Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA usahanya terancam, meski berbeda-beda bangsa, para pengusaha lintas negara akhirnya bersatu juga. Itulah yang terjadi pada para pengusaha kelapa sawit Indonesia dan sejumlah negara Eropa di Vatikan, Roma, Italia, Selasa dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, sejumlah pengusaha sawit berkumpul di salah satu ruangan konferensi Universitas Kepausan Urbaniana. Mereka mendiskusikan terancamnya bisnis minyak sawit di Benua Biru. "Langkah parlemen Eropa soal sawit tidak hanya mengganggu kepentingan Indonesia, tapi juga para pengusaha di sana," kata Joko Supriyono, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, di kantornya di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko mewakili para pengusaha sawit nasional. Dalam konferensi bertajuk "Mempromosikan Pengentasan Kemiskinan, Perdamaian, dan Kemanusiaan Melalui Pertanian dan Industri Perkebunan", ia bertemu dengan perwakilan Aliansi Minyak Sawit Eropa dan Federasi Minyak Nabati Eropa (Fediol). Selain pelaku industri, sejumlah perwakilan negara penghasil sawit, seperti Malaysia, hadir di sana. Selama ini Malaysia dan Indonesia menguasai 85 persen produksi sawit dunia.
Bisnis sawit di Eropa terancam setelah Parlemen Uni Eropa merevisi Direktif Energi Terbarukan II (RED II) pada 17 Januari tahun ini. Isinya: penggunaan bahan bakar hayati atau biofuel yang berasal dari minyak sawit tidak akan dihitung sebagai energi terbarukan mulai 2021.
Kendati bukan pelarangan langsung terhadap sawit-seperti kekhawatiran semula banyak pihak-direktif itu dianggap mengancam bisnis sawit Indonesia. Apalagi Uni Eropa adalah pasar terbesar kedua sawit asal Indonesia. Saban tahun, tidak kurang dari 4 juta ton sawit dan produk turunannya tersebar ke 28 negara anggota Uni Eropa. Tahun lalu, angka itu naik jadi 5 juta ton dengan nilai US$ 2,7 miliar atau sekitar Rp 38,149 triliun.
Pemerintah menganggap direktif itu mengancam pundi-pundi negara karena sepertiga dari ekspor sawit ke Eropa saat ini ditujukan untuk bahan baku biofuel. Ancaman itulah yang memaksa pemerintah turun tangan. "Suara saya sampai serak belain kalian, he-he-he...," kata Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di hadapan delegasi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia yang bertandang ke kantornya di Jakarta, Jumat pekan lalu.
Presiden Joko Widodo menunjuk Luhut sebagai utusan khusus pemerintah. Tugasnya melobi sejumlah negara untuk menggagalkan direktif Parlemen Uni Eropa. Ikhtiar pertama pemerintah dilakukan pada akhir April lalu. Selama empat hari Luhut mendatangi empat negara, yakni Belgia, Belanda, Prancis, dan Jerman. Luhut juga menyerahkan surat Jokowi kepada pemimpin Gereja Katolik sekaligus kepala negara Vatikan, Paus Fransiskus.
Lewat surat itu, Jokowi mengadu kepada Paus bahwa budi daya sawit Indonesia telah memberi nafkah bagi 5,5 juta pekerja perkebunan dan 21 juta orang di seluruh industri sawit. Nafkah jutaan orang itu dalam situasi tidak pasti menyusul revisi direktif Parlemen Uni Eropa. Jokowi, dalam suratnya, juga menyinggung diskriminasi parlemen karena menolak minyak sawit sebagai komponen energi terbarukan tapi mengakui minyak nabati lain yang diproduksi negara-negara Uni Eropa, seperti bunga matahari, kedelai, dan rapa. "Ini jelas sangat diskriminatif," ucap Luhut. "Kami hanya minta perdagangan dan perlakuan yang adil demi jutaan petani kecil sawit."
Pemerintah berharap Vatikan bisa memainkan pengaruhnya di Uni Eropa. "Vatikan pasti akan didengar negara-negara Uni Eropa," tutur Luhut kepada Kepala Komunikasi Korporat Tempo Wahyu Muryadi. Luhut yakin Vatikan bisa melihat Indonesia dengan lebih bijaksana dalam banyak hal.
Hasilnya, Selasa dua pekan lalu, konferensi internasional di Urbaniana terlaksana. Paus diwakili Kardinal Peter Turkson, kardinal asal Ghana yang menjabat Presiden Lembaga Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Turkson mengakui budi daya sawit berperan mengatasi kemiskinan baik di Indonesia maupun di negara lain, termasuk Ghana, kampung halamannya. "Tapi harus dijaga keseimbangannya dengan keberlanjutan lingkungan," ujar Kardinal Turkson di Vatikan.
Dalam suratnya kepada Paus, Jokowi mengakui masih ada masalah dalam pengelolaan hutan Indonesia, termasuk yang berkaitan langsung dengan perkebunan sawit. Namun, menurut Jokowi, Indonesia telah berkomitmen dan terus mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut, termasuk bersama komunitas internasional. Jokowi mengungkapkan, adanya dugaan deforestasi besar-besaran yang memicu hukuman dagang dari Uni Eropa bakal berdampak bagi petani sawit. Situasi tersebut perlu disikapi secara komprehensif.
Direktif Parlemen Uni Eropa dalam RED II berawal dari dugaan adanya perambahan hutan besar-besaran dalam pembukaan lahan kelapa sawit di Indonesia. Konselor Pertama Kepala Urusan Politik, Media, dan Seksi Informasi Uni Eropa untuk Indonesia, Rafael Tello, menyatakan kampanye itu bertahun-tahun didengungkan, di antaranya oleh Greenpeace dan World Wildlife Fund (WWF) di Eropa.
Parlemen Uni Eropa selanjutnya menindaklanjuti kampanye itu dalam Resolusi Parlemen pada April tahun lalu. Gelombang dukungan di parlemen bagi kampanye Greenpeace dan WWF mencapai 90 persen. "Tapi kami selalu bilang, jangan sampai ada pelarangan sawit masuk ke Eropa," ucap Tello di kantornya, Intiland Tower, Jakarta, Kamis pekan lalu. "Tidak ada dan tidak akan pernah ada pelarangan."
Industri sawit memang masih jadi gula-gula devisa. Tapi industri itu juga disebut-sebut sebagai momok bagi lingkungan. Pada Maret lalu, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi merilis kajian mereka terhadap praktik industri sawit sampai 2016. Lembaga antirasuah itu membuat kajian karena melihat ada empat masalah besar dalam pengelolaan komoditas sawit.
Pertama, kebakaran hutan dari pembukaan lahan untuk sawit pada 2015 menimbulkan kerugian hingga US$ 295 juta-menurut hitungan Bank Dunia. Kedua, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, sepanjang 2015 terjadi 127 konflik lahan di atas lahan seluas 200.217 hektare. Ketiga, ada ketimpangan penguasaan lahan sawit. Korporasi menguasai 11,3 juta hektare lahan atau 71 persen dari 15,7 juta hektare total lahan sawit pada 2015. Terakhir, sistem perizinan perkebunan sawit membuka peluang korupsi, seperti kasus yang menjerat Gubernur Riau Annas Maamun pada 2014 dan Bupati Buol Amran Batalipu pada 2012.
Dalam kajiannya, KPK antara lain menemukan banyak tumpang-tindih izin hak guna usaha perkebunan kelapa sawit dengan izin-izin lain di lahan kubah gambut. Pemerintah daerah sebagai penerbit izin pun didapati tidak memiliki sistem perencanaan perkebunan. Akibatnya, banyak izin usaha perkebunan tidak sesuai dengan peruntukan ruang. Selain itu, tidak ada mekanisme verifikasi lahan oleh pemberi izin. Temuan KPK itu, dan sejumlah kasus perambahan hutan untuk pembukaan lahan kebun kelapa sawit, menjadi alasan Parlemen Uni Eropa memvonis produksi sawit Indonesia tidak ramah lingkungan.
Joko Supriyono membantah anggapan bahwa pelaku industri sawit nasional tidak menerapkan konsep berkelanjutan. Menurut dia, industri sudah mempraktikkan konsep tersebut. Ia malah balik menuding Uni Eropa menerapkan standar ganda.
Joko menilai Uni Eropa selalu mengaitkan industri sawit dengan masalah lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan eksploitasi buruh. Dia mendesak Eropa tidak egoistis. Sebab, industri sawit kini jadi salah satu senjata untuk mengatasi kemiskinan. "Eropa mengabaikan kepentingan negara berkembang yang bergantung pada sawit," kata Joko.
Dalam urusan sawit, Uni Eropa dan Indonesia tidak pernah klop. Pangkal masalahnya, kata Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan Uni Eropa untuk Indonesia, Michael Bucki, ada perbedaan mencolok definisi perambahan hutan antara Benua Biru dan Indonesia. Uni Eropa melihat setiap pembukaan lahan hutan untuk budi daya tanaman masuk kategori penggundulan hutan. Sedangkan pemerintah memandang hutan bisa saja digunakan asal memenuhi syarat dan perizinan. "Lihatlah di citra satelit. Menyusutnya hutan sangat cepat, tapi bertambahnya perkebunan sawit tak kalah cepat," ucap Bucki.
Gara-gara manuver Parlemen Uni Eropa, hubungan dagang Indonesia dengan kawasan itu sempat renggang. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sudah mulai menebar ancaman perang dagang kepada sejumlah negara Uni Eropa, seperti Prancis. "Kalau Anda lakukan ini, kami juga bisa alihkan pembelian pesawat dari Airbus ke Boeing," kata Enggar, Kamis dua pekan lalu.
Masalahnya, perang dagang model begitu menyulitkan semua pihak. Rafael Tello dan Michael Bucki mengungkapkan Uni Eropa juga menghindari kondisi tersebut. Sepanjang tahun ini, kata Tello, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, sudah menemui sejumlah pejabat pemerintah guna menjelaskan duduk perkara rencana direktif Parlemen Uni Eropa tersebut. Menurut Tello, bosnya sudah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Luhut Pandjaitan, Menteri Enggartiasto Lukita, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, hingga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon. "Kami tegaskan, tidak akan ada banned sawit Indonesia," tutur Tello.
Direktif Parlemen Uni Eropa harus mendapat persetujuan dari Komisi dan Dewan Eropa agar bisa menjadi produk legislasi dan punya kekuatan memaksa negara anggota. Untuk bisa menjadikannya aturan, tiga lembaga Uni Eropa itu harus bersepakat dalam sebuah proses yang panjang.
Tiga lembaga tersebut sepakat membahasnya tiga pekan sekali. Ketiganya menargetkan keputusan final RED II bisa dicapai pada September nanti. "Tapi Komisi dan Dewan punya sikap tidak ada diskriminasi buat produk tertentu," kata Michael Bucki.
Khairul Anam, Retno Sulistiyowati
Pundi Ekspor di Pasar Eropa
Sawit adalah primadona Indonesia. Nilai ekspornya terbesar kedua setelah batu bara. Tak mengherankan, saat ancaman pembatasan ekspor komoditas itu oleh Uni Eropa mengemuka, pemerintah langsung pasang badan. Parlemen Uni Eropa mendesak agar sawit tidak digolongkan sebagai pembentuk biodiesel dan biofuel untuk energi terbarukan pada 2021. Mereka menganggap produk sawit Indonesia tidak ramah lingkungan. Rencana itu bakal memukul telak sawit Indonesia. Sebab, sepertiga ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa ditujukan untuk kebutuhan biodiesel dan biofuel.
Ekspor Utama Indonesia (US$ miliar) --> Bikin diagram batang. Gunakan simbol/ icon untuk masing-masing komoditas.
2015
- Batu Bara: 16
- Minyak Sawit: 15,4
- Tekstil dan Produk Tekstil: 12,3
2016
- Batu Bara: 14,6
- Minyak Sawit: 14,4
- Tekstil dan Produk Tekstil: 11,9
2017
- Batu Bara: 20,5
- Minyak Sawit: 18,5
- Tekstil dan Produk Tekstil: 12,6
Jenis Ekspor Indonesia ke Eropa (2016) (bikin diagram lingkaran dengan latar peta Eropa)
Jenis |
Nilai (miliar euro) |
Pangsa Pasar (%) |
Minyak sawit dan turunannya |
2,3 |
16 |
Minyak hewan, lemak, dan lilin |
0,2 |
1,2 |
Mesin dan peralatan rumah tangga |
2 |
13,9 |
Tekstil dan garmen |
1,7 |
11,6 |
Alas kaki, topi, dan penutup kepala lain |
1,6 |
11 |
Plastik, karet dan turunannya |
1 |
6,9 |
Lain-lain |
- |
39,4 |
Uni Eropa juga menjadi tujuan utama ekspor sawit Indonesia. Kini, sawit Indonesia menguasai pasar sawit Eropa.
Sebaran Ekspor Sawit Indonesia (pakai diagram batang plus diagram lingkaran yang menggambarkan pangsa pasar persen)
Tujuan |
2015 |
2016 |
2017 |
|||
Jumlah Ekspor (juta ton) |
Pangsa Pasar % |
Jumlah Ekspor (juta ton) |
Pangsa Pasar % |
Jumlah Ekspor (juta ton) |
Pangsa Pasar % |
|
Cina |
3,990 |
12,12 |
3,227 |
12,85 |
3,730 |
12,02 |
India |
5,798 |
21,96 |
5,783 |
23,03 |
7,625 |
24,56 |
Pakistan |
2,186 |
8,28 |
2,066 |
8,23 |
2,212 |
7,13 |
Amerika Serikat |
0,758 |
2,87 |
1,082 |
4,31 |
1,181 |
3,81 |
Bangladesh |
1,092 |
4,14 |
0,922 |
3,67 |
1,255 |
4,04 |
Uni Eropa |
4,233 |
16,03 |
4,370 |
17,40 |
5,025 |
16,19 |
Timur Tengah |
2,113 |
8 |
1,979 |
7,88 |
2,123 |
6,84 |
Afrika |
1,984 |
7,52 |
1,521 |
6,06 |
2,286 |
7,36 |
Nilai Ekspor Sawit (US$ miliar, 2017) --> pakai diagram lingkaran
- India: 4,9
- Uni Eropa: 2,7
- Cina: 2,1
- Pakistan: 1,5
- Bangladesh: 0,8
- Mesir: 0,8
- Amerika Serikat: 0,6
- Lainnya: 5,2
Pangsa Pasar Sawit Indonesia di Eropa --> bikin diagram lingkaran per tahun. Sisa pangsa persen yang lain kasih keterangan “lainnya”.
2013
49%
2014
49%
2015
46%
2016
43%
Tujuan Ekspor Sawit Utama di Uni Eropa (US$ juta) --> pakai diagram batang. Batang per tahun satu saja, tapi tiap negara dibedakan dengan warna (warna bisa diganti dengan bendera negara).
2015
- Spanyol: 570
- Belanda: 694
- Italia: 703
- Jerman: 127
- Lainnya: 68
2016
- Spanyol: 689
- Belanda: 566
- Italia: 552
- Jerman: 134
- Lainnya: 105
2017
- Spanyol: 920
- Belanda: 774
- Italia: 706
- Jerman: 126
- Lainnya: 159
Di sisi lain, beberapa negara Uni Eropa, seperti Polandia, menjadi produsen minyak nabati jenis lain, yaitu minyak rapa. Sawit mampu mendominasi pasar minyak nabati karena produktivitasnya paling tinggi.
Serapan Lahan untuk Produksi Minyak Nabati Dunia (juta hektare) --> gunakan simbol tumbuhannya
1965
- Kedelai: 25,82
- Rapa (rapeseed): 7,07
- Bunga Matahari: 7,54
- Sawit: 3,62
2013
- Kedelai: 111,27
- Rapa (rapeseed): 36,37
- Bunga Matahari: 25,59
- Sawit: 17,01
2015
- Kedelai: 120,80
- Rapa (rapeseed): 33,77
- Bunga Matahari: 22,50
- Sawit: 19,79
Laju perluasan lahan sawit di Indonesia sangat tinggi. Uni Eropa menilai banyak lahan sawit di Indonesia adalah hasil konversi hutan menjadi lahan tanaman. Itulah pangkal masalah sawit Indonesia di Uni Eropa.
Laju Luas Lahan dan Produksi Sawit Indonesia (juta hektare/ juta ton)
2015
- Kebun Negara: 0,743/0,469
- Kebun Rakyat: 4,5/2,105
- Kebun Swasta: 5,9/3,639
- Total: 11,2/6,214
2016
- Kebun Negara: 0,747/0,487
- Kebun Rakyat: 4,6/2,173
- Kebun Swasta: 6,5/3,985
- Total: 11,9/6,645
2017 (estimasi)
- Kebun Negara: 0,752/0,500
- Kebun Rakyat: 4,7/2,262
- Kebun Swasta: 6,7/4,309
- Total: 12,3/7,071
Naskah: Khairul Anam
Sumber: Kementerian Pertanian | BPS | Kementerian Koordinator Kemaritiman | Uni Eropa
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo