Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tengah bergegas. Di tengah upaya memaksimalkan ekspor sawit nasional ke Eropa, ia akan membuat perjanjian perdagangan dengan Turki. Enggar berencana mengirim tim untuk terbang ke Ankara pada pekan ini. "Tim inilah yang akan membahas dan menegosiasikan butir-butir perjanjian baru dengan Turki," ujar Enggar kepada Tempo di Jakarta, Kamis dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan dengan Turki. Jual-beli yang dilakukan pebisnis kedua negara selama ini berjalan tanpa payung hukum. Akibatnya, berbagai komoditas andalan yang diharapkan mendulang devisa kini menghadapi berbagai hambatan. Produk minyak sawit mentah (CPO), misalnya, terkena bea masuk hingga 31 persen, yang mengganggu daya saing ekspor Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktor itulah, antara lain, yang mempengaruhi pasar sawit nasional. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat pangsa pasar sawit Indonesia di beberapa negara menurun. Di Amerika Serikat, misalnya, pada 2016 pangsa pasar masih tercatat 4,31 persen, lalu turun menjadi 3,81 persen pada tahun berikutnya. Pada periode yang sama, penurunan juga terjadi di pasar Uni Eropa, yakni dari 17,4 persen menjadi 16,2 persen. Begitu pula di Timur Tengah, pangsa pasar sawit merosot dari 7,88 persen menjadi 6,84 persen.
Itu sebabnya pemerintah ingin mendapatkan fasilitas di Turki, setidaknya sama dengan yang diperoleh Malaysia. Di Turki, produk sawit asal negeri jiran itu terus memperoleh penurunan tarif ekspor. Pada 2014, ketika mereka menandatangani perjanjian perdagangan di bidang tertentu atau preferential trade agreement, bea masuk CPO asal Malaysia dipangkas dari 31 persen menjadi 20 persen. Dan, kini, tarif terjun bebas ke 0 persen setelah kedua negara meneken perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement.
Enggar mengincar Turki sebagai pasar sawit yang prospektif. Dengan jumlah penduduk dua tahun lalu sekitar 80,2 juta jiwa, produk domestik bruto per kapita berdasarkan purchasing power parity negeri itu sekitar US$ 21.146. Pertumbuhan ekonominya rata-rata 3,3 persen dalam lima tahun terakhir. Turki diyakini dapat menjadi pintu masuk produk unggulan Indonesia ke kawasan Eropa, Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Tengah. Apalagi Turki sudah memiliki perjanjian perdagangan dengan berbagai blok ekonomi tersebut.
Di tengah berbagai isu yang menyerang komoditas sawit, Indonesia memerlukan pasar baru untuk memperluas wilayah perdagangan. Pada Januari lalu, Parlemen Uni Eropa sepakat menghapus penggunaan produk kelapa sawit dan bahan bakar alami untuk biofuel, diganti dengan bahan dasar tanaman per 2021. Mereka juga sepakat menekan penggunaan sawit untuk sumber energi terbarukan transportasi hingga maksimal 7 persen sampai 2030.
Enggar yakin bahwa pasar Turki potensial. Sebab, sebelum Malaysia membikin perjanjian perdagangan dengan Turki, Indonesia pernah mengekspor produk sawit sebanyak US$ 350 juta ke negeri di persimpangan Benua Eropa dan Asia itu. Nilai itu terus merosot menjadi US$ 50 juta pada 2016. Bahkan pada tahun berikutnya diprediksi sama sekali tak ada pengapalan alias nol. "Diambil alih Malaysia. Kenapa? Karena bea masuk 0 persen."
Akibatnya, perdagangan Indonesia-Turki cenderung menurun. Pada 2016, Turki masih tercatat sebagai negara tujuan ekspor nonmigas ke-23 dan mitra investasi ke-43 dengan nilai investasi US$ 2,7 juta. Badan Pusat Statistik mencatat, selama beberapa tahun Indonesia menikmati surplus perdagangan dengan Turki. Per 2016, surplus Indonesia mencapai US$ 712,9 juta dengan ekspor US$ 1 miliar dan impor US$ 311 juta. Namun nilai surplus itu menyusut dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Sebaliknya, ekspor Malaysia ke Turki diperkirakan meningkat 49,11 persen.
Upaya membangun kerja sama perdagangan dengan Turki dibuka ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kenegaraan pada Juli 2017. Saat itu, Menteri Enggar bersama Menteri Perekonomian Turki Nihat Zeybekci menandatangani peluncuran perundingan perjanjian kemitraan ekonomi (Indonesia-Turki Comprehensive Economic Partnership Agreement/IT-CEPA). Presiden Jokowi dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyaksikan penandatanganan itu di White Palace, Ankara.
Enggar menjelaskan, perjanjian perdagangan akan dibuat bertahap. Awalnya akan diterapkan perdagangan atau trade in goods lebih dulu. "Ini yang paling mudah dan lebih cepat," ujarnya. Apalagi Kementerian Perdagangan telah memiliki acuan mengenai hal itu.
Adapun kerja sama di sektor jasa dan investasi akan menyusul. Alasannya, membahas perjanjian perdagangan bebas membutuhkan waktu lama. Kementerian Perdagangan harus melibatkan beberapa instansi lain. Dalam hal investasi, misalnya, setidaknya Kementerian Perindustrian serta Badan Koordinasi dan Penanaman Modal harus dilibatkan.
Itulah yang membedakannya dengan kerja sama trade in goods, yang lebih spesifik. Negosiasi cukup dilakukan oleh tim dari Kementerian Perdagangan. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo, menambahkan bahwa ada banyak komoditas yang bisa dimasukkan dalam perjanjian perdagangan model ini. Indonesia bisa mengekspor tekstil dan produk garmen selain produk sawit. Adapun potensi barang yang bisa diimpor antara lain gandum dan karpet. "Tergantung mereka minta apa, kita minta apa. Itu saja. Nanti kita duduk," kata Iman. Diharapkan model kerja sama trade in goods segera terealisasi.
Kementerian Perdagangan juga tengah melobi India untuk urusan sawit. Kebijakan pemerintah India yang akan menaikkan bea masuk sebesar 45 persen untuk produk sawit dan 54 persen untuk produk turunan sawit menyebabkan penurunan ekspor sawit Indonesia. Semula tarif masuk sawit ke India sebesar 7,5-15 persen, sementara tarif masuk untuk produk turunan sawit 15-25 persen.
Penurunan ekspor itu tampak pada awal tahun ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya pada Januari-Februari 2018 sebesar US$ 3,48 miliar. Angka tersebut turun 16 persen dibanding data pada periode yang sama tahun lalu, yang tercatat senilai US$ 4,16 miliar.
Selama ini India merupakan negara tujuan ekspor terbesar produk sawit Tanah Air. Pada 2017, Kementerian Perdagangan mencatat pengiriman kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya senilai US$ 22,78 miliar. Jumlah itu meningkat dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar US$ 18,12 miliar. Menurut Enggar, kebijakan kenaikan tarif itu dilatarbelakangi kebutuhan anggaran negara.
Enggar mengaku telah berkomunikasi dengan Menteri Perdagangan India. "Dia bilang, 'Kirim surat ke saya, tiga bulan lagi akan saya evaluasi'." Menindaklanjuti hal itu, dalam waktu dekat Enggar akan melayangkan surat ke India. Bila sesuai dengan janji, pemerintah India akan mengkaji ulang kebijakannya. Indonesia menargetkan, setidaknya, mendapat perlakuan yang sama dengan Malaysia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Joko Supriyono, sepakat ekspor sawit harus "diselamatkan" dengan memperkuat perjanjian perdagangan dengan berbagai negara. Hal ini akan memberi kepastian dan menjamin perdagangan bagi kedua negara.
Retno Sulistyowati, Khairul Anam
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo