Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANGAN seluas 5 x 6 meter itu kosong tak terurus. Dua kursi panjang ditumpuk dekat beberapa barang yang mulai berdebu. Replika pesawat bertulisan "Mandala" diletakkan dengan moncong menghadap ke sudut ruangan. Kertas berisi pengumuman pengembalian uang tiket dan nomor call center tertempel di kaca pembatas ruangan. Tak ada lagi terpampang tulisan "Tigerair Mandala".
Pemandangan yang kontras terlihat di sebelahnya, masih di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Selasa dua pekan lalu. Di kantor milik Lion Air dan Batik Air tampak ramai. Begitu pula kantor penjualan tiket AirAsia. Orang terlihat keluar-masuk untuk membeli tiket.
Tigerair Mandala, yang berhenti beroperasi pada 1 Juli lalu, menjadi korban keempat dari gejolak yang menerpa industri penerbangan dalam negeri sejak setahun lalu. Sky Aviation, satu-satunya maskapai pengguna Sukhoi SSJ-100, lebih dulu berhenti terbang pada Maret lalu.
Gerai penjualan tiket Sky yang berada di Terminal 2 Soekarno-Hatta juga sudah tutup lama. Tigerair Mandala dan Sky Aviation menyusul Batavia Air, yang divonis pailit tahun lalu, dan Merpati Nusantara Airlines, yang berhenti terbang sejak awal tahun ini.
Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murjatmodjo mengatakan pertumbuhan penumpang pada 2013 memang tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu jumlah penumpang hanya tumbuh 6 persen, jauh menurun bila dibanding tahun sebelumnya yang bisa mencapai 18 persen. "Penurunan ini mulai terjadi pertengahan tahun lalu," katanya.
Penurunan ini, menurut Djoko, salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak pada pertengahan tahun lalu, yang mendorong naiknya harga barang kebutuhan pokok. Yang terkena imbasnya adalah penumpang pengguna penerbangan murah alias low cost carrier, yang cukup sensitif terhadap harga. "Yang semula ingin bepergian dengan pesawat akhirnya menunda rencananya, bahkan tidak pergi sama sekali," kata Djoko.
Jumlah penumpang segmen penerbangan murah ini mencapai 78 persen dari total penumpang angkutan udara yang pada 2013 mencapai 75 juta orang. Sedangkan untuk penerbangan full-service carrier, seperti Garuda Indonesia dan Batik Air, tetap tumbuh 14 persen.
Muhammad Arif Wibowo, Ketua Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengatakan sepanjang 2010-2012 bisnis maskapai banyak ditolong oleh pertumbuhan ekonomi yang bisa menembus 6 persen. Bagi kalangan maskapai, ini menguntungkan karena perhitungan umumnya angkutan udara akan tumbuh dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi.
Memasuki semester kedua 2013, pertumbuhan ekonomi merambat di bawah 6 persen. Ditambah dengan pelemahan nilai tukar rupiah hingga menembus 11.500 per dolar, banyak maskapai kian terjepit. "Kami menghadapi situasi challenging, tekanan rupiah sekaligus makroekonomi yang kurang bagus," ujar Arif, yang juga Presiden Direktur Citilink.
Situasi inilah yang memaksa maskapai harus pandai bersiasat agar tidak ikut nyungsep menyusul empat perusahaan tadi. Sriwijaya Air, misalnya, memilih melakukan restrukturisasi antara lain dengan tidak menerbangkan delapan pesawat dari 38 pesawat yang mereka operasikan. Strategi ini mereka umpamakan mundur tujuh langkah untuk maju satu langkah. "Kami menginginkan usaha ini bisa selamat dan survive," kata Direkur Komersial Sriwijaya Air Toto Nursatyo.
Anjloknya nilai tukar rupiah ini memang membuat Sriwijaya Air serasa diterpa badai yang hebat. "Ini seperti perfect storm," ujar Toto. Kondisi ini mengakibatkan harga jual tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Padahal 75 persen ongkos operasional menggunakan dolar, terutama untuk pembelian bahan bakar, yang menghabiskan 50 persen dari total biaya.
Selain mengandangkan delapan pesawat, beberapa langkah penyelamatan lain disiapkan agar perusahaan bisa tetap bertahan. Sriwijaya menutup rute yang tidak menguntungkan. Misalnya Jakarta-Aceh, Pekanbaru, dan Palangkaraya. Maskapai kemudian lebih menguatkan posisinya di Indonesia timur. "Yield-nya masih bagus," kata Toto.
Memperbesar penerimaan dolar juga menjadi cara Sriwijaya selamat dari gejolak kurs rupiah. Sejak Februari lalu, Sriwijaya membuka penerbangan dari Denpasar ke tiga kota di Cina, yakni Hangzhou, Ningbo, dan Nanking. Bagi Sriwijaya, ini merupakan sebuah tantangan, mengingat maskapai ini tidak terbiasa melayani rute internasional.
Terbang ke Cina ternyata mampu menyelamatkan Sriwijaya sehingga bisa terbang lebih tinggi. Pada Juli ini, Sriwijaya menambah dua penerbangan ke dua kota di Cina, Chengdu dan Changsa. Sedangkan pada Agustus nanti, Sriwijaya akan melayani rute ke Guangzhou dan Chong Qing. Menurut Toto, tiga rute ke Cina tersebut selalu penuh, "load factor-nya mencapai 95 persen," ujarnya.
Cina merupakan pasar baru yang menggiurkan. Pemerintah Cina, kata Toto, punya kebijakan memberikan tunjangan kepada warganya untuk bepergian ke luar negeri. Sriwijaya, menurut dia, mengambil pasar kota-kota kecil di Cina yang selama ini tidak diambil Garuda Indonesia, yang terbang ke kota besar, seperti Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Hong Kong. Dari melayani penerbangan ke Cina ini, Sriwijaya mampu menambah pendapatan dari dolar 15 persen. "Ke depan kami akan tambah 30 persen," ujarnya.
Strategi berbeda diambil Citilink. Anak perusahaan Garuda ini justru lebih memilih memperkuat rute domestik. Karena alasan itu, Citilink memilih menunda beberapa penerbangan internasional yang sudah dijadwalkan, seperti Surabaya-Johor. "Saya berfokus menyelesaikan dulu yang domestik, PR-nya masih banyak," kata Arif Wibowo.
Bagi Citilink, pasar domestik masih menjanjikan. Penguatan pasar domestik dilakukan Citilink dengan menambah utilisasi Bandara Halim Perdanakusuma hingga 70 slot. Kemudian memperkuat Bandara Soekarno-Hatta dengan 80-100 slot, sehingga pada akhir 2014 Citilink menargetkan 200 penerbangan setiap hari. "Kami melihat ada opportunity di Halim," katanya.
Citilink juga akan masuk ke 22 rute utama domestik, seperti Jambi, Bengkulu, Pangkalpinang, dan Tanjung Pandan, dengan minimal penerbangan dua kali per hari. Menurut Arif, yang dekat-dekat sebaiknya dibereskan sebelum mengambil rute internasional. Dengan tambahan delapan pesawat baru tahun ini, Citilink menargetkan bisa mengangkut 8,2 juta penumpang.
Menurut Arif, maskapai dalam negeri saat ini terhambat adanya penerapan tarif batas atas yang asumsinya nilai tukar Rp 10 ribu per dolar. Padahal sekarang rupiah sudah menembus 11.500 per dolar. Arif menyarankan agar tidak ada lagi aturan yang membatasi penerapan tarif tersebut. Akan lebih baik bila harga ditentukan melalui mekanisme pasar.
Namun, menurut Djoko Murjatmodjo, bila aturan tarif batas atas itu dicabut, justru maskapai yang rugi. Dengan kondisi seperti sekarang, menurut Djoko, "Kalau harga dinaikkan, nanti penumpang malah kabur." Namun, menurut Arif, ada rute tertentu yang sebaiknya dilepas ke mekanisme pasar. "Sehingga bisa menutup rute yang kurang menguntungkan," katanya.
Sependapat dengan Arif, Chief Executive Officer Tigerair Mandala Paul Rombeek mengatakan tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mempertahankan tarif batas atas. Sebab, menurut dia, pasar dapat mengatur dirinya sendiri. "Akan ada banyak persaingan yang akhirnya akan menurunkan harga," katanya.
Paul mengatakan pendapatan dari rute domestik berada dalam tekanan karena ketatnya persaingan. "Kami memiliki rentang harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Ada batas tarif yang harus dipatuhi," katanya. Maka sepanjang 2013 Tigerair Mandala meningkatkan kapasitas di rute internasional dan mengurangi rute domestik. Maskapai milik Tigerair dan Saratoga ini kemudian menutup penerbangan ke Batam, Medan, dan Surabaya.
Namun rupanya keputusan itu tidak banyak menolong. Menurut Paul, beragam faktor membuat Tigerair Mandala kolaps. Pada akhir 2013, kata Paul, ada banyak tambahan kapasitas di pasar penerbangan. "Ada lebih banyak kursi tersedia dibanding permintaannya."
Kondisi ini, kata Paul, mengakibatkan sejumlah maskapai mulai melakukan perang harga. Pada saat yang sama, rupiah terdepresiasi hingga 24 persen. Sedangkan 80 persen dari biaya yang mereka keluarkan dalam dolar. "Ditambah tingginya harga bahan bakar serta kurangnya pendanaan dari investor, kami memilih menutup perusahaan," katanya.
Djoko mengatakan Tigerair Mandala kedodoran baik di dalam maupun di luar negeri. Maskapai ini, menurut Djoko, tidak punya fleksibilitas karena jumlah pesawatnya hanya sembilan unit dan belakangan tinggal lima. Berbeda dengan Sriwijaya, yang mempunyai 38 pesawat, dan Citilink, yang mengoperasikan 24 unit pesawat. "Kalau armadanya 100, dia menutup rute di sini masih bisa menghidupi rute yang lain. Bagaimana kalau pesawatnya hanya empat unit?" katanya. Dia juga menolak bila disebut saat ini ada kapasitas yang berlebih. "Load factor hampir 80 persen, belum kelebihan," ujarnya.
Lion Air, yang mempunyai lebih dari 100 pesawat, memiliki ruang yang lebih besar untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi jumlah penerbangan pada saat penumpang sepi. "Kami belum ada rencana menutup rute penerbangan," kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait.
Iqbal Muhtarom
Pangsa Pasar (%)
No | Maskapai | % |
1. | Lion Air | 42 |
2. | Garuda | 28 |
3. | Sriwijaya Air | 11 |
4. | Citilink | 7 |
5. | Indonesia AirAsia | 4 |
6. | Wings Air | 4 |
7. | Lainnya | 4 |
Peringkat Maskapai Murah Berdasarkan Jumlah Pesawat
Peringkat | Maskapai | Negara | Armada | ||
Desember 2014 | 1 Januari 2014 | Januari 2013 | |||
1 | Lion Air | Indonesia | 105 | 94 | 91 |
2 | AirAsia | Malaysia | 76 | 72 | 64 |
3 | Cebu Pacific Air | Filipina | 48 | 48 | 41 |
4 | Thai AirAsia | Thailand | 43 | 35 | 27 |
5 | Wings Air | Indonesia | 34 | 27 | 27 |
8 | Tigerair | Singapura | 33 | 25 | 21 |
6 | Citilink | Indonesia | 32 | 24 | 21 |
7 | Indonesia AirAsia | Indonesia | 30 | 30 | 22 |
9 | Nok Air | Thailand | 26 | 22 | 20 |
10 | Malindo Air | Malaysia | 23 | 11 | 0 |
Jumlah Penumpang
Tahun | ||||||
2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | |
Jumlah Penumpang | 37.405.437 | 43.808.033 | 51.775.656 | 60.197.306 | 71.421.464 | 75.755.961 |
Pertumbuhan | -4,49% | 17,12% | 18,19% | 16,27% | 18,65% | 6,07% |
Sumber: Kementerian Perhubungan
Harga Avtur Domestik 2014
Avtur Domestik | Kurs Rupiah Bank Indonesia | |
Januari | Rp 13.087 | Rp 12.165 |
Februari | Rp 12.778 | Rp 11.728 |
Maret | Rp 12.201 | Rp 11.370 |
April | Rp 11.738 | Rp 11.526 |
Mei | Rp 12.018 | Rp 11.516 |
Juni | Rp 11.956 | Rp 11.973 |
Naskah: Iqbal Muhtarom | Sumber: Kementerian Perhubungan, INACA, Centre For Aviation
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo