Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemimpin Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, Hendra Sinadia, menyebut masalah spesifikasi batu bara sebagai salah satu yang klasik. “Masalah itu masih berlanjut sampai sekarang,” ujarnya, Kamis pekan lalu.
Tak semua batu bara yang dihasilkan perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) memiliki spesifikasi yang pas dengan pasar dalam negeri. Kebutuhan pembangkit swasta dan milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), metalurgi, semen industri, serta industri kertas berada di kisaran 4.200-5.000 kilokalori per kilogram. Beberapa produsen besar, terutama pemegang perjanjian karya pengusahaan batu bara (PKP2B), memproduksi batu bara berkalori tinggi, di atas 6.000 kilokalori per kilogram. Sedangkan banyak pemegang IUP kecil menghasilkan batu bara berkalori rendah, sekitar 3.000 kilokalori per kilogram.
Masalahnya, kata Hendra, tak mudah mencari pasar untuk domestic market obligation (DMO). Sebagian besar kebutuhan domestik telah dipenuhi produsen besar pemegang PKP2B melalui kontrak jangka panjang. Sisanya diperebutkan ribuan perusahaan pemegang IUP. “Pasar sudah penuh,” ucapnya. Hal itu ditunjukkan dengan realisasi penyaluran DMO tahun lalu yang sekitar 22 persen atau 115 juta ton.
Salah satu perusahaan PKP2B yang memiliki kontrak jangka panjang untuk merealisasi DMO adalah PT Adaro Energy Tbk. Juru bicara Adaro, Febrianti Nadira, mengatakan perusahaan memasok pembangkit milik PLN, pembangkit swasta, dan industri semen. “Kami tidak menghadapi kendala berarti,” katanya. Sejauh ini, dia menerangkan, pembeli batu bara Adaro di pasar domestik menunjukkan komitmen dan kinerja sesuai dengan kontrak.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum Singgih Widagdo menilai, peningkatan volume DMO bukanlah “ruang terbuka” yang bisa dimasuki perusahaan pemegang IUP begitu saja. Selain mayoritas pasar telah terikat kontrak, ia menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek lain. Misalnya kapasitas armada pengangkut yang tidak sesuai dengan pelabuhan bongkar, termasuk daya tampung pelabuhan itu sendiri.
Hal yang paling tidak rasional, menurut Singgih, pemerintah memasukkan produk jenis coking coal ke kewajiban DMO. Ia menilai pemerintah sama sekali tak memperhitungkan besarnya serapan coking coal di dalam negeri. Coking coal atau kokas adalah bahan bakar berkadar karbon tinggi dengan tingkat pengotor rendah yang dibuat dengan memanaskan batu bara tanpa udara. Pasar produk ini adalah industri baja dan metalurgi.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot mempersilakan perusahaan yang tak memiliki spesifikasi produk sesuai dengan pasar domestik melakukan transfer kuota. Ia menjelaskan, mekanisme transfer itu terbuka, bisa dilakukan dengan bernegosiasi langsung antarperusahaan.
Menurut Hendra Sinadia, tidak mudah merealisasi transfer kuota. Perusahaan yang memiliki stok menawarkan dengan harga tinggi. Mereka harus menutup kerugian saat harus berjualan murah di dalam negeri ketika harga ekspor sedang bagus beberapa waktu lalu. Dengan begitu, pemegang IUP yang hendak membeli untuk memenuhi kewajiban DMO menjadi tekor. Sebab, harga jual ke pasar domestik akan lebih rendah.
Singgih berharap Kementerian Energi tak hanya memperhitungkan aspek kebutuhan dan pasokan dalam menetapkan kuota DMO. Sisi rantai logistik yang terintegrasi dari hulu sampai hilir juga mesti dipertimbangkan. Misalnya kapasitas produksi dan kualitas batu bara tiap pemegang PKP2B dan IUP, kapasitas pelabuhan muat, serta kontrak jangka panjang pasar domestik yang menyebabkan perusahaan lain tak bisa memberikan pasokan.
Ia mengusulkan kebijakan penetapan kuota yang bersifat jangka menengah atau panjang. Tujuannya: perusahaan dapat memproyeksikan investasi berdasarkan rencana kerja yang tidak berubah di tengah jalan.
RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo