Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harga Mati Tagihan Frekuensi

Smart Telecom dikejar tunggakan biaya pemakaian frekuensi Rp 675 miliar. Permintaan keringanan dilayangkan sejak tiga tahun lalu, tapi ditolak. Harus bayar penuh, atau bertemu di pengadilan, kata Menteri Tifatul.

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROMBONGAN anggota direksi PT Smart Telecom muncul di kantor Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis siang dua pekan lalu. Tampak Presiden Direktur Smart Telecom Sutikno Widjaja dan Direktur Ubaidillah Fatah menenteng setumpuk dokumen. Inilah pertama kalinya manajemen perusahaan telekomunikasi milik kelompok usaha Sinar Mas itu bisa menemui Tifatul sejak ia dilantik menjadi menteri pada Oktober tahun lalu.

Manajemen Smart Telecom dan Tifatul membahas agenda penting: tunggakan pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang sudah terkatung-katung selama tiga tahun. Tunggakan biaya pemakaian frekuensi Smart Telecom lumayan besar. Totalnya, termasuk denda, mencapai Rp 675 miliar. ”Nilainya akan terus bertambah bila mereka tak membayar lagi bulan ini,” kata Tifatul kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Kementerian Komunikasi sangat berkepentingan menuntaskan tagihan pembayaran biaya pemakaian frekuensi. Gara-gara piutang tersebut, nilai laporan keuangan Kementerian Komunikasi tak pernah sempurna di mata Badan Pemeriksa Keuangan. ”Laporan keuangan mestinya sudah wajar tanpa pengecualian jika masalah tagihan itu tak ada,” ujar Tifatul (lihat ”Terganjal Piutang Triliunan”).

Smart Telecom mengaku berhasrat merampungkan tagihan. Manajemen Smart Telecom gerah karena dicap menunggak pemakaian biaya frekuensi. ”Kami keberatan dituding menunggak, karena setiap tahun kami membayar,” ujar Sutikno di Jakarta pekan lalu. Smart Telecom mengklaim tagihan pemakaian biaya frekuensi versi Kementerian Komunikasi keliru. Alasannya, kementerian salah menerapkan peraturan penggunaan pita frekuensi.

Biaya pemakaian frekuensi yang dibebankan kepada Smart Telecom, kata Sutikno, sesungguhnya tarif layanan komunikasi generasi ketiga (3G) milik operator seluler berbasis Global System for Mobile Communication (GSM). Padahal Smart operator telepon berbasis Code Division Multiple Access (CDMA). Kanal frekuensi milik Smart Telecom tidak berada di spektrum frekuensi 3G.

Sutikno mengungkapkan, dalam pertemuan dengan Tifatul, manajemen Smart menyampaikan dua opsi yang pernah disodorkan dua tahun lalu—zaman Menteri Komunikasi Muhammad Nuh. Opsi pertama, Smart membayar tarif biaya frekuensi sebagai operator CDMA, dan kedua membayar separuh dari tunggakan dengan cara mencicil. ”Kami minta Kementerian segera memutuskan,” katanya.

Benih kisruh biaya pemakaian frekuensi Smart Telecom mulai terjadi akhir 2005. Seorang pejabat Kementerian Komunikasi membisikkan Menteri Komunikasi Sofyan Djalil menata ulang pemberian izin frekuensi karena ternyata banyak operator telepon tak memanfaatkan frekuensi. Mereka cenderung menjual kembali hak ke investor lain. Sofyan mengubah tarif frekuensi yang semula berdasarkan izin stasiun radio (ISR) menjadi berdasarkan lebar pita frekuensi. ”Dengan model itu, operator yang ogah-ogahan membangun jaringan akan terkena tarif yang sama dengan operator agresif,” ujarnya.

Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi lalu menata spektrum frekuensi 2,1 gigahertz (GHz), spektrum frekuensi layanan 3G. Sesuai dengan standar internasional, layanan 3G berlokasi di pita frekuensi 1920-1980 megahertz (MHz)—berpasangan dengan pita frekuensi 2110-2170 MHz. Tiga operator, TelkomFlexi, Indosat, dan PT Wireless Indonesia, yang menempati pita frekuensi tersebut, harus hengkang. Adapun PT Indoprima Mikroselindo (Primasel), yang berdekatan, harus mengurangi frekuensinya 2 x 5 MHz.

TelkomFlexi dan Indosat pindah dan mendapat frekuensi baru 800 MHz. Tetapi Wireless Indonesia tidak mendapat apa pun. Pemerintah menyarankan Wireless Indonesia merger dengan Primasel. Keduanya bergabung menjadi Smart Telecom. Sebagai kompensasinya, pemerintah menambah kanal frekuensi Smart Telecom dari 2 menjadi 5 kanal. Smart Telecom beroperasi pada pita frekuensi 1903,125-1910 MHz—berpasangan dengan 1983,5-1990 MHz, yang letaknya berdekatan dengan spektrum pita frekuensi 3G.

Awal 2006, pemerintah menggelar lelang 3G. Pemenangnya Telkomsel, Exelcomindo, dan Indosat dengan harga penawaran terendah Rp 160 miliar. Menteri Sofyan menerbitkan Peraturan Nomor 43 Tahun 2006 tentang penggunaan pita frekuensi radio. Menurut aturan itu, harga penawaran 3G menjadi patokan biaya pemakaian frekuensi. ”Peraturan ini menempatkan Smart Telecom dalam struktur tarif 3G,” kata pejabat Kementerian Komunikasi tadi. Pasal terakhir regulasi tersebut menyebutkan bahwa operator yang beroperasi pada pita frekuensi 1905-1910 MHz diberi beban biaya seperti operator seluler 3G.

Berbekal payung hukum itu, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi menagih biaya pemakaian frekuensi Smart Telecom Rp 484 miliar pada 2007. Perinciannya, Rp 440 miliar biaya instalasi (up front fee) dan iuran tahunan sebesar Rp 44 miliar. Tapi manajemen Smart Telecom berkeberatan. Alasannya, perusahaan mereka bukan operator 3G, tapi CDMA. Saat itu operator CDMA, seperti TelkomFlexi, Bakrie Telecom , dan Mobile-8, hanya dikenai tarif berdasarkan izin stasiun radio karena frekuensinya di luar 1900 MHz.

Kementerian Komunikasi tetap pada pendirian. Smart Telecom diminta membayar biaya pemakaian frekuensi Rp 484 miliar. Menurut sumber Tempo, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi berkali-kali melayangkan surat peringatan ke Smart Telecom ”Manajemen Smart Telecom selalu merespons, tapi mereka tetap keberatan membayar tagihan,” bisiknya. Bukannya membayar utuh, Smart Telecom malah membayar biaya pemakaian frekuensi versinya sendiri Rp 20 miliar. Smart menawar agar Kementerian Komunikasi mengurangi separuh tagihannya. ”Tak ada pejabat yang berani mengiyakan karena takut dianggap merugikan negara,” ujarnya.

Tak cukup lewat surat, Direktur Pelaksana Sinar Mas Group Gandhi Sulistiyanto menemui Sofyan Djalil. Tapi protes Sinar Mas mental karena sejak Mei 2007 Sofyan dirotasi menjadi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Menteri Komunikasi dipegang Muhammad Nuh. ”Saya pertemukan Menteri Sofyan dengan Menteri Nuh, tapi tetap tak ada keputusan (untuk meringankan),” kata Gandhi kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Ditemui Tempo pekan lalu, Sofyan Djalil membenarkan Smart Telecom pernah memintanya membantu menyelesaikan tagihan biaya pemakaian frekuensi. ”Saya bilang bahwa saya bukan lagi Menteri Komunikasi,” katanya. Sofyan menilai Smart Telecom wajar menuntut keadilan. ”Mereka menjadi sulit bersaing.”

Pergantian menteri bukan lantas membuat masalah tagihan biaya pemakaian frekuensi Smart Telecom tuntas. Nuh tak kunjung membereskannya. Kini posisi itu dipegang Tifatul. Ia meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit tagihan Smart Telecom pada Desember 2008. Selang sebulan, Badan Pengawasan merampungkan hasil auditnya. Lembaga itu menilai biaya pemakaian frekuensi yang harus dibayar oleh Smart Telecom bukan Rp 484 miliar, tapi Rp 242 miliar. Salah satu alasannya, Smart Telecom tak termasuk operator telepon generasi ketiga.

Tifatul juga meminta fatwa Kejaksaan Agung pada Maret tahun lalu. Dua bulan kemudian Jaksa Agung Hendarman Supandji mengirim surat ke sang menteri. Isinya tak jauh berbeda dengan hasil penilaian BPKP. Toh, Tifatul tetap tak berani mengambil keputusan. Pak Menteri meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani menuntaskan persoalan tagihan Smart Telecom. Tapi Sri Mulyani ogah memutuskan. Alasannya, biaya pemakaian frekuensi urusan teknis Kementerian Komunikasi. Sri Mulyani, yang kini Direktur Pelaksana Bank Dunia di Washington, Amerika Serikat, tak bisa dimintai konfirmasi.

Sinar Mas lalu mengambil jalan memutar. Menurut sumber Tempo, para petinggi Sinar Mas, termasuk Franky Widjaja, anak Eka Tjipta Widjaja pemilik Sinar Mas, melobi pemerintah. Bahkan, beberapa waktu lalu, petinggi Sinar Mas juga mendatangi kediaman Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera, Hilmi Aminuddin di Lembang Bandung. ”Hilmi dimintai bantuan melobi Tifatul,” ujarnya. Hilmi dinilai bisa melunakkan hati Tifatul, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera.

Gandhi membantah Franky Widjaja ikut turun gunung melobi. ”Saya sebagai Presiden Komisaris Smart Telecom yang ditugasi menuntaskan masalah ini,” ujarnya. Gandhi juga membantah melobi lewat Hilmi. Tapi Sutikno tak menampik adanya dukungan dari pemilik perusahaan untuk menuntaskan tunggakan tadi. Laiknya saudara, kata dia, wajar bila saudara lain membantu yang sedang sakit. ”Lobi itu juga dalam konteks menjelaskan permasalahan sebenarnya,” kata Sutikno.

Hilmi tak menampik cerita bahwa dia pernah didekati Smart. Menurut sang ustad, keputusan bukan berada di tangan dia, melainkan ada di tangan Menteri Komunikasi. ”Silakan saja langsung ke menterinya,” katanya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.

Tifatul juga sadar ada gerakan melobi keputusannya lewat orang-orang Partai Keadilan Sejahtera. ”Ini masalah bisnis, dagang, perdata, tidak ada lobi di sini,” ujarnya.

Tampaknya Smart Telecom akan gigit jari. Tifatul tak bersedia mengutak-atik tagihan biaya pemakaian frekuensi meski BPKP merekomendasi penurunan tagihan sampai separuhnya. Tifatul justru menyarankan Smart Telecom mengajukan keberatan ke peradilan umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara. ”Bayar (penuh) atau ajukan ke pengadilan saja,” ujarnya.

Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus