Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Persemaian Baru Semangat Habibie

Pengembangan pesawat produksi dalam negeri oleh swasta memasuki tahap desain awal. Sudah dipesan 125 unit.

26 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA yang menyerupai dengung mesin pesawat terdengar keras dari ruang uji tes di Laboratorium Aerogasdinamika dan Getaran Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, Tangerang Selatan, pertengahan April lalu. Di salah satu bagian berupa terowongan angin, sebuah model pesawat menggantung dengan posisi terbalik. Di dalam terowongan itu disemburkan angin berkecepatan 250 kilometer per jam.

Kepala program pengujian pesawat R80, Gunawan, mengatakan model pesawat dengan skala 1 : 10 itu sedang dalam uji aerodinamika. Tes dilakukan untuk melihat pengaruh angin terhadap badan pesawat. "Pesawatnya diam, anginnya yang bergerak," katanya. Di sebelah ruang uji, sejumlah orang mencermati pergerakan angka di layar monitor. "Mereka akan mencatat angka-angkanya untuk memperoleh koefisien yang terbaik."

R80 adalah nama untuk pesawat yang akan diproduksi PT Regio Aviasi Industri. Perusahaan ini merupakan patungan Ilthabi Rekatama milik Ilham Akbar Habibie dan Eagle Capital, perusahaan jasa keuangan yang didirikan mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah. "Dulu orang tidak percaya gunanya industri pesawat, tapi sekarang Indonesia menjadi pasar yang luar biasa besar," kata Ilham Habibie.

Ilham, yang menjabat komisaris di Regio, mengatakan konsep pesawat jenis turbo propeller atau lebih dikenal dengan pesawat baling-baling ini sudah dibicarakan dengan kalangan maskapai dalam negeri sejak setahun lalu. Dalam forum airlines working group itu, enam maskapai, yakni NAM Air, Citilink, Wings Air, Kalstar Asia, Sky Aviation, dan Merpati, telah dimintai pendapat tentang desain dan spesifikasi pesawat yang akan mereka produksi. "Kami datang sudah dengan desain yang rinci," katanya.

Presiden Direktur Regio Aviasi Agung Nugroho mengatakan R80 saat ini masuk tahap desain awal untuk memperoleh bentuk pesawat yang ideal. Mantan Executive Vice President PT Dirgantara Indonesia ini menjelaskan, proses uji aerodinamika akan dilakukan selama 200 jam. Setiap hari model pesawat akan dicoba dengan berbagai konfigurasi, sehingga akan diperoleh karakteristik pesawat yang ekonomis, terutama pada konsumsi bahan bakar. "Kalau pesawat kami tidak efisien, tidak ada yang mau beli," katanya.

n n n

Proyek pengembangan pesawat R80 ini mengembalikan Laboratorium Aerogasdinamika dan Getaran ke khitahnya, menguji rancang bangun pesawat terbang. Terakhir kali, laboratorium ini mengerjakan proyek pengembangan pesawat N250, yang kemudian terhenti akibat krisis ekonomi pada 1998. Setelah itu lebih banyak melakukan uji aerodinamika terhadap bangunan jembatan. "Infrastrukturnya sudah ada, tinggal kami manfaatkan," kata Agung.

Di samping fasilitas uji dan laboratorium, proyek pengembangan R80 juga melibatkan banyak mantan pegawai PT Dirgantara Indonesia. Mereka adalah orang berpengalaman yang sudah mempunyai jam terbang tinggi dalam rekayasa pesawat. Gunawan, 62 tahun, misalnya, dulu pernah terlibat langsung dalam pengujian N250.

Meskipun semangatnya meneruskan proyek pesawat N250, Ilham mengatakan R80 bukanlah kelanjutan dari N250, yang merupakan hasil rancangan ayahnya, Bacharuddin Jusuf Habibie. Memang, kalau dilihat sekilas, keduanya mempunyai kesamaan. "Tapi detailnya amat sangat berbeda," katanya.

Perbedaan itu bisa dilihat dari kapasitas penumpang R80 yang berdaya angkut lebih besar, yakni 80 penumpang, sedangkan N250 awalnya didesain untuk 50 penumpang. Karena ukurannya lebih besar, pesawat membutuhkan mesin yang lebih kuat. Yang menyamakan R80 dan N250 adalah flight control system, yang menggunakan teknologi fly by wire, pengendalian secara elektronik. "Tentu saja teknologi komputernya sudah jauh berbeda dengan yang dulu," katanya.

Secara konseptual, R80 dan N250 sama-sama mengusung pesawat model turbo propeller. Sebab, menurut Ilham, jenis pesawat inilah yang cocok untuk kondisi geografis Indonesia. Pesawat ini bisa mendarat di landasan yang pendek, "Bahkan di permukaan yang kurang bagus," katanya.

Dari sisi efisiensi, jenis turboprop diklaim jauh lebih irit dibanding pesawat bermesin jet. Menurut Ilham, aspek penghematan menjadi faktor penting bagi bisnis maskapai saat ini.

Meskipun kedua pesawat itu berbeda jauh, sang ayah, B.J. Habibie, terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang desain pesawat. Hampir setiap pekan Habibie mendapat laporan dari tim Regio yang menangani langsung desain pesawat R80. "Dari Bapak kami mengambil semangatnya," katanya.

n n n

Pengembangan pesawat R80 adalah murni proyek swasta dan tidak melibatkan pemerintah. Namun proses produksi nantinya akan dikerjakan oleh PT Dirgantara Indonesia. Perusahaan yang dulu bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara itu dinilai mempunyai kapasitas produksi yang berlebih. "Daripada membuat pabrik baru, lebih baik kami subkontrakkan ke PT DI," kata Ilham.

Rencananya, ketika proyek ini sudah masuk tahap proses produksi, PT DI akan mendapat bagian saham. Saat ini PT Ilthabi Rekatama memegang 51 persen saham, sedangkan Eagle Capital kebagian 49 persen. Ilham mengatakan sengaja menggandeng Eagle Capital untuk mengurusi pendanaan proyek ini. "Itu bukan keahlian kami," katanya.

Ilham tidak menginginkan pengembangan proyek ini berubah menjadi badan usaha milik negara. Sebab, hal itu hanya akan membuat fleksibilitas perusahaan berkurang. "Tidak mudah, harus melalui mekanisme pemerintah, kemudian dipanggil DPR," katanya.

Agung menjelaskan, tahap pengembangan pesawat, dari desain, pembuatan prototipe, sampai memperoleh sertifikasi kelayakan terbang, diperkirakan menghabiskan dana US$ 700 juta atau sekitar Rp 8 triliun. Sejumlah pendanaan sudah diperoleh dari beberapa pengusaha Indonesia. "Kami sudah dapat dana dan sudah kami gunakan," katanya. Karena belum masuk tahap produksi, yang baru bisa dilakukan adalah melakukan pendekatan kepada investor perseorangan.

Nantinya, ketika proyek R80 ini masuk tahap produksi, perusahaan akan melakukan pendekatan kepada investor institusional. Ilham mengatakan ada beberapa cara untuk menggaet investor, antara lain melakukan pendekatan, baik kepada mereka yang berada di dalam maupun di luar negeri. Kemudian melalui mekanisme pasar dengan cara menjual obligasi. "Makin mendekati ke proses produksi, kami akan menggunakan instrumen pasar, karena ini berkaitan dengan risiko yang ditanggung publik," katanya.

Pada tahap awal, untuk keperluan uji terbang, R80 akan diproduksi empat unit. Setelah memperoleh sertifikat kelayakan udara, baru kemudian boleh dijual ke pasar. Rencananya, R80 akan diproduksi 400 unit dalam jangka waktu 20 tahun, dengan nilai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 114 triliun.

Menurut Agung, pesawat R80 akan bersaing dengan ATR Prancis dan Dash 8-Q400 Kanada. "Kami akan mengambil kapasitas penumpang yang lebih besar," katanya. Saat ini dua maskapai penerbangan, yakni NAM Air, yang merupakan anak perusahaan Sriwijaya Air, dan Kalstar Asia, sudah melakukan letter of intent. Masing-masing akan memesan 100 dan 25 unit pesawat. "Kami ingin mendorong produksi dalam negeri," kata Senior Corporate Communications Manager Sriwijaya Air Agus Soedjono.

Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana mengatakan nantinya perseroan bakal mendapat bagian saham. Saat ini perusahaan yang berbasis di Bandung itu sudah mengerjakan desain, bentuk, dan analisis pesawat, yang pendanaannya semuanya berasal dari PT Regio Aviasi.

Andi mengatakan proyek pengembangan pesawat R80 akan menjadikannya pesawat terbesar yang diproduksi PT DI dan bisa menambah portofolio perusahaan untuk produksi pesawat sipil. Selama ini perseroan lebih banyak memproduksi pesawat untuk keperluan militer. Dengan R80, Dirgantara berharap portofolionya menjadi seimbang antara sipil dan militer.

Iqbal Muhtarom

R80 dan Kompetitor
R80ATR 72Dash 8-Q400
JenisTurbopropTurbopropTurboprop
Penumpang8070-7470-78
Daya jelajah500 km550 km550 km
Terbang perdana201727 Oktober 198831 Januari 1998
Harga-US$ 24,7 jutaUS$ 27 juta
ProdusenATRBombardierDe Havilland
NegaraIndonesiaPrancisKanada-Italia

2013-2014

  • Desain awal dan penjajakan pasar.

    2014-2017

  • Pengembangan skala penuh, detail desain, pembuatan prototipe, uji coba terbang, dan persiapan serial produksi.

    2017

  • Penerbangan perdana.

    2017-2019

  • Sertifikasi layak terbang.

    2019

  • Penyerahan kepada pelanggan pertama.

    Pengembangan:

  • PT Regio Aviasi Industri
  • 51 Persen Ilthabi Rekatama
  • 49 persen Eagle Capital

    Pabrik Produksi:

  • PT Dirgantara Indonesia
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus