Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Teringat Ekonomi Komando

Pemerintah menunjuk PT Sarinah dan Kerta Niaga sebagai importir buah-buahan. para importir swasta diminta menjadi distributor dari dua perusahaan tersebut. kebijaksanaan ini diambil untuk menghemat devisa. (eb)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENGKOH De, pedagang buah-buahan dan makanan kaleng di Jalan Pinangsia Raya, Jakarta Utara, pekan lalu nampak sibuk menghitung stok barangnya. Di antara para pedagang makanan lain di Kota, ia memang dikenal sebagai "pengusaha kaki lima yang omsetnya paling besar". Sekalipun si engkoh itu bukan importir, tapi, "ordernya termasuk besar, dan gudangnya paling banyak," kata Cunggozali Joehana, pengusaha muda, yang mangkal di Pinangsia juga. Tapi Koh De, begitu ia biasa dipanggil, merasa pesimistis bisa melanjutkan usahanya, karena pembelinya sudah berkurang dengan separuh. "Barang sulit dicari sekarang, dan saya terpaksa menaikkan harga jalan," katanya kepada wartawan TEMPO, Praginanto. Sebagai distributor ia kini hanya menghabiskan stoknya, yang disimpan dalah kamar pendingin sewaan. "Yang kecil-kecil sudah pada tutup, sebentar lagi juga saya menyusul," katanya. Sampai pekan lalu memang belum ada buah-buahan dan makanan yang masuk dari luar negeri. Bukan karena dilarang oleh pemerintah. Tapi kedua perusahaan pemerintah yang ditunjuk untuk memonopoli impor buah-buahan, PT. Sarinah dan Kerta Niaga, belum lagi melakukan tugasnya. Departemen Perdagangan buah-buahan itu. Dan meminta agar mereka bisa bersabar. Seperti ka Dirjen Perdagangan Luar Negeri Suhadi Mangkusuwondo kepada Minuk Sastrowardoyo dari TEMPO, "kedua persero negara yang ditunjuk menjadi importir makanan itu belum berpengalaman, dan ingin kerjasama dengan pihak swasta." Maksud Dirjen Suhadi, agar para importir makanan itu sudi menjadi distributornya Sarinah dan Kerta Niaga. Sebab kedua persero itu memang bermaksud akan memakai saluran distribusi swasta yang sudah ada. Para importir swasta, yang kini diminta menjadi distributor, agaknya tak punya pilihan lain, kalau mereka masih ingin terus berdagang makanan impor. Tapi menurut Koh De, untuk menjadi importir buah-buahan segar, tidak mudah. "Mereka perlu mengetahui soal musim, daerah asal perkebunan, dan harus punya kamar pendingin yang besar," katanya. "Latar belakang eksportir juga perlu diteliti, karena orang sana juga suka menipu -- barang jelek dibilang bagus." Pengetahuan tetang kualitas barang tentu perlu dimiliki oleh Sarinah dan Kerta Niaga. Apalagi barang itu lekas busuk, atau punya batas waktu pemakaian expiring date seperti barang kalengan. Tapi yang menjadi pertanyaan: Kenapa pemerintah menjadi sibuk untuk mengurusi impor buah-buahan, yang omsetnya tak sampai 10% dari seluruh impor? Menurut Dirjen Suhadi, itu ditempuh oleh pemerintah sebagai salah satu upaya untuk menghemat devisa. Sebab dengan menyalurkan impor makanan hanya kepada dua perusahaan pemerintah tadi, pemerintah berharap agar "pengawasan dan pengarahan pemakaian tevisa lebih mudah dilakukan." Itu memang benar, setidaknya menurut teori. Dalam praktek, masih perlu diuji kebolehan kedua persero niaga tadi untuk menekan devisa. Orang tentu belum lupa ketika di tahun 1960-an, berbagai Perusahaan Dagang Negara (PDN) yang menggantikan peranan Big Five -- lima distributor raksasa dari Belanda yang beroperasi di Indonesia -- dihinggapi macam-macam persoalan, dari salah urus sampai permainan dengan orang 'dalam'. Kini, sistem monopoli impor yang notabene dilakukan terhadap barang yang tidak esensial, nampaknya kembali dihidupkan. Dirjen Suhadi tak banyak berkomentar ketika ditanyakan apakah sistem impor makanan oleh pemerintah tidak mengingatkan orang kepada sistem ekonomi komando. "Kita lihat saja dulu jalannya sistem kita ini," jawabnya. Tapi menurut seorang pejabat ekonomi, sebenarnya masih banyak cara lain yang bisa ditempuh oleh pemerintah, tanpa perlu mematikan peranan importir makanan swasta. "Kenakan saja pajak impor yang tinggi," katanya. "Dengan begitu produksi buah-buahan dalam negeri juga punya ruang gerak untuk bisa lebih bersaing."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus