Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah akan memberikan subsidi sepeda motor listrik Rp 7 juta.
Mobil listrik mendapat potongan PPN hingga pajak kendaraan bermotor.
Subsidi kendaraan listrik diklaim bisa mengurangi subsidi bahan bakar.
PT ASTRA Honda Motor (AHM) punya rencana besar tahun ini. Jika tak ada aral melintang, produsen sepeda motor berlogo sayap ini akan meluncurkan skuter bertenaga listrik. Tak tanggung-tanggung, kata General Manager Corporate Communication AHM Ahmad Muhibbudin pada Jumat, 10 Februari lalu, “Kami akan menghadirkan dua model sepeda motor listrik".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHM belum menyebar foto skuter listrik itu. Namun perusahaan yang memiliki pabrik di Sunter dan Kelapa Gading, Jakarta Utara; serta di Kabuapten Bekasi dan Karawang, Jawa Barat, ini memberi bocoran berupa siluet. Bentuknya mirip skuter matik Honda BeAT dan Vario. Menurut Muhibbudin, dua skuter ini adalah bagian dari tujuh model sepeda motor listrik yang akan dipasarkan Honda hingga 2030. Dia pun mengatakan peluncuran produk itu tak menunggu subsidi yang dijanjikan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi harus diakui bahwa peluncuran sepeda motor listrik Honda di Indonesia agak telat. Sebab, sejak dua tahun lalu, sejumlah produsen sudah merilis aneka sepeda motor listrik. Pada September 2022, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia menyatakan ada 43 merek sepeda motor listrik di Indonesia. Kebanyakan dari mereka bukan pemain lama di bidang otomotif.
Mekanik tengah melakukan perawatan berkala pada motor listrik merek Alva di Showroom kawasan SCBD, Jakarta, 30 Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan
Sebut saja Electrum, merek yang dikembangkan TBS Energy bersama Indika Energy. TBS Energy dulu bernama PT Toba Bara Sejahtra, perusahaan yang didirikan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Adapun Indika adalah perusahaan yang dipimpin Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Arsjad Rasjid. Electrum menjual sepeda motor listrik bermerek Alva One.
Tak ketinggalan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, yang berdagang sepeda motor listrik BS Electric. Ada pula dua perusahaan milik negara, Indonesia Battery Corporation dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, yang mengembangkan merek Gesits. Nama lain adalah PT Hartono Istana Teknologi, perusahaan di bawah Grup Djarum, yang meluncurkan sepeda motor elektrik Polytron. Sepeda motor listrik besutan perusahaan-perusahaan itu dijual seharga Rp 16-30 juta.
Dengan harga tersebut, sepeda motor listrik bersaing dengan sepeda motor berbahan bakar bensin. Tanpa pemanis atau insentif berupa pembebasan pajak dan subsidi, konsumen memilih sepeda motor bensin. Sebab, sampai saat ini infrastruktur pengisian daya atau penukaran baterai kendaraan listrik belum ada secara merata di semua wilayah sehingga pemakaian sepeda motor bensin lebih praktis. Karena itu, diakui atau tidak, produsen sepeda motor listrik berharap pemerintah segera mewujudkan janji memberikan insentif dan subsidi.
Dalam "Briefing on Motorcycle Business" pada 13 September tahun lalu, Managing Officer Honda Motor Co Ltd Yoshishige Nomura mengakui upaya mempopulerkan sepeda motor listrik di negara berkembang seperti Indonesia akan menghadapi tantangan berat dari sisi harga. “Permintaan kendaraan listrik sangat bergantung pada infrastruktur pengisian daya, tingkat peraturan, dan insentif pemerintah di pasar masing-masing,” tuturnya.
Di tengah penantian ini, ada kabar gembira. Menteri Luhut, pada Selasa, 31 Januari lalu, memastikan pemerintah akan memberikan subsidi untuk pembelian sepeda motor listrik sebesar Rp 7 juta per unit. Tapi lain halnya dengan mobil listrik yang harus dijual sonder subsidi. Kendaraan listrik roda empat, Luhut menjelaskan, hanya mendapat diskon pajak pertambahan nilai (PPN) dari sebelumnya 11 persen menjadi 1 persen. Skema ini terbuhul dalam rapat kabinet terbatas pada Jumat, 13 Januari lalu, setelah terjadi tarik-ulur antarkementerian.
Acuan Subsidi Kendaraan Listrik
THAILAND sedikit-banyak berperan dalam peluncuran skema subsidi kendaraan listrik di Indonesia. Sebab, pemerintah "panas" setelah Negeri Gajah Putih meluncurkan paket subsidi dan insentif yang berlaku selama Februari 2022-2025. Pemerintah Thailand menganggarkan 3 miliar baht (Rp 1,3 triliun) pada 2022 dan 40 miliar baht (Rp 18,3 triliun) pada 2023-2025 untuk subsidi yang diberikan berdasarkan kapasitas baterai kendaraan.
Sebagai contoh, paket subsidi 70 ribu baht (Rp 32 juta) diberikan bagi mobil listrik dengan baterai 10-30 kilowatt-jam (kWh) dan 150 ribu baht (Rp 68,8 juta) untuk baterai di atas 30 kWh. Sedangkan sepeda motor listrik kebagian 18 ribu baht (Rp 8,2 juta). Subsidi itu membuat harga kendaraan listrik di Thailand makin murah. Data Statista menyebutkan 10.203 mobil listrik laku di negara itu tahun lalu. Jika ditambah dengan mobil hibrida yang memakai mesin bahan bakar dan motor listrik, angka penjualan di Thailand mencapai 63.599 unit. Jauh jika dibandingkan dengan Indonesia, yang jumlah penjualan mobil listrik dan hibridanya sebanyak 20.823 unit tahun lalu.
Sebagai pesaing Thailand dalam industri otomotif, wajar saja jika Indonesia gerah. Pasar Thailand yang bertumbuh pesat karena skema subsidi dan insentif jelas amat menarik bagi perusahaan baterai ataupun produsen kendaraan. Jika tak segera disalip, Thailand bisa menjadi basis produksi berbagai merek kendaraan listrik kendati tak memiliki cadangan nikel—bahan baku baterai—yang melimpah seperti Indonesia.
Deretan mobil listrik di pameran Periklindo Electric Vehicle Show 2022 di JIExpo Kemayoran, Juli 2022. Tempo/Tony Hartawan
Karena itu, pemerintah buru-buru menyusun skema subsidi. Skema ini akan melengkapi insentif yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Dalam regulasi itu, pemerintah memberikan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah, pajak kendaraan bermotor, dan bea balik nama kendaraan bermotor. Toh, gula-gula itu tak cukup mangkus mendorong penjualan.
Kepada Tempo, Selasa, 17 Januari lalu, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan subsidi ini akan memaksimalkan produksi nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Jika pasar dan industri kendaraan listrik tak bertumbuh, dia menuturkan, pengolahan nikel yang jorjoran digarap pemerintah hanya sampai produk intermediate seperti prekursor atau katoda. Sedangkan produsen baterai akan memilih negara yang pasarnya jauh lebih besar sebagai basis produksi kendaraan listrik. "Pabrik baterai efisien hanya jika dibangun dekat pabrik kendaraan listrik. Jika bisa kita bangun dari hulu sampai ke hilir, Indonesia akan menjadi hub ekspor kendaraan listrik," ucap Septian.
Keuntungan lain pemberian insentif ini adalah pengurangan subsidi untuk bahan bakar minyak yang angkanya pada tahun ini mencapai Rp 338 triliun. Ini yang dikemukakan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dalam pembicaraan dengan Kementerian Keuangan. Dalam hitungan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, subsidi untuk 1 juta sepeda motor listrik sebesar Rp 7 juta per unit dan Rp 80 juta per unit buat 20 ribu mobil menyedot anggaran Rp 8,6 triliun pada tahun pertama. Ini ibarat umpan untuk mendapatkan "kakap" berupa penghematan subsidi bahan bakar dan pembukaan lapangan kerja dari investasi ekosistem kendaraan listrik.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin, pemerintah sudah bisa mengurangi insentif tersebut apabila tingkat penjualan kendaraan listrik telah mencapai 10 persen dari total pasar kendaraan roda dua dan roda empat. “Pada akhir 2024 ini sudah bisa tercapai," katanya pada Jumat, 3 Februari lalu.
Dua pejabat yang mengikuti pembahasan subsidi mengatakan pembicaraan antarmenteri cukup alot. Sebab, ada anggapan pemerintah seperti mensubsidi orang kaya agar membeli mobil setrum. Jalan tengah perdebatan ini, menurut sumber Tempo, adalah penggantian subsidi untuk mobil listrik dengan diskon PPN. Melalui pemotongan pajak, pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk warga kelas menengah-atas pembeli mobil listrik. Lagi pula, pemangkasan PPN sudah diatur dalam Pasal 17 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang insentif kendaraan listrik sehingga tak perlu ada aturan baru.
Tapi perdebatan tak berhenti di situ. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan berbeda sikap mengenai subsidi mobil hibrida. Kementerian Keuangan keberatan terhadap subsidi yang diusulkan Kementerian Perindustrian karena pembeli mobil hibrida lagi-lagi kelas menengah-atas. Mobil ini pun dianggap tak layak subsidi karena masih memakai bahan bakar minyak. Di ujung perdebatan, mobil hibrida akhirnya dicoret dari daftar calon penerima subsidi.
Dalam pernyataan yang dikutip kantor berita Antara pada Selasa, 31 Januari lalu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Taufik Bawazier mengatakan kendaraan hibrida berkontribusi 50 persen terhadap pengurangan konsumsi bahan bakar fosil. Untuk insentif kendaraan hibrida, ujar dia, pendekatan yang paling memungkinkan adalah menghitung emisi karbonnya. “Jadi tidak bisa dipukul rata, misalnya dengan insentif Rp 80 juta. Fairness harus kita bangun, transparan juga, dan yang paling penting kita mempunyai value added,” ucapnya.
Saat dimintai tanggapan tentang usul memasukkan kendaraan hibrida sebagai penerima insentif, Taufik tak menjawab. Demikian pula Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Hendro Martono. Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, pada Kamis, 9 Februari lalu, hanya menjawab, “Kami belum bisa menyampaikan informasi soal insentif kendaraan listrik karena masih dibahas."
Beres menyepakati subsidi untuk sepeda motor listrik, pemerintah membahas rencana penyalurannya. Menurut sumber Tempo, Menteri Luhut menggelar rapat pada Selasa, 31 Januari lalu, bersama sejumlah menteri. Di antaranya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Penerima insentif dan subsidi akan diatur oleh Kementerian Perindustrian, sementara penentuan besaran diskon PPN menjadi kewenangan Kementerian Keuangan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu Nathan mengatakan penyusunan kebijakan insentif untuk mobil listrik dan subsidi sepeda motor listrik sudah dalam tahap akhir. “Yang penting kebijakannya harus bagus,” tuturnya pada Jumat, 10 Februari lalu. "Bagus" ini artinya bisa merangsang investasi, mengurangi subsidi bahan bakar, dan tidak hanya dinikmati oleh kelas menengah-atas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo