Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersandung Tanker Sekongkol

Penjualan kapal minyak Pertamina dituding sarat persekongkolan. Sebongkah carut-marut perusahaan minyak dan gas itu.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lewat pukul enam petang, Selasa dua pekan lalu. Tapi dokumen yang diminta Pande Raja Silalahi belum juga datang. Sore itu Pertamina berjanji akan memberikan bukti transfer pembayaran penjualan dua tanker superbesar (very large crude carrier -VLCC) kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).

Dari US$ 184 juta harga penjualan kedua kapal pengangkut minyak raksasa itu, bukti transfer yang sampai ke Komisi Pengawas baru US$ 173,8 juta. Masih kurang US$ 13,3 juta atau Rp 118,2 miliar. "Saya minta terus karena dua hari lagi akan ada keputusan," kata Ketua Majelis Komisi, Pande Raja Silalahi, mengingat hari-hari sebelum keputusan disahkan.

Sudah sejak dua bulan lalu Pande meminta bukti pembayaran itu. Di saat terakhir, yang datang hanya sebuah catatan dengan tulisan tangan. Isinya ringkas: cicilan kelima tanpa keterangan apa pun. "Ini menjadi bukti bagi kita, mereka tidak bisa membuktikan," kata Pande.

Kasus ini bermula ketika Direksi Pertamina, di bawah kendali Direktur Utama Ariffi Nawawi, memutuskan menjual putus dua kapal pengangkut minyak raksasa berbobot mati 260 ribu ton. Kapal milik Pertamina itu dibangun di Ulsan, Korea, oleh Hyundai Heavy Industries (lihat timeline). Tim divestasi internal dibentuk dan Goldman Sachs ditunjuk sebagai konsultan keuangan, sekaligus arranger penjualan.

Belakangan, persoalan mencuat karena penunjukan Goldman Sachs dilakukan tanpa tender. Setelah memeriksa dan meminta keterangan 23 saksi, tiga ahli, meneliti sekitar 291 dokumen dan surat-menyurat, KPPU menyimpulkan telah terjadi persekongkolan dalam tender itu. Pertamina dinyatakan melanggar sejumlah pasal dalam Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam keputusan yang dikeluarkan pada 3 Maret lalu itu, Pertamina dan Goldman Sachs didenda Rp 19,71 miliar. Frontline, pemenang tender, didenda Rp 25 miliar, dan Equinox sebagai broker didenda Rp 16,56 miliar. Goldman dan Frontline juga harus membayar ganti rugi masing-masing Rp 60 miliar dan Rp 120 miliar. Dalam keputusan itu, Direktur Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone, disebut sebagai tokoh paling dominan dalam penjualan tersebut.

Putusan itu mengagetkan Laksamana Sukardi. Mantan komisaris utama di perusahaan minyak itu mengatakan ada yang aneh dengan putusan itu. Banyak kesalahan KPPU dalam putusan itu (lihat wawancara) yang menurunkan kredibilitas Komisi sendiri.

Di antaranya, pernyataan penjualan tanpa izin Menteri Keuangan, kekurangan pembayaran, dan persekongkolan yang memenangkan Frontline, perusahaan yang berbasis di Bermuda. Laks menilai keputusan itu sangat sarat unsur politis dan mencoreng namanya. Soal kurang bayar, ia menjelaskan, pembayaran dilakukan melalui novasi kontrak pembangunan kapal dari Pertamina kepada Frontline sebelum kapal dikirim. Saat novasi dilakukan, masih terdapat tagihan dari Hyundai kepada Pertamina US$ 13,26 juta.

Dari nilai itu, US$ 123 ribu menjadi beban Frontline. Sisanya yang US$ 13,13 juta menjadi tanggungan Pertamina. Karena novasi, kewajiban itu dilaksanakan Frontline. "Nilai itu dikurangi (offset) dari harga penjualan kapal. KPPU, ngerti enggak?" kata Laks.

Merujuk beberapa peraturan pemerintah, Laks mengatakan pelepasan aset itu juga tak memerlukan izin Menteri Keuangan. Karena terjadi polemik, Pertamina berinisiatif meminta izin Menteri Keuangan. Surat itu keluar pada 14 Juni 2004, sementara perjanjian jual-beli antara Pertamina dan Frontline ditandatangani tiga hari sebelumnya, yaitu 11 Juni 2004.

Laks mengatakan perjanjian jual-beli baru efektif ketika kapal diserahkan. Kapal pertama dilepas Juli, sedangkan yang kedua September 2004. "Jadi, Pertamina sudah mendapat izin Menteri Keuangan sebelum perjanjian efektif," kata Laks.

Penunjukan Goldman Sachs juga tak bertentangan dengan keputusan direksi Pertamina. Namun, agar lebih kuat, direksi juga meminta persetujuan komisaris. Fee penjualan juga dinilai kompetitif. Goldman mendapat satu persen dari nilai transaksi US$ 150 juta pertama, dan dua persen untuk selebihnya. Kata politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, secara total penawaran mereka lebih rendah 1,2 persen.

Penentuan Frontline melalui jalur negosiasi dimungkinkan karena sifat penawaran terbuka (unsolicited bidding). Bisa dibilang ini lelang terbuka (tanpa diundang). Artinya, siapa saja, kapan saja, dan beberapa kali bisa memasukkan penawaran sepanjang dalam koridor term of reference (TOR).

Penawaran ketiga Frontline masih bisa diterima karena masih dalam koridor waktu, yaitu sebelum pengumuman pemenang tanggal 10 Juni 2004. Dalam TOR, sangat jelas disebutkan negosiasi selesai 9 Juni, diikuti pengumuman pemenang dan penandatanganan perjanjian jual-beli.

KPPU punya cerita lain soal bid ketiga Frontline. Rapat penentuan pemenang, yang seharusnya 9 Juni 2004, ditunda menjadi esok harinya. Goldman juga mengumumkan menerima dan membuka penawaran ketiga Frontline yang diberikan melalui broker-nya, Equinox, malam harinya.

Karena itu, KPPU menilai Pertamina bersekongkol dengan Goldman Sachs memenangkan Frontline karena batas penawaran sudah ditutup 7 Juni 2004. Pembukaan sampul penawaran juga tidak dilakukan di depan notaris sesuai dengan syarat Goldman sendiri. "Persekongkolan terjadi ketika negosiasi dilakukan," kata Pande.

Sebuah sumber menyebutkan, ini bongkah kecil dari gunungan carut-marut Pertamina. Contoh paling sederhana adalah munculnya tiga versi hasil rapat komisaris dan direksi pada bulan April. Rapat tadinya tidak didesain membicarakan penjualan, tapi soal kesulitan keuangan. Pembicaraan mengerucut pada penjualan kapal tanker untuk mengatasi defisit arus kas.

Pada notulen kedua dari rapat yang sama, lembar pertama dan ketiga surat itu sama dengan surat sebelumnya. Perbedaan terlihat pada helai kedua. "Seperti ada yang dihapus," kata sumber itu. Isinya meminta penjualan dilakukan tanpa opsi.

Yang ketiga beda lagi. Kali ini meminta penjualan dilakukan dengan opsi. "Ketiga notulen rapat itu ditandatangani orang yang sama, cuma yang membawanya berbeda," katanya. Ini menunjukkan bobroknya administrasi perusahaan minyak itu. Sebuah rapat bisa menghasilkan tiga surat yang isinya bertolak belakang.

Alfred menjelaskan memang ada beberapa opsi yang ditawarkan, tapi melalui rapat yang berbeda. Dalam rapat komisaris bulan November 2003, direksi diminta mengkaji alternatif membeli atau menyewa. Ada empat opsi dengan potensi keuntungan berbeda. Pertama, kapal dimiliki dan dioperasikan sendiri. Kapal dimiliki tapi di-charter-out atau charter-in. Pilihan lain adalah dijual lepas. Terakhir, sebagian saham kepemilikan dijual.

Goldman Sachs memberi opini kedua terhadap kebijakan direksi itu. Konsultan dari Singapura ini mengusulkan empat opsi. Pertama adalah menjual langsung kapal. Kedua, jual dan sewa kembali. Alternatif ketiga adalah jual dan sewa kembali dengan opsi bagi Pertamina untuk menyewakan ke pihak ketiga. Terakhir, Goldman mengusulkan kombinasi dari beberapa pilihan di atas untuk tiap kapal.

Akhirnya, Goldman merekomendasikan penjualan langsung. Direksi dan komisaris kemudian mengambil keputusan menjual langsung kapal untuk menghindari kecurigaan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Nyatanya, penjualan ini tetap saja dikaitkan dengan KKN. Alfred Rohimone sejak Senin pekan lalu dinonaktifkan. Dia satu-satunya anggota direksi lama yang masih tersisa ketika Ariffi diganti Widya Purnama, pertengahan Agustus 2004. Selain itu, hak Roes Ariawijaya dan Iin Arifin Takhyan untuk mengambil keputusan dalam Dewan Komisaris Pertamina dicabut.

Pertamina sendiri, kata Laks, sudah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa kasus ini. Hasilnya bisa dipakai untuk menetapkan siapa yang benar dalam kasus ini.

Leanika Tanjung, Erwin Dariyanto


Kapal Tak Mampir di Indonesia

November 2002 Pertamina di bawah Direktur Utama Baihaki Hakim memesan dua kapal pengangkut minyak raksasa ke Hyundai Heavy Industries di Ulsan, Korea Selatan, dengan harga masing-masing US$ 60 juta. Pertamina menerbitkan obligasi atas nama PT Perta-mina Tongkang untuk men-danainya. Kapal itu renca-nanya selesai Juli 2004.

September 2003 Direksi baru Pertamina di bawah Ariffi Nawawi mengkaji kelayakan kepemilikan kapal superbesar itu. Penerbitan obligasi dikaji ulang dan dibatalkan karena tidak ada persetujuan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Tadinya, skenario pendanaan melalui external financing dengan skema BBHP (bare boat purchased hired). Kapal diserahkan dan digunakan penyewa, pembayaran dilakukan dengan mencicil. Ketika lunas, kapal dimiliki penyewa, yaitu Pertamina.

Oktober 2003 Rapat dewan direksi dan komisaris memutuskan menjual dua kapal tanker itu dengan syarat dilakukan konsultan independen. Sebuah tim dipimpin Direktur Hilir Harry Poernomo dibentuk. Tim ini bertugas mengkaji konsultan independen.

April 2004 Rapat direksi memutuskan agar kerja konsultan independen, Japan Marine Science, dihentikan karena direksi sudah sepakat menjual kapal tanker itu. Kesepakatan itu ternyata tidak dijalankan. Hasil Japan Marine tetap keluar, yang menyatakan kapal tidak dijual.

15 April 2004 Rapat direksi dan komisaris memutuskan menjual tanker karena kas Pertamina defisit terus. Goldman Sachs disetujui menjadi penasihat keuangan. Penunjukan cepat itu dilakukan karena peluncuran tanker hanya tinggal dua minggu.

Mei 2004 Kesepakatan penunjukan Goldman Sachs ditandatangani. Goldman mengundang 42 potential bidder. Tujuh di antaranya memasukkan penawaran. Empat perusahaan (termasuk Frontline) tidak melakukan penawaran langsung seperti disyaratkan, tapi diwakili broker atau agen, yaitu PT Equinox. Pada bulan yang sama, Pertamina memaparkan rencana penjualan tanker ke Komisi VIII DPR. Alasan Pertamina adalah arus kas sudah kritis.

Awal Juni 2004 Frontline, sebuah perusahaan Swedia, ditetapkan sebagai pemenang karena mempunyai bobot penilaian paling tinggi, meski harga penawarannya lebih rendah dibandingkan dengan pemenang kedua. Frontline menaikkan harga menjadi US$ 184 juta. Tanker itu pun tak mampir di Indonesia.

23 Juli 2004 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap direksi dan komisaris Pertamina.

3 Maret 2005 KPPU menilai penjualan dua tanker raksasa Pertamina itu sarat persekongkolan dan berpotensi merugikan negara Rp 180 miliar-Rp 540 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus