KOLONEL Sanders bakal mundur dari Ratu Plaza. Sebuah pengumuman penyerahan tanpa syarat sudah ditempelnya di depan pintu bunker, tempatnya bersembunyi selama hampir lima tahun. Jangan kaget, mundurnya Sanders mulai 1 Desember yang akan memboyong serta sayur-mayur dari Gelael, segala macam makanan Kantin Murah dan Baik, rupa-rupa ice cream Swensen's, dan ayam goreng Kentucky itu hanya gara-gara kenaikan ongkos sewa dan tempat parkir. Yang dihadapi "Colonel Sanders" Dick Gelael, Direktur Utama Gelael, memang serius sesudah pengelola Ratu Plaza di Jakarta menyatakan akan menaikkan sewa ruangan di lantai paling bawah (basement) itu, mulai 1 Januari, dari US$ 13 menjadi US$ 19 per m2. Jika sewa atas ruang seluas 3.450 m tadi dikonversikan ke kurs baru, maka ongkosnya berarti bertambah dengan Rp 800 juta setahunnya. "Nggak sanggup, dah," katanya. "Kami sudah memutuskan mundur, apalagi perasaan saya mengatakan tidak enak melanjutkan usaha di sini." Keputusan pengusaha spermarket pertama, yang merintis usahanya dari Jalan Melawai Kebayoran di tahun 1972, itu mungkin tak akan terjadi kalau saja ongkos sewa tadi bisa ditutup dengan naiknya bisnis kelompok Gelael di situ. Sialnya, omset penjualan dari usaha pasar swalayan yang empat tahun lalu rata-rata bisa Rp 10 juta malah turun jadi tinggal Rp 4,9 juta sehari. Sementara itu, biaya listrik dan gaji karyawannya tak bisa direm. Akibatnya, "Bulan lalu saja kami rugi Rp 40-an juta," kata "Colonel" Dick. Menurut Dick, merosotnya penjualan terjadi karena calon pembelinya kini sulit mencari tempat parkir. Para pemasok barang sendiri, sementara itu, juga malas datang bila diminta. Padahal, ketika dulu Dick mau masuk ke situ, pengelola menjanjikan akan menyediakan tempat parkir yang bisa menampung 200-an mobil. Memang, di tahun-tahun pertama itu kunjungan orang ke sana ramai di hari Sabtu dan Minggu. Tapi sekarang situasinya malah terbalik: "Jangan belanja di hari Sabtu dan Minggu ke Gelael karena parkirnya sulit," keluh Dick. Yang terjadi di situ, agaknya, karena perkiraan sang pengusaha tak cocok dengan perkembngan yang terjadi kemudian. Bayangkan saja, yang datang ke situ bukan saja calon pembelanja sayur-mayur, tapi juga orang yang akan membeli baju, buku, radio, atau bahkan tamu penghuni apartemen dan perkantoran yang rata-rata bermobil. Tempat makan di Kentucky juga terasa pengap. Tidak seperti di tempat lainnya, di sini baju dan rambut orang bisa terasa berbau macam-macam makanan bila hajat makan ayam sudah diselesaikan. Karena kena ganjal beberapa kekurangan itu, perputaran barang yang dijajakannya di situ paling banter hanya tujuh kali setahun. Padahal, seharusnya 30 kali setahun. Apa boleh buat, sesudah menimbang untung ruginya, Dick akhirnya harus mengemasi semua barangnya dari situ. Sejumlah 200 karyawannya kemudian akan disisipkan ke cabang-cabang usahanya di tempat lain "Sebagai perintis pasar swalayan, sedih juga rasanya harus menutup Gelael di tempat ini," katanya sendu. Tentu tidak selamanya usaha kelompok Gelael di 16 cabang, yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Ujungpandang, berakhir dengan cerita ngilu. Cabang usahanya di Jalan M.T. Haryono, Jakarta, yang baru beberapa bulan dibuka, misalnya, omset penjualannya Rp 300 juta sebulan. Mungkin malah lebih besar, mengingat di hari-hari libur orang kini sering merasa sulit parkir di situ. Di sana, Dick sering tampak nongkrong memperhatikan konsumennya sedang mengganyang ayam goreng dari dapur Kentucky. "It's finger's likn' gool, Dick...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini