Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

(Bukan) Vonis Mati untuk Merpati

DPR dan pemerintah memilih mempertahankan Merpati. Opsi likuidasi lebih masuk akal.

28 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPI menyelimuti kantor pusat PT Merpati Nusantara Airlines di Gedung Badan SAR Nasional, Kemayoran, Jakarta Pusat, dua pekan lalu. Dari lima lantai yang disewa, Tempo hanya menjumpai seorang pekerja di lantai sepuluh. Agus, pegawai bagian keamanan, mengajak Tempo berkeliling kantor. "Cuma ada empat-lima orang yang masuk. Bagian personalia semua," katanya. Karyawan Merpati tidak lagi ngantor sejak awal tahun ini.

Kondisi serupa terjadi di kantor-kantor cabang Merpati. Kantor maskapai pelat merah ini di Jalan Darmo 111, Surabaya, pun kosong. Pos keamanan yang berada di sebelah kanan gedung juga tak berpenghuni. Pagar hitam di luar gedung terkunci rapat oleh gembok dan rantai besar.

Merpati berhenti beroperasi sejak Februari lalu. Perusahaan memikul beban utang superjombo, per Januari 2014 sebesar Rp 7,647 triliun. Utang itu kepada sesama perusahaan negara, swasta, dan pemerintah. Piutang pemerintah ke Merpati mencapai Rp 2,4 triliun plus utang pajak Rp 873 miliar.

Keuangan Merpati memang babak-belur. Selain utang yang sangat besar, modalnya sudah minus sekitar Rp 3 triliun. Tapi panitia kerja kasus Merpati yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat tetap memutuskan mempertahankan perusahaan dengan merestrukturisasi utangnya.

Keputusan itu diserahkan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan dalam rapat kerja bersama Komisi BUMN DPR, 7 Juli lalu. Panitia merekomendasikan lima hal, yakni pertama meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit investigasi Merpati. Kedua, meminta penegak hukum mengusut pengadaan pesawat MA-60 yang terindikasi pidana korupsi.

Tiga lainnya adalah meminta Kementerian BUMN membantu menekan kerugian Merpati, meminta pergantian direksi, dan merestrukturisasi utang perusahaan. Langkah yang terakhir ini akan melibatkan Kementerian BUMN, Bappenas, dan Kementerian Keuangan.

Dahlan mengaku telah melayangkan surat ke Menteri Keuangan Chatib Basri atas restrukturisasi utang Merpati. "Masih menunggu tanggapan," katanya. Persetujuan Menteri Keuangan mengkonversi piutang menjadi saham diyakini akan "menular" ke BUMN yang memiliki piutang dengan Merpati. "Kalau pemerintah saja mau, masak BUMN enggak?"

Dahlan melontarkan tiga resep penyelamatan Merpati, yakni merestrukturisasi utang, membentuk kuasi reorganisasi, dan menggandeng mitra. "Kerja sama dengan swasta sudah jalan," ujarnya. Ketiga hal itu, kata Dahlan, telah dijelaskan ke Kementerian Keuangan melalui surat. Namun Menteri Chatib mengaku belum menerima surat yang dimaksud Dahlan. "Belum lihat suratnya. Belum tahu," ucapnya.

Berbagai langkah dilakukan setelah keputusan panitia kerja Merpati. Pada 18 Juli lalu, digelar rapat rekonsiliasi utang Merpati-dengan 11 BUMN lain, termasuk PLN-di Direktorat Sistem Manajemen Investasi Kementerian Keuangan.

Komisi BUMN DPR juga mengundang direksi Merpati pada pertengahan Juli lalu. Saat itu Direktur Utama Merpati Asep Ekanugraha memaparkan keuangan operasional perseroan yang sempat positif pada 2013. Tapi arus kas nyungsep lagi gara-gara kurs rupiah jeblok dan kenaikan harga avtur.

Asep mengatakan direksi telah menyusun rencana bisnis untuk menghidupkan perusahaan yang mati suri ini. Salah satunya berfokus pada penerbangan menggunakan pesawat turbo-propeller saja.

Dalam skema itu, kata pejabat yang mengetahui rencana bisnis Merpati, perusahaan akan menggunakan armada propeller yang dimiliki, yakni MA-60, DHC 6, dan C 212. Perusahaan menargetkan penambahan tiga-empat unit armada per bulan, sepanjang 2014-2018. Belum dirinci rute mana saja yang akan dilayani.

Merpati juga harus menyiapkan Rp 387,23 miliar, antara lain untuk mengaktifkan kembali air operator certificate, inisiasi operasi, serta membayar sebagian utang. Bujet itu belum termasuk biaya pesangon karyawan Rp 493,17 miliar, yang harus diberikan pada September nanti.

Sejak 2014, lebih dari 1.200 karyawan Merpati tidak lagi menerima gaji. Mereka kocar-kacir mencari pekerjaan di tempat lain. Jumlah pilot yang pada November 2013 masih 178 orang kini tinggal 68. Pilot kontrak asal Jepang, Malaysia, dan India menyusut dari 99 menjadi 22 orang. "Saya sudah mengirim CV ke maskapai lain," kata Adithya Prio Joewono, pilot yang telah 19 tahun bertugas di Merpati.

Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Suharto Abdul Majid ragu terhadap resep Dahlan. Apalagi kondisi Merpati tak kunjung membaik meski bolak-balik dilakukan pergantian direksi. "Tidak perlu malu kalau memang perlu dilikuidasi." Justru, menurut dia, likuidasi bisa menjadi strategi manajemen untuk menjual aset, menutup utang, dan kemudian mendirikan perusahaan baru.

Maria Yuniar, Mohammad Syarrafah (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus