Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir tak ada tempat bagi perokok di Australia. Perkantoran, pusat belanja, kampus, hingga bioskop sengaja tidak menyediakan ruang khusus untuk menyedot asap sigaret. "No smoking within 10 metres of building. Please dispose of butts thoughtfully." Begitu peringatan yang tertempel di Chifley Library, Australian National University, Canberra, Kamis pekan lalu. Teguran serupa ditempel di berbagai gedung di Negeri Kanguru.
Pada Agustus 2012, Mahkamah Agung Australia mengukuhkan undang-undang baru tentang bungkus rokok tanpa logo. Aturan yang berlaku mulai 1 Desember 2012 itu mensyaratkan semua rokok memakai bungkus berwarna hijau lumut tanpa logo, desain, atau warna khas perusahaan. Kemasan harus menampilkan peringatan bahaya merokok dan gambar penyakit kronis akibat merokok, seperti kanker mulut. Gambar itu harus memenuhi 75 persen permukaan bungkus bagian atas, depan, dan belakang. Merek dan varian rokok boleh ditulis kecil di bagian bawah.
Beragam kampanye itu membuat angka pertumbuhan jumlah perokok menurun. Menurut badan amal kesehatan Cancer Council Victoria, seperti dikutip Bloomberg, tingkat pertumbuhan perokok di Australia jatuh setelah satu dekade diberlakukan larangan merokok di tempat kerja dan kenaikan pajak tembakau. Pada 2011-2012, sebanyak 20 persen pria dan 16 persen wanita merokok. Sebelumnya, pada 2010, sekitar 27 persen pria dan 21 persen wanita mengisap sigaret.
Regulasi ketat itulah yang mendorong Philip Morris International Inc menutup pabriknya di Moorabbin, Melbourne, akhir tahun ini. Pabrik di Moorabbin, yang dibangun pada 1954, adalah perusahaan pertama Philip Morris di luar negeri. Fasilitas produksi akan dipindahkan ke Korea Selatan. Philip Morris, yang mengumumkan penutupan pada awal April lalu, menyatakan 180 orang akan kehilangan pekerjaan. Philip Morris masih mempertahankan 550 orang di kantor pusat Australia di Melbourne.
Manajemen beralasan penutupan pabrik dilakukan karena angka penjualan di tingkat lokal terus merosot dan peluang ekspor yang terbatas. "Ini merupakan keputusan yang sangat sulit, dan berita buruk bagi karyawan kami," kata John Gledhill, Direktur Philip Morris untuk Australia, Selandia Baru, dan Kepulauan Pasifik. Dia menambahkan, peraturan pemerintah Australia yang membatasi ekspor secara signifikan mengakibatkan pabrik itu beroperasi kurang dari setengah kapasitas. "Faktor-faktor di luar kendali itulah yang membuat pabrik harus ditutup."
Tiga hari setelah pengumuman penutupan Moorabbin, Philip Morris menyatakan akan menutup fasilitas produksi terbesarnya di Belanda, juga tahun ini. Rokok dari pabrik di Bergen op Zoom, Provinsi Noord Brabant, di bagian selatan Negeri Kincir Angin, diekspor ke sejumlah negara di Eropa dan Jepang. Selanjutnya, produksi akan dialihkan ke pabrik-pabrik lain di Eropa yang memiliki kapasitas cadangan.
Penutupan pabrik itu menyebabkan 1.230 orang kehilangan pekerjaan. Tapi rencana ini masih memerlukan persetujuan dewan pengawas Philip Morris Belanda dan akan dibahas dengan serikat buruh. Penutupan ini dilakukan karena permintaan rokok tradisional di Eropa terus merosot. "Sangat sulit mengumumkan penurunan yang terjadi dan opsi yang diambil," demikian pengumuman Philip Morris, seperti dilaporkan kantor berita AFP, 5 April 2014.
Pemilik merek Marlboro ini menyatakan selama empat tahun terakhir angka penjualannya turun 20 persen, antara lain karena krisis keuangan dunia dan kenaikan pajak rokok. Keuangan yang seret diperkirakan membuat perokok memilih membeli produk yang lebih murah. Peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya asap sigaret juga menyumbang penurunan penjualan.
Retno Sulistyowati, Yandhrie Arvian (Canberra)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo