Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perlawanan dari hutan pelalawan

Riau Andalan Pulp and Paper berulang kali mengajukan revisi rencana kerja yang tidak sesuai dengan aturan. Masih membuat kanal dan menanam ulang akasia di lahan gambut.

22 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono menyalakan layar telepon selulernya. Di sana terpampang foto surat berlogo Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), grup perusahaan yang menaungi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Joko mengaku mendapatkan foto surat itu dari Direktur Utama RAPP Rudi Fajar. Tempo memperoleh foto surat yang sama dari para aktivis lingkungan.

Dalam surat itu, Rudi memberi tahu semua kontraktor, pemasok, dan mitra RAPP bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melarang perusahaan menanami lahan dengan pohon akasia dan eukaliptus. Larangan itu, menurut Rudi, bakal berdampak terhadap operasi perusahaan. Itu sebabnya ia meminta semua mitra perusahaan tetap tenang. Surat bertanggal 7 Oktober itu ditembuskan ke Gubernur Riau, Kepala Kepolisian Daerah Riau, dan para kepala daerah kabupaten di wilayah Riau.

Joko menyebutkan surat itu menggambarkan kerisauan pengusaha terhadap aturan baru tata kelola gambut. Pengusaha sawit merasakan hal yang sama karena lahan yang mereka kelola bakal menyusut. Joko juga khawatir kepastian investasi terganggu. Itu sebabnya, "Sebagai sesama pengusaha yang terkena dampak, kami harus saling mendukung," ujarnya, Selasa pekan lalu.

Aturan yang dipersoalkan Joko adalah empat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang terbit berbarengan pada 9 Februari lalu. Keempat aturan ini mengatur inventarisasi dan penetapan fungsi lahan (Peraturan Menteri Nomor 14), pengukuran muka air tanah (Peraturan Menteri Nomor 15), pedoman teknis pemulihan (Peraturan Menteri Nomor 16), dan pembangunan hutan tanaman industri (Peraturan Menteri Nomor 17). Penerapan aturan restorasi lahan gambut ini diperkirakan mengurangi luas lahan hutan tanaman industri sekitar 780 ribu hektare dan lahan sawit hingga 1,02 juta hektare.

Sehari sebelum surat Rudi beredar, Kementerian Lingkungan Hidup melayangkan teguran kepada RAPP. Penyebabnya: perusahaan diduga melanggar aturan lindung gambut di area konsesi mereka di Pelalawan, Riau. Dalam surat peringatan yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono, RAPP diminta memulihkan area fungsi lindung ekosistem gambut dan melakukan rotasi tanam. Perusahaan juga dilarang menanam pohon akasia dan eukaliptus di area tersebut.

Dugaan pelanggaran yang dilakukan RAPP terungkap setelah tim Kementerian dua kali mengunjungi area konsesi. Pada akhir Maret lalu, tim yang dipimpin Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani menemukan akasia yang baru ditanam di lahan gambut pada area konsesi RAPP di Semenanjung Kampar, Pelalawan.

Penanaman ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut juncto PP Nomor 57 Tahun 2016. Dalam aturan tersebut, pemerintah melarang membuka lahan gambut, terutama yang ketebalannya lebih dari tiga meter. Pembuatan kanal yang mengakibatkan gambut kering pun dilarang. Rupanya, Ridho kembali menemukan pelanggaran di area yang sama dalam kunjungan 5 Oktober lalu. "Perusahaan melanggar aturan kedalaman gambut dan membuat kanal," ujar Ridho kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Dalam surat yang sama, kementerian menyatakan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) RAPP periode 2010-2019 serta RKUPHHK-HTI tahun 2017 tidak sah. Sejak Mei lalu, pemerintah telah meminta perusahaan merevisi dokumen yang lazim disebut rencana kerja usaha (RKU) itu berbarengan dengan sosialisasi aturan baru tata kelola gambut kepada semua perusahaan hutan tanaman industri.

Bambang Hendroyono menjelaskan, yang harus diperbaiki dari dokumen itu antara lain pengubahan periode jangka waktu izin dari 2009-2019 menjadi 2017-2026, menyusun area penanaman sesuai dengan peta yang ditetapkan kementerian, dan mencantumkan rencana pemulihan ekosistem gambut yang rusak pada area konsesi perusahaan.

Masalahnya, menurut Bambang, sejak sosialisasi dilakukan, RAPP berkali-kali mengajukan RKU yang tak sesuai. Panggilan Kementerian kepada manajemen RAPP pada Agustus dan September tak pernah digubris. "Alasannya, direktur utama mereka sedang sakit dan cuti," ujar Bambang. Walhasil, Senin pekan lalu, Kementerian menerbitkan surat pembatalan atas pengesahan rencana kerja usaha RAPP periode 2009-2019.

Bambang heran dengan sikap RAPP. Padahal, dari 109 perusahaan hutan tanaman industri, 90 perusahaan mau mengikuti aturan baru. "Grup besar lain seperti Sinar Mas saja sudah menyampaikan revisi RKU-nya," ucapnya.

Jauh sebelum surat pembatalan dilayangkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar turun tangan. Dia mengirim surat kepada Direktur Royal Golden Eagle (RGE) Anderson Tanoto dan Presiden RGE Ibrahim Hasan. RGE adalah konglomerasi milik taipan Sukanto Tanoto, ayah Anderson.

Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo itu, Siti meminta kedua petinggi perusahaan induk APRIL Group memahami posisi pemerintah yang ingin mencegah terulangnya kebakaran hutan hebat dua tahun lalu. "Pemerintah ingin melindungi dan menjamin hak asasi masyarakat mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat," Siti menulis dalam surat tertanggal 22 Agustus 2017 itu.

Ketika dimintai konfirmasi pada Rabu pekan lalu, Siti membenarkan isi surat itu. Dia menyampaikan tiga opsi buat perusahaan yang menghadapi kesulitan pemenuhan bahan baku akibat aturan baru. Ketiga opsi itu adalah mediasi konflik pada lahan konsesi perusahaan yang selama ini ditinggalkan, penerapan hutan sosial pada hutan negara di sekitar area konsesi, dan land swap (tukar guling lahan) untuk menggantikan kawasan fungsi lindung gambut yang dilarang ditanami kembali dengan tanaman produksi. "Semangat pemerintah adalah melindungi lahan gambut tanpa mengurangi area pada izin konsesi perusahaan," ujar Siti.

Toh, RAPP baru melakukan penanaman pada 63 persen dari total lahan konsesi mereka. Dari total 338.500 hektare area konsesi yang dikuasai, masih ada sekitar 124.500 hektare yang belum dimanfaatkan. Area konsesi RAPP yang terkena dampak aturan tata kelola gambut diperkirakan mencapai 82 ribu hektare.

Kendati Kementerian Lingkungan Hidup mencabut pengesahan rencana kerja usaha yang lama, aktivitas penebangan tanaman untuk bahan baku tetap diperbolehkan. Siti membantah kabar bahwa pemerintah mencabut izin operasi RAPP- seperti informasi yang disampaikan perusahaan. "Yang tidak diperbolehkan itu hanya penanaman kembali di kubah gambut."

Ini bukan pertama kalinya Kementerian Lingkungan Hidup menjatuhkan sanksi kepada anak usaha APRIL dan mitranya. Lima tahun lalu, Kementerian menjatuhkan sanksi perdata kepada anak usaha APRIL, PT Merbau Pelalawan Lestari, karena menebang pohon di hutan lindung di luar rencana kerja usaha perusahaan. Dalam perkara ini, Kementerian memenangkan gugatan ganti rugi dengan nilai total Rp 16,2 triliun. Perusahaan kini mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Sejak Rudi mengirim surat kepada kontraktor, pemasok, dan mitra, aktivitas di lahan konsesi RAPP di Pelalawan mulai dikurangi. Pada Jumat pekan lalu, tinggal belasan truk yang hilir mudik mengangkut kayu akasia dari lahan ke pabrik RAPP Estate Pelalawan untuk diproses menjadi bubur kertas. Di lahan dan lokasi penanaman akasia yang sempat dipersoalkan Kementerian Lingkungan Hidup, pohon-pohon itu masih tertancap di sana. Puluhan tongkang mini terparkir di kanal-kanal yang mengelilingi lahan.

Area divisi pembibitan di pabrik RAPP pun lengang. Salah satu penanggung jawab divisi, Chosa, mengatakan produksi di pabrik sudah dikurangi 30-40 persen sejak 17 Oktober. Aktivitas yang tersisa adalah mengangkut kayu dari lahan ke pabrik untuk menghabiskan stok. "Sisanya sekitar 300 ribu ton kayu untuk diolah," ujar Chosa kepada Tempo di lokasi tersebut.

Ditemui di Pelalawan pada Jumat malam pekan lalu, Rudi Fajar mengatakan pada dasarnya perusahaan ingin mengikuti aturan. "Kami galau dan dalam tekanan tinggi," katanya. "Tidak ada gunanya kami melawan pemerintah."

Juru bicara APRIL Group, Agung Laksamana, menyayangkan pencabutan rencana kerja usaha RAPP tersebut. "RKU tidak berlaku lagi sehingga operasional RAPP berhenti," ucapnya dalam surat elektronik yang dikirimkan pada Jumat pekan lalu. Itu sebabnya perusahaan secara bertahap menyetop kegiatan pembibitan, penanaman, pemanenan, dan pengangkutan yang tersebar di lima kabupaten di Riau: Pelalawan, Kuantan Singingi, Siak, Kampar, dan Kepulauan Meranti.

Menurut Agung, sebanyak 4.600 karyawan RAPP di sektor kehutanan dan transportasi juga dirumahkan secara bertahap sejak 17 Oktober. Dalam beberapa minggu ke depan, 1.300 karyawan pemotongan kayu berpotensi dirumahkan. Agung mengklaim pasokan bahan baku ke pabrik RAPP berkurang 50 persen sehingga operasional menjadi tidak efisien. "Perusahaan bisa tutup."

Ihwal sederet pelanggaran yang dituduhkan, Agung menyatakan perusahaan tak pernah membuka lahan baru. Lahan yang dimaksudkan merupakan area bekas perambahan perusahaan yang ganti ruginya sudah diselesaikan kepada masyarakat. "Kegiatan kami di lahan gambut telah dilakukan sebelum peraturan menteri keluar," tuturnya.

Agung menampik anggapan bahwa perusahaan enggan melakukan revisi rencana kerja usaha. Perusahaan sedang memproses penyusunan dokumen yang diminta. Namun perusahaan ingin Kementerian Lingkungan Hidup mendahulukan penyelesaian land swap yang layak di sekitar lokasi industri.

Penolakan terhadap kebijakan tata kelola gambut juga datang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau. Anggota DPRD Riau dari Fraksi NasDem, Ilyas H.U., mengatakan penerapan aturan itu dikhawatirkan berdampak pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran di Riau. "Karena separuh kegiatan RAPP bakal terhenti," ujar Ilyas. Asisten II Bidang Ekonomi Pemerintah Riau Masperi menyatakan sikap pemerintah daerah sejalan dengan dewan.

Perlawanan lebih keras dilakukan Federasi Serikat Pekerja Pulp Paper Riau. Rabu pekan lalu, mereka berdemonstrasi di gedung DPRD Riau. Ketua Serikat, Hamdani, mengatakan aksi serupa akan dilakukan Senin pekan ini dengan massa sebanyak 10 ribu buruh. Serikat pekerja, menurut Hamdani, masih menunggu hasil putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan Peraturan Menteri Nomor 17 yang dilayangkan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Riau.

Mahkamah Agung rupanya mengabulkan gugatan tersebut. Jumat pekan lalu, melalui situsnya, MA mengumumkan telah menggugurkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut.

Siti Nurbaya menyatakan, kendati Peraturan Menteri Nomor 17 dibatalkan, pengusaha tetap harus tunduk pada aturan tata kelola gambut secara umum yang diatur dalam PP Nomor 57 Tahun 2016. "Sesuai dengan perintah peraturan pemerintah, perusahaan tetap melakukan penyesuaian tata ruang lahan gambut."

Praga Utama, Putri Adityowati, Khairul Anam, Yohannes Paskalis (pelalawan), Riyan Novitra (pekanbaru)


Kalut karena Gambut
SEJUMLAH perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri mulai menyesuaikan rencana kerja usahanya dengan program restorasi gambut. Mereka tidak lagi menanam akasia-bahan baku pulp dan kertas-di kawasan lindung gambut serta tidak membuat kanal sembarangan. Tak semuanya tunduk. Anak usaha Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL)-bagian dari Royal Golden Eagle Group milik Sukanto Tanoto-tidak mengikuti panduan restorasi gambut pemerintah.

Profil Industri Pulp dan Kertas (2016)
Ekspor-devisaUS$ 5 miliar
Pajak dan PNBPRp 42,5 triliun
Lapangan kerja1,49 juta orang
*Indonesia produsen kertas nomor 6 dunia dan nomor 9 untuk pulp

Pemain Besar HTI (Pulp dan Paper)*

Asia Pulp and Paper (Sinar Mas Group)
37 perusahaan hutan tanaman industri (17 terkena dampak restorasi )

APRIL (Royal Golden Eagle Group, dulu Rajawali Garuda Mas)
33 perusahaan hutan tanaman industri (13 terkena dampak restorasi)
*keduanya menguasai 80 persen pasar pulp dan kertas nasional

Gurita Bisnis RAPP
Luas area: 338.500 hektare (111 ribu hektare atau 33 persen masuk fungsi lindung ekosistem gambut dan 95 ribu hektare atau 28 persen masuk fungsi budi daya ekosistem gambut)
Luas tanaman: 214 ribu hektare
FLEG: 82 ribu hektare
FBEG: 45 ribu hektare
Tanah mineral: 87 ribu hektare

Mitra Kerja
Total: 47 perusahaan (28 di lahan gambut)
Luas area kebun: 1,634 juta hektare (905 ribu hektare di lahan gambut)
Penyuplai tetap ke RAPP: 42 perusahaan

1. Sejak 2010 hingga 2014, sekitar 9,3 juta hektare hutan menjadi hutan tanaman industri, 6,2 juta hektare di antaranya merupakan kawasan gambut.
2. Pembukaan lahan gambut membuat lahan kering. Kekeringan lahan memicu kebakaran. Kebakaran 2015 terjadi di tanah mineral seluas 1,7 juta hektare dan lahan gambut seluas 869 ribu hektare. Sekitar 230 ribu hektare lokasi kebakaran terjadi di area konsesi perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI).
3. Lahan HTI gambut yang harus direstorasi agar kebakaran tidak berulang mencapai 780 ribu hektare.

Ekosistem Gambut Nasional (ribu ha)
Fungsi lindung12.398,48
Fungsi budi daya12.269,32
Total24.667,80

Prioritas Restorasi di Tujuh Provinsi (ribu ha)
Pasca-kebakaran 2015: 875,7
Kubah gambut berkanal: 2.791
Kubah gambut tidak berkanal: 6.174,4
Gambut dangkal berkanal: 3.091,2

Peta Indikatif Target Restorasi
Kawasan lindung684.630 ha
Kawasan budi daya berizin1,41 juta ha
Kawasan budi daya tak berizin396.940 ha
Total2,492 juta ha

Perusahaan HTI Mengajukan Land Swap (Per 21 April 2017)
Jumlah perusahaan: 31 IUPHHK-HT
Lokasi: Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat
Konsesi: 1.920.960 ha
Gambut di lahan konsesi: 869.730 ha (45,28%)
Usul land swap: 497.710 ha

Terus Melanggar

September 2016
PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Estate Pulau Padang membuka lahan baru di area gambut di konsesi Pulau Padang. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikannya.

9 Maret 2017
Kementerian Lingkungan Hidup memaksa RAPP mencabut bibit akasia yang baru ditanam di Estate Pelalawan, Riau. Sekitar 33 persen area Estate Pelalawan merupakan ekosistem gambut dengan fungsi lindung. RAPP harus membersihkan biomassa bekas tanaman dan menutup kanal yang baru dibuat.

6 Juni 2017
Kementerian Lingkungan Hidup meminta RAPP mengalokasikan kawasan fungsi lindung ekosistem gambut (FLEG) dan fungsi budi daya ekosistem gambut (FBEG).

12 Juli 2017
RAPP mengikuti peta fungsi ekosistem gambut (FEG), tapi masih mengalokasikan FLEG untuk ditanami.

26 Juli 2017
Kementerian Lingkungan Hidup meminta RAPP menyesuaikan periode rencana kerja usaha (RKU) perusahaan menjadi 2017-2026 dan memasukkan area FLEG sebagai kawasan lindung. Tanaman yang sudah ada di FLEG bisa dipanen satu kali, setelah itu lahannya direstorasi.

9 Agustus 2017
Meski mengalokasikan FLEG sebagai kawasan lindung gambut, RAPP masih menanam pohon di sana. Periode RKU belum diubah, masih 2010-2019.

21 Agustus 2017
Kementerian Lingkungan Hidup kembali meminta RAPP menyesuaikan periode RKU dan tidak menanam akasia setelah panen di area lindung.

28 September 2017
Kementerian Lingkungan Hidup melayangkan peringatan pertama kepada RAPP untuk segera mengubah RKU.

2 Oktober 2017
RAPP tidak mau mengubah periode RKU dan tetap menanam di area lindung gambut.

6 Oktober 2017
Kementerian Lingkungan Hidup melayangkan peringatan kedua.

16 Oktober 2017
Kementerian Lingkungan Hidup mencabut pengesahan RKU RAPP 2010-2019. Perusahaan dilarang menanam ulang, membuat kanal, dan/atau membuka lahan baru di atas kawasan gambut dalam area konsesi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus