Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo tiga tahun sebetulnya belum sepenuhnya cukup untuk menilai satu pemerintahan sudah berhasil atau tidak di bidang ekonomi. Betul, pemerintah berperan besar. Tapi penentu keadaan ekonomi hari ini bukan hanya kebijakan presiden dan para menteri.
Kinerja ekonomi juga merupakan resultante begitu banyak faktor di luar kebijakan pemerintah. Dari keadaan pasar global, efek keputusan pemerintah sebelumnya, hingga ke soal-soal di luar kendali manusia, seperti cuaca ekstrem dan bencana alam. Maka perdebatan soal kinerja ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo, jika hanya saling adu interpretasi data dan statistik, sebetulnya tak lebih dari sekadar debat kusir ahli dan praktisi ekonomi-politik.
Bagi investor yang punya horizon investasi berjangka menengah-panjang, selalu ada pertanyaan yang lebih penting ketimbang statistik: sejauh mana restrukturisasi berjalan agar ekonomi menjadi kian efisien dari waktu ke waktu? Evaluasi ini tak kalah relevan ketimbang hanya berbicara soal statistik tingkat pertumbuhan ekonomi yang faktor penentunya sungguh beragam tadi. Agar imbal hasil investasinya optimal, investor tentu ingin ekonomi Indonesia konsisten tumbuh.
Menimbang berbagai kebijakan ekonomi sejak Oktober 2014, sayangnya restrukturisasi ekonomi terasa seperti jalan di tempat. Berbagai kebijakan di bidang pertanian ataupun perdagangan menunjukkan langkah mundur dan justru berpotensi menciptakan rente yang berujung padaekonomi biaya tinggi.
Pemerintah berpihak padabeberapa kebijakan populis yang meninggalkan akal sehat ekonomi. Sekadar contoh: ada pemaksaan pola menanam beras. Ada pula pengendalian harganya di tingkat konsumen. Ada niat menciptakan monopoli gula impor. Dominasi badan usaha milik negara yang kian kencang melemahkan peran swasta. Serangkaian kebijakan ini juga menimbulkan kesan bahwa Indonesia kian menjauh dari pengelolaan ekonomi pasar yang terbuka.
Agresivitas pemerintah, yang ingin memainkan peran sentral dalam ekonomi, menimbulkan masalah kronis yang muncul sejak 2015. Untuk membiayai agresivitas itu, pemerintah mematok target penerimaan pajak yang sangat tinggi dan tidak realistis. Hal ini menjadi akar masalah yang buntutnya terus bergulir dari tahun ke tahun. Sekali target terpasang, ini menjadi warisan yang tak bisa ditolak. Secara politis, pemerintah tak bisa menurunkan target di tahun-tahun berikutnya kendati tak realistis.
Akibatnya, pada akhir tahun ketiga, pemerintah kini terjebak dalam keharusan menjalankan kebijakan kontraktif, agresif menyedot pajak dari masyarakat, yang membuat ekonomi mengerut alias kontraksi. Agresivitas itu demi membiayai ambisi populisme serta peran negara dan birokrasi yang semakin besar. Padahal, ketika harga komoditas masih lesu, ekonomi Indonesia seharusnya membutuhkan insentif. Salah satunya kebijakan pemerintah yang bersifat ekspansif mendorong pertumbuhan.
Kebijakan kontraktif itulah yang terasa di sektor riil. Banyak pelaku usaha mengeluh bisnisnya lesu. Masalahnya, memasuki dua tahun terakhir pemerintahan, semakin sedikit insentif bagi Presiden untuk keluar dari jebakankebijakan bernuansa populisme. Pemilihan umum semakin dekat, sementara berbagai jajak pendapat menunjukkan kepuasan publik yang tinggi. Elektabilitas Jokowi juga paling besar dibanding calon-calon pesaingnya. Presiden tentu merasa sudah berada di jalur yang benar.
Persoalannya, dampak buruk kebijakan populis itu baru terasa di jangka menengah-panjang. Ada jeda waktu hingga kelak efek buruknya mulai terasa. Investor yang cerdas tentu memasukkan faktor ini dalam kalkulasinya.
Yopie Hidayat - Kontributor Tempo
Kurs | |
Pembukaan 13 Oktober 2017 | 13.508 |
Rp per US$ | 13.517 |
Pembukaan 20 Oktober 2017 |
IHSG | |
Pembukaan 13 Oktober 2017 | 5.926 |
5.923 | |
Pembukaan 20 Oktober 2017 |
Inflasi | |
Bulan sebelumnya | 3,82% |
3,72% | |
September 2017 YoY |
BI 7-Day Repo Rate | |
4,25% | |
19 Oktober 2017 |
Cadangan Devisa | |
31 Agustus 2017 | US$ 128,787 miliar |
Miliar US$ | 129,402 |
30 September 2017 |
Pertumbuhan PDB | |
2016 | 5,02% |
5,1% | |
Target 2017 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo