Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA pemandangan berbeda dari rak di bagian belakang sebuah minimarket di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin malam pekan lalu. Rak tiga tingkat dengan kelir cokelat itu dipenuhi kantong keripik berbagai merek. Lima hari sebelumnya, perabot dari kayu itu masih memajang botol minuman alkohol pelbagai jenis.
Seorang kasir perempuan yang sedang bertugas malam itu mengatakan isi rak diganti sejak Rabu sepekan sebelumnya, menyusul berlakunya larangan penjualan minuman beralkohol di minimarket dan peretail kecil. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015, yang berlaku sejak 16 April.
Ketua Harian Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menilai kebijakan ini kurang tepat jika berlaku sama di seluruh Tanah Air. Menurut dia, ada beberapa daerah yang perlu mendapat pengecualian, misalnya di Manado dan Bali. "Dalam beberapa ritual adat, masyarakat di wilayah tertentu menjadikan alkohol sebagai minuman wajib," kata Tutum.
Berdasarkan catatan Aprindo, kontribusi penjualan minuman beralkohol terhadap pendapatan retail 15-20 persen. Tapi di beberapa daerah, Tutum mengakui, permintaannya cukup tinggi dan menyumbang lebih besar bagi omzet mereka.
Industri minuman beralkohol juga mengeluh karena dampak kebijakan tersebut dirasakan cukup berat. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Charles Poluan mengatakan target produksi industri ini secara nasional langsung terkoreksi. "Tidak kurang dari 40 persen dan akan terus bertambah apabila tak ada perubahan kebijakan," ujarnya.
Para produsen minuman beralkohol berpendapat pemerintah semestinya tak perlu khawatir dengan peredaran produk mereka di minimarket selama ini. Sejak tiga tahun lalu, pelaku industri minuman mengandung malt telah menerapkan syarat minimal usia 21 tahun bagi konsumen bir. Mereka juga memasang stiker minimal batas umur di lemari pendingin setiap gerai. "Cara ini menjadi bentuk tanggung jawab kami," kata Charles.
Dengan menggandeng banyak operator minimarket, mereka juga melatih para penjaga toko untuk memastikan tak menjual produk bir ke konsumen di bawah umur. Sayangnya, baru sekitar seribu minimarket yang terlibat, pemerintah telanjur memberlakukan aturan pengendalian minuman beralkohol ini.
PT Multi Bintang Indonesia Tbk menjadi salah satu perusahaan yang terkena dampaknya. Catatan perdagangan saham perusahaan dengan produk andalan Bir Bintang ini mengalami pelemahan sejak peraturan minuman beralkohol diterapkan. Satu hari sebelum peraturan berjalan, saham Multi Bintang melemah 19,16 persen dari Rp 11.875 per lembar menjadi Rp 9.600 per lembar.
Presiden Komisaris Multi Bintang Cosmas Batubara mengaku belum menghitung kerugian secara total. Namun, menurut dia, antisipasi perlu dilakukan agar produk tak menumpuk sia-sia di gudang. Caranya dengan memangkas hari kerja pegawai dan operasionalisasi mesin. "Dalam seminggu kadang-kadang proses produksi hanya tiga hari, tergantung tumpukan produk yang ada di gudang," ujarnya melalui pesan pendek, Selasa pekan lalu.
Siasat lain belum terlintas. Multi Bintang juga belum berencana mengeluarkan produk baru. Padahal perusahaan ini sempat mendulang sukses dengan meluncurkan produk non-alkohol bernama Bir Bintang Zero. "Pokoknya kami mengatur produksi menurut permintaan pasar saja," ujarnya.
Di sela perhelatan World Economic Forum on East Asia 2015 di Jakarta pekan lalu, delegasi Heineken, perusahaan pemilik saham terbesar di Multi Bintang, sempat menyampaikan unek-unek mereka kepada Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Staf khusus Menteri Perdagangan Bidang Kerja Sama Antar-Lembaga Internasional Chris Kanter, yang turut hadir di sana, mengatakan Heineken mengeluhkan dampak peraturan yang telah menggerus pendapatan perusahaan Rp 1 triliun per tahun.
Menurut Chris, potensi kerugian tersebut memang sangat besar. Masalahnya, pemerintah kini lebih khawatir bahaya minuman beralkohol bagi generasi muda. "Mudah-mudahan itu cuma pura-pura. Sebab, kalau benar, masyarakat kita yang babak-belur minum bir Rp 1 triliun," ujarnya.
Industri minuman beralkohol memang belum bisa bernapas lega. Ancaman lain yang lebih keras akan segera menyusul setelah diterimanya draf rancangan undang-undang larangan minuman beralkohol oleh Badan Legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat. Draf usulan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini menegaskan bahwa minuman beralkohol golongan A hingga golongan C serta minuman beralkohol tradisional, semacam arak dan cukrik, adalah produk ilegal.
Ditemui di kantornya pada Rabu pekan lalu, Sekretaris Fraksi PPP Muhamad Arwani Thomafi mengatakan larangan yang mereka usulkan akan meliputi kegiatan produksi, peredaran, hingga konsumsi atas produk beralkohol. "Kepada mereka yang melakukan hal tersebut terancam pidana, denda, dan kurungan penjara," katanya.
Ia menyatakan pelarangan itu bersifat mutlak karena merusak generasi muda. Tapi ia tak mengesampingkan realitas di lapangan bahwa ada kepentingan tertentu yang perlu mendapat pengecualian, seperti pariwisata, medis, dan upacara adat. "Saya kira bisa, tapi untuk kepentingan yang sangat terbatas," ujarnya.
Tak ada kata selain gulung tikar bagi industri minuman beralkohol jika aturan ini gol. Charles Poluan mengatakan dampak langsung akan menimpa 2.000 pekerja di sisi produksi, yang bakal kehilangan pekerjaan. Sedangkan efek tak langsung bisa mengenai 200 ribu pekerja di sisi penjualan. Secara makro, kebijakan ini berpotensi mengganggu iklim investasi di sektor industri yang menyumbang sekitar Rp 4 triliun pendapatan negara pada tahun lalu.
Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil enggan berkomentar tentang kemungkinan buruk bagi industri itu. Yang jelas, kata dia, substansi aturan itu adalah mengurangi rezim liberal penjualan minuman beralkohol. Caranya, misalnya, dengan menerapkan kewajiban menunjukkan kartu identitas konsumen atau mengkonsumsi di tempat-tempat yang telah ditentukan, seperti restoran dan hotel. "Yang reasonable adalah pengaturan, bukan larangan."
Ayu Prima Sandi | Pingit Aria
Pidana Di Balik Kontrol Alkohol
DENGAN alasan menyelamatkan generasi muda, pemerintah mengendalikan penjualan minuman beralkohol melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 mulai 16 April 2015. Larangan lebih keras akan segera menyusul jika rancangan undang-undang yang kini ada di tangan Badan Legislasi DPR bisa lolos.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan Minuman Beralkohol
Pasal 14
Minuman beralkohol golongan A hanya dapat dijual di supermarket dan hipermarket.
RUU Larangan Minuman Beralkohol
Pasal 17
Setiap orang yang memproduksi atau mendistribusikan minuman beralkohol dikenai pidana penjara paling sedikit 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 18
Setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol dikenai pidana penjara paling sedikit tiga bulan dan paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 50 juta.
Pasal 19
Dalam hal tindakan mengkonsumsi mengganggu ketertiban umum atau mengancam keamanan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun dengan denda paling sedikit Rp 20 juta dan paling banyak Rp 100 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo