Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN pelaku pasar modal dan pasar uang hadir dalam pertemuan di lantai dua Gedung Mar'ie Muhammad, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta. Jumat siang dua pekan lalu, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengundang lebih dari 40 institusi keuangan. Mereka membahas kondisi ekonomi global sekaligus perkembangan pasar surat berharga negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan itu dipicu oleh pertumbuhan ekonomi negara maju yang kini makin kinclong, tren harga minyak dunia terus meningkat, dan imbal hasil surat utang Amerika Serikat turut melesat. Sementara itu, dalam sebulan terakhir nilai tukar rupiah kembali tergelincir hingga menyentuh angka 14.205 per dolar Amerika berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar. Inilah level terendah sejak Desember 2015.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, salah satu yang hadir di sana. Budi menjadi penanya pertama dalam pertemuan tertutup KSSK dengan pelaku pasar itu. "Dengan keadaan seperti ini, bagaimana kondisi fiskal kita?" kata Budi, mengulang pertanyaan yang ia ajukan, Jumat pekan lalu.
Pertanyaan itu ditujukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sekaligus untuk mendesak pemerintah mengubah kajian subsidi minyak saat harga minyak dunia melambung. Harga minyak dunia mencapai US$ 73,42 per barel pada akhir April lalu. Sedangkan asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 masih sekitar US$ 48 per barel. "Apakah pembiayaan defisitnya masih bisa?" ucap Budi. Ia khawatir, jika pemerintah tidak mengubah harga asumsi komoditas ini, impor bahan bakar minyak akan membebani anggaran negara.
Menteri Sri Mulyani mengatakan defisit APBN tetap dipatok sebesar 2,14 persen akhir tahun ini meskipun tekanan global bertubi-tubi mendera. Menurut dia, negara justru mendapatkan selisih penerimaan dari sektor migas yang meningkat dalam bentuk rupiah dengan kenaikan harga minyak dunia. "Kami tetap lakukan kajian mengenai harga minyak, terutama subsidi yang berhubungan dengan neraca PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara," ujar Sri saat konferensi pers seusai pertemuan.
Selain fiskal, hal utama yang menjadi bahan diskusi adalah sinyal Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan (7-Day Repo Rate). Sepanjang Januari-21 Mei lalu, rupiah terdepresiasi hingga 4,53 persen. Perbaikan ekonomi di Amerika Serikat dan kebijakan Presiden Donald Trump memangkas pajak korporasi menyebabkan imbal hasil surat utang tenor 10 tahun di Negeri Abang Sam itu meningkat di atas 3 persen. Investor hengkang dari negara berkembang dan kembali membeli surat utang Amerika. Pergeseran aliran dolar ini tak hanya menekan rupiah, tapi juga melemahkan peso Argentina, rupee India, dan real Brasil. Sementara itu, pelemahan rupiah juga diperparah oleh tambahan permintaan dolar oleh korporasi domestik untuk pembayaran dividen ke luar negeri.
Pelaku pasar, kata Budi, sebetulnya telah menangkap sinyal Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan jauh sebelum pertemuan dengan KSSK. Upaya ini diperlukan untuk menarik investasi asing dengan suku bunga acuan yang tinggi, khususnya di pasar obligasi. "Era suku bunga tinggi akan menjadi the new normal," ucapnya.
Hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17 Mei lalu akhirnya memutuskan kenaikan suku bunga acuan 7-Day (Reverse) Repo Rate sebesar 25 basis point dari 4,25 persen menjadi 4,50 persen. Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia saat itu, mengatakan kebijakan ini untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian pasar keuangan dunia. "Kalau kondisi mengharuskan kami untuk melakukan penyesuaian bunga lagi, kami tidak ragu untuk melakukannya," kata Agus.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai kebijakan ini justru terlambat. Kenaikan bunga acuan 25 basis point diperkirakan hanya mampu mendorong rupiah Rp 100-200.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo membantah keterlambatan itu. Sebab, pada rapat-rapat sebelumnya, Dewan Gubernur memastikan kenaikan suku bunga belum dibutuhkan lantaran akan berdampak terhadap inflasi atau daya beli. "Kami lihat mengganggu atau tidak," ujar Dody, Senin pekan lalu.
Dari sisi domestik, indikator perekonomian justru menunjukkan kondisi stabil. Pertumbuhan ekonomi triwulan pertama mencapai 5,06 persen atau lebih tinggi dari periode yang sama pada 2017. Sayangnya, kata Agus Marto, defisit transaksi berjalan yang mencapai US$ 5,5 miliar pada triwulan pertama tahun ini cukup mempengaruhi pelemahan rupiah.
Defisit neraca perdagangan juga melebar hingga US$ 1,63 miliar karena peningkatan impor nonmigas. "Kalau transaksi berjalan defisit, rupiah bisa menguat asalkan ada uang besar dari asing masuk dalam bentuk investasi langsung atau beli surat utang kita," ucap Agus saat rapat evaluasi kerja dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu.
Masuknya pasokan dolar dibutuhkan di tengah situasi saat ini. Itu sebabnya, dalam beberapa kesempatan, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Lana Soelistianingsih berharap pemerintah tetap menerbitkan global bond lebih banyak dan lebih cepat. Ia menilai pemerintah tidak perlu menunda penerbitan surat utang berdenominasi dolar.
Pemerintah sempat melelang lima surat utang negara tiga pekan lalu. Lelang itu tercatat hanya Rp 7,2 triliun dari target indikatif Rp 17 triliun. Inilah penawaran terendah sejak 18 Juni 2013 sebesar Rp 7,74 triliun. Pemerintah akhirnya memutuskan tidak memenangkan semua permintaan investor yang masuk lelang tersebut karena mereka meminta imbal hasil tinggi. "Kalau yield naik, pemerintah mampu tidak membayar bunga yang lebih tinggi," ujar Lana.
Pada Selasa pekan lalu, pemerintah kembali melelang surat utang negara. Lelang kali ini berhasil mendulang permintaan Rp 31,47 triliun, lebih tinggi dari target indikatif Rp 10 triliun. Banjirnya penawaran yang masuk membuat pemerintah berpotensi menyerap hasil lelang ini maksimal Rp 15 triliun.
Lana memprediksi pelemahan rupiah berlangsung hingga pertengahan Juni. Sebab, masih terdapat pembayaran dividen oleh korporasi sebelum liburan Idul Fitri. Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, diperkirakan menaikkan suku bunga pada pertengahan Juni. Lana memprediksi suku bunga acuan Bank Indonesia pun kembali meningkat 50-75 basis point. "Kalau tekanan makin kencang, ya, bunga harus ekspansi. Tapi bisa dibantu dengan kebijakan makroprudensial," katanya.
Dalam jangka pendek, Lana melanjutkan, Bank Indonesia harus gencar melakukan operasi pasar terbuka dengan membeli obligasi asing. Langkah ini akan menahan investor asing menjual obligasinya secara masif, yang mengakibatkan rupiah makin terpuruk. "Penjagaannya harus all out, karena kalau sudah Rp 14.300 bisa rentan ke Rp 14.600," ujarnya. Lewat dari angka itu, bila fundamen ekonomi tidak bagus, bisa terbang ke level Rp 16.000.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo merumuskan lima kebijakan menjaga stabilitas ekonomi sejak hari pertamanya dilantik, Kamis pekan lalu. Ia berjanji lebih cepat merespons kebijakan suku bunga. "Kami akan lebih pre-emptive, front loading, dan ahead the curve," ucapnya.
Bank Indonesia telah mengeluarkan Rp 50 triliun untuk operasi pasar membeli surat berharga dari pasar asing sejak Januari lalu. Perry berjanji bank sentral lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain melakukan pendalaman pasar keuangan, kebijakan sistem pembayaran nasional, dan penguatan ekonomi syariah, Bank Indonesia akan merelaksasi kebijakan kredit properti. Misalnya dengan melonggarkan ketentuan indent atau termin pembayaran. "Biasanya sektor perumahan ini leading sector untuk pertumbuhan di sektor lain," kata Perry. Hingga penutupan perdagangan Jumat pekan lalu, rupiah masih bertengger di kisaran 14.166 per dolar Amerika.
Putri Adityowati, Adam Prireza, Ghoida Rahmah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo