik. Mastam, 35 tahun, pemilik kapal "Keno Lowo Putih" di daerah nelayan Tambakrejo Semarang merasa bersyukur dengan hilangnya pukat harimau. Hasil tangkapannya melonjak. Dalam musim sepi seperti sekarang ini, nelayan itu mengaku paling sedikit masih bisa mengantungi seribu perak sehari. "Dulu waktu ada trawl, laut seperti diaduk-aduk," katanya. Dia mendoa agar "setan aduk-aduk" itu untuk selamanya dilarang beroperasi. Toh kabarnya masih ada "setan" yang berkeliaran. Itu diakui baik oleh Eddy Soehodo maupun Sulchan. Sehari menjelang dilarangnya travl, Eddy merasa yakin kapalnya telah berpapasan dengan dua kapal asing yang masingmasing memasang dua jaring pukat harimau. "Jelas itu mencuri. Apalagi sekarang," katanya. Pencurian udang oleh kapal asing itu ternyata memang menjadi omongan banyak nelayan bekas trawl di Semarang. Sulchan pun menambahkan: "Apa sih sulitnya. Mereka tangkap itu udang, langsung didinginkan di kapal, dibungkus lalu lari ke luar. Beres." Apa iya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus