Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bak Kembali ke Perut Bumi

Minyak tanah hilang dari pasaran. Diselewengkan karena perbedaan harga untuk rumah tangga dan industri.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI-pagi benar Junaenah, warga Panjang, Bandar Lampung, sudah harus berjalan berkilo-kilometer menuju pangkalan minyak tanah di bilangan Panjang Utara. Di sana ia antre berjam-jam hanya untuk mendapat lima liter minyak tanah sesuai dengan jatah. "Besok antre lagi," katanya, menceritakan aktivitas barunya sejak harga bahan bakar minyak dinaikkan.

Mendadak minyak tanah hilang bagai menyusup balik ke perut bumi. Kalaupun ada di warung atau kios, kata Junaenah, harganya minta ampun. Bisa Rp 1.800 per liter dari harga sebelumnya Rp 1.100. Padahal, pemerintah tidak menaikkan sepeser pun harga minyak tanah untuk rumah tangga itu?tetap Rp 700.

Syarifah, pemilik warung di kawasan Gotong Royong, Bandar Lampung, punya alasan: ongkos angkutan kota ikut-ikutan naik. "Kami membawa dari pangkalan kan pakai angkot?" katanya. Betul. Pendeknya, Syarifah hanya mengulangi dalil lama yang ternyata memang sahih: jika harga bahan bakar minyak (BBM) naik, semua bakal jadi mahal.

Karena itu, pemandangan antrean seperti di Bandar Lampung bisa juga ditemukan di Medan, Tangerang, Surabaya, di mana-mana, seperti demam main badminton ketika Indonesia baru meraih Piala Thomas. Masyarakat menyerbu pangkalan minyak tanah karena hanya perlu merogoh kocek Rp 900-Rp 1.000 per liternya.

Munarsih, warga Cipondoh, Tangerang, Banten, punya cara radikal: beralih ke kayu bakar. "Sesekali saja pakai minyak tanah," kata penjual nasi uduk dan ketupat sayur keliling itu. Di Surabaya, kelangkaan minyak tanah tidak hanya dirasakan pemakai, tapi juga pengecer. "Jatah kami dikurangi dari 300 liter menjadi 80 liter saja sekali ambil," kata Pranoto, pengecer di kawasan Surabaya Barat.

Tarif minyak tanah di tingkat pangkalan, yang dikenal dengan harga eceran tertinggi (HET), ditetapkan oleh pimpinan daerah berdasarkan jarak pangkalan dengan Depo Pertamina. Contohnya, HET untuk Surabaya, Sidoarjo, dan Mojokerto Rp 885 per liter. Jika makin jauh, Jombang dan Bojonegoro, misalnya, harganya jadi Rp 903 dan Rp 907.

Tapi, ke mana raibnya "barang" ini? Wira Penjualan Depot Pertamina Bandar Lampung, Donny Indrawan, menduga hilangnya minyak tanah bersubsidi akibat diborong kalangan industri. Data Pertamina Lampung menyebutkan hanya 22 perusahaan yang membeli minyak tanah khusus industri. Padahal, ada 200-an perusahaan yang terdaftar menggunakan minyak tanah. "Sisanya membeli minyak tanah secara ilegal," katanya.

Di Gresik, Lamongan, dan Tuban, Jawa Timur, pemilik pangkalan minyak tanah untuk rumah tangga malah melego dagangannya ke sopir truk. Para sopir inilah yang dengan lincahnya mengoplos minyak tanah dengan solar untuk bahan bakar truk mereka. Dengan cara ini, "Para sopir itu untung besar," kata sumber Tempo yang tahu persis praktek mengoplos itu.

Menurut Deputi Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina, Rachmat Drajat, perbedaan harga antara minyak tanah untuk rumah tangga dan untuk industri serta solar yang jomplang membuat praktek ilegal itu tumbuh subur. Perbedaan harga, kata Rachmat, sampai tiga kali lipat. Minyak tanah bagi industri dilego Rp 2.200 dan solar untuk transportasi dijual Rp 2.100 per liter.

Sebaliknya, minyak tanah untuk rumah tangga hanya Rp 700. "Ada pihak yang sengaja bermain untuk mencari keuntungan pribadi," katanya. Misalnya, perusahaan bermain mata dengan pangkalan agar bisa membeli minyak tanahnya. Harga biasanya disepakati Rp 1.500 per liter. Keduanya sama-sama untung.

Direktur Pengolahan dan Niaga Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Erie Soedarmo, menambahkan jalur distribusi yang panjang juga menjadi penyebab maraknya praktek curang. Distribusi dari Pertamina harus lewat agen, yang jumlahnya 2.600-an, kemudian pangkalan yang mencapai 51 ribu buah. "Pangkalan sumbernya (praktek ilegal)," kata Erie. "Lalu agen sering 'kencing' (menyeleweng) ke mana-mana."

Menurut Rachmat Drajat, sejak 2002 sudah tujuh agen yang dicabut izinnya. Semuanya di wilayah pemasaran III yang meliputi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Total minyak tanah yang diselewengkan mencapai 3.544 kiloliter. Penyimpangan terbesar ditemukan di Bekasi, dengan volume pengoplosan 936 kiloliter. Sebagian besar penyalahgunaan berupa pengoplosan (pencampuran solar dengan minyak tanah) yang terjadi di darat.

Tidak amannya jalur distribusi mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Lewat Instruksi No. 3/2005 tentang Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian Kenaikan Harga Eceran Bahan Bakar Minyak di Dalam Negeri, Presiden meminta menteri terkait, Panglima TNI, Kapolri, gubernur, dan bupati menindak tegas pelaku penyalahgunaan BBM. Tahun ini pasokan minyak tanah untuk rumah tangga 9,4 juta kiloliter dan industri 1,1 juta kiloliter.

Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro mengatakan pemerintah terus memperketat sistem pengawasan distribusi. Caranya, melibatkan pemerintah daerah memantau penyaluran distribusi minyak tanah bersubsidi itu. Selama ini pengawasan hanya melibatkan Departemen Energi, Pertamina, dan kepolisian. "Gubernur kan yang menentukan harga eceran tertinggi," kata Purnomo kepada M. Fasabeni dari Tempo.

Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo, langsung menggelar rapat koordinasi penyaluran minyak tanah, juga inspeksi mendadak ke beberapa pangkalan minyak tanah. Di Lampung, gubernur dan Kepala Kepolisian Lampung membentuk tim pengawasan BBM. Tujuannya, mengungkap perusahaan yang membeli mi-nyak tanah untuk rumah tangga. "Tidak kami biarkan," kata Harris Hasyim, asisten Gubernur Lampung bidang perekonomian.

Departemen Energi, kata Erie Soedarmo, juga sedang menyiapkan program minyak tanah dalam kemasan. "Ini cara paling efektif menekan penyelewengan," katanya. Kajiannya melibatkan Pertamina, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas. Minyak tanah akan ditempatkan dalam kemasan dua atau lima liter. Model ini sudah dipakai di Jepang dan Prancis.

Pola penjualannya, menurut Erie, mirip gas elpiji dan galon air mineral. Masyarakat membeli kemasan di tahap awal. Bila minyak tanah sudah habis, masyarakat cukup menukarkan dengan kemasan baru. Tarif per liternya sesuai dengan harga eceran tertinggi. Jalur distribusinya, menurut Erie, bisa di warung atau pasar swalayan.

BPH Migas selaku pengatur distribusi minyak tanah mulai November mendatang?sekarang masih dipegang Pertamina?mengkaji alternatif lain. Caranya, anggota Komisi BPH Migas Nur Winakum mengatakan mendirikan stasiun pengisian minyak tanah, seperti premium dan solar. "Untuk memperpendek jalur distribusi," katanya.

Pihaknya, Nur Winakum menambahkan, juga berencana menurunkan kadar kualitas minyak tanah untuk rumah tangga sehingga hanya bisa dipakai untuk kompor. "Kalau ada yang mencoba mengoplos dengan solar, tidak akan bisa," ujarnya. BPH Migas juga membuka peluang bagi badan usaha lain untuk terlibat dalam penyediaan dan distribusi minyak tanah. "Jadi, tidak dimonopoli oleh Pertamina," kata Nur Winakum.

Sebetulnya upaya menekan penyelewengan minyak tanah sudah dilakukan jauh-jauh hari. Dulu Pertamina pernah mewarnai minyak tanah khusus rumah tangga, tapi gagal.

Stepanus S. Kurniawan, Fadilasari (Lampung), Ayu Cipta (Tangerang) dan Jojo Raharjo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus