ENGKOH De, pedagang buah-buahan dan makanan kaleng di Jalan
Pinangsia Raya, Jakarta Utara, pekan lalu nampak sibuk
menghitung stok barangnya. Di antara para pedagang makanan lain
di Kota, ia memang dikenal sebagai "pengusaha kaki lima yang
omsetnya paling besar". Sekalipun si engkoh itu bukan importir,
tapi, "ordernya termasuk besar, dan gudangnya paling banyak,"
kata Cunggozali Joehana, pengusaha muda, yang mangkal di
Pinangsia juga.
Tapi Koh De, begitu ia biasa dipanggil, merasa pesimistis bisa
melanjutkan usahanya, karena pembelinya sudah berkurang dengan
separuh. "Barang sulit dicari sekarang, dan saya terpaksa
menaikkan harga jalan," katanya kepada wartawan TEMPO,
Praginanto. Sebagai distributor ia kini hanya menghabiskan
stoknya, yang disimpan dalah kamar pendingin sewaan. "Yang
kecil-kecil sudah pada tutup, sebentar lagi juga saya
menyusul," katanya.
Sampai pekan lalu memang belum ada buah-buahan dan makanan
yang masuk dari luar negeri. Bukan karena dilarang oleh
pemerintah. Tapi kedua perusahaan pemerintah yang ditunjuk untuk
memonopoli impor buah-buahan, PT. Sarinah dan Kerta Niaga, belum
lagi melakukan tugasnya. Departemen Perdagangan buah-buahan itu.
Dan meminta agar mereka bisa bersabar. Seperti ka Dirjen
Perdagangan Luar Negeri Suhadi Mangkusuwondo kepada Minuk
Sastrowardoyo dari TEMPO, "kedua persero negara yang ditunjuk
menjadi importir makanan itu belum berpengalaman, dan ingin
kerjasama dengan pihak swasta."
Maksud Dirjen Suhadi, agar para importir makanan itu sudi
menjadi distributornya Sarinah dan Kerta Niaga. Sebab kedua
persero itu memang bermaksud akan memakai saluran distribusi
swasta yang sudah ada. Para importir swasta, yang kini diminta
menjadi distributor, agaknya tak punya pilihan lain, kalau
mereka masih ingin terus berdagang makanan impor. Tapi menurut
Koh De, untuk menjadi importir buah-buahan segar, tidak mudah.
"Mereka perlu mengetahui soal musim, daerah asal perkebunan, dan
harus punya kamar pendingin yang besar," katanya. "Latar
belakang eksportir juga perlu diteliti, karena orang sana juga
suka menipu -- barang jelek dibilang bagus."
Pengetahuan tetang kualitas barang tentu perlu dimiliki oleh
Sarinah dan Kerta Niaga. Apalagi barang itu lekas busuk, atau
punya batas waktu pemakaian expiring date seperti barang
kalengan. Tapi yang menjadi pertanyaan: Kenapa pemerintah
menjadi sibuk untuk mengurusi impor buah-buahan, yang omsetnya
tak sampai 10% dari seluruh impor? Menurut Dirjen Suhadi, itu
ditempuh oleh pemerintah sebagai salah satu upaya untuk
menghemat devisa. Sebab dengan menyalurkan impor makanan hanya
kepada dua perusahaan pemerintah tadi, pemerintah berharap agar
"pengawasan dan pengarahan pemakaian tevisa lebih mudah
dilakukan."
Itu memang benar, setidaknya menurut teori. Dalam praktek, masih
perlu diuji kebolehan kedua persero niaga tadi untuk menekan
devisa. Orang tentu belum lupa ketika di tahun 1960-an, berbagai
Perusahaan Dagang Negara (PDN) yang menggantikan peranan Big
Five -- lima distributor raksasa dari Belanda yang beroperasi di
Indonesia -- dihinggapi macam-macam persoalan, dari salah urus
sampai permainan dengan orang 'dalam'. Kini, sistem monopoli
impor yang notabene dilakukan terhadap barang yang tidak
esensial, nampaknya kembali dihidupkan.
Dirjen Suhadi tak banyak berkomentar ketika ditanyakan apakah
sistem impor makanan oleh pemerintah tidak mengingatkan orang
kepada sistem ekonomi komando. "Kita lihat saja dulu jalannya
sistem kita ini," jawabnya. Tapi menurut seorang pejabat
ekonomi, sebenarnya masih banyak cara lain yang bisa ditempuh
oleh pemerintah, tanpa perlu mematikan peranan importir makanan
swasta. "Kenakan saja pajak impor yang tinggi," katanya. "Dengan
begitu produksi buah-buahan dalam negeri juga punya ruang gerak
untuk bisa lebih bersaing."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini