Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REVISI Rencana Kerja Usaha perusahaan hutan tanaman industri akhirnya berdatangan ke meja Bambang Hendroyono. Di bawah koordinasi Bambang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memeriksa tumpukan dokumen tersebut sejak Mei lalu. Sebagai sekretaris jenderal kementerian, Bambang pula yang memimpin sosialisasi sebelum perusahaan mengajukan revisi.
Belasan perusahaan yang berada di bawah Grup Sinar Mas dan Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) ikut menyodorkan revisi rencana kerja. Sinar Mas merupakan induk Asia Pulp and Paper. Adapun APRIL menaungi Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). "Revisi tersebut sifatnya bolak-balik," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera Parthama, Rabu pekan lalu. "Pengembaliannya paling lambat sepuluh hari."
Sejumlah perusahaan kayu mengajukan revisi rencana kerja setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan empat peraturan tentang perlindungan dan pemulihan lahan gambut. Keempatnya merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016, yang mewajibkan setiap pemegang izin hutan tanaman industri (HTI) merevisi rencana kerja yang memperhitungkan perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut. Revisi itu harus sesuai dengan peta fungsi ekosistem gambut. Di peta itu, area gambut terbagi menjadi dua, yakni fungsi lindung dan budi daya.
Hingga pekan lalu, baru 12 rencana kerja usaha (RKU) perusahaan yang mendapat stempel pemerintah. "Tiga RKU sudah lama disetujui karena langsung menurut," kata Putera. Sembilan di antaranya memperoleh persetujuan pada pekan lalu. Sisanya ditolak, bahkan ada yang status rencana kerjanya dibatalkan.
Pengamat industri pulp dan kertas, Rusli Tan, mengatakan pengusaha enggan kehilangan potensi investasi di lahan gambut yang telah ditanami puluhan tahun. Apalagi pengusaha tak diizinkan menanam kembali pohon penghasil bubur kayu dan kertas jenis akasia setelah masa tanam lima tahun. "Saat harga hasil produksi mulai naik tahun ini, aturan itu jelas ancaman bagi bisnis HTI dan ekspor kita," ucap Rusli.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan setiap lahan gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai masuk kategori kawasan lindung. Penetapan area lindung minimal 30 persen dari total luas kesatuan hidrologi gambut, termasuk kubah gambut. Dari total kawasan hidrologi gambut di seluruh Indonesia yang luasnya 24,3 juta hektare, sekitar 12,1 juta hektare masuk area lindung. Sisanya area budi daya.
Merujuk pada aturan baru, tanaman pokok di area lindung hanya boleh dipanen satu kali dalam satu siklus. Setelah itu, pemulihan tanah wajib dilakukan dengan cara perubahan vegetasi nonkayu, tata kelola air, hingga pengembangan teknologi.
Rusli menilai aturan rotasi tanaman akan mematikan industri bubur kayu dan kertas. Sebab, satu-satunya tanaman industri yang bernilai tinggi dan mudah ditanam di lahan gambut adalah akasia. Pohon ini akan cepat mati bila menancap di tanah mineral. Setelah kelapa sawit, komoditas hasil hutan inilah yang dianggap paling laris di pasar internasional. "Kita mau andalkan ekspor apa lagi?" kata mantan pejabat Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia itu.
Menurut Ketua Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, perusahaan ogah-ogahan mengajukan revisi rencana kerja usaha karena mahalnya ongkos restorasi gambut. Berdasarkan hasil hitungan Badan Restorasi, perusahaan HTI perlu merogoh kocek Rp 25 juta per hektare pada tahun pertama pemulihan. Biaya akan menurun pada restorasi tahun kedua dan seterusnya.
Di depan Nazir, para pengusaha HTI menyatakan harus mempertimbangkan matang-matang penyusunan rencana kerja baru karena mereka menunggu kepastian jaminan lahan pengganti (land swap) yang ditawarkan pemerintah.
Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 40 Tahun 2017 menyebutkan pemerintah siap menukar area tanam yang dialihkan menjadi kawasan lindung dengan hutan produksi bertanah mineral. "Kalau ada, mereka takut tanahnya belum bebas konflik," ucap Nazir.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memperkirakan terdapat 989.900 hektare milik 45 perusahaan hutan tanaman industri yang bisa ditukar. Pemerintah menyiapkan lahan pengganti seluas 1,51 juta hektare. Wilayahnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. "Yang jelas, penggantian ini tidak mengurangi area izin yang sebelumnya," kata Siti saat ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu.
Siti juga menyediakan alternatif lain untuk mengimplementasikan perhutanan sosial. Dia mengizinkan perusahaan swasta menggunakan hutan produksi milik masyarakat sekitar untuk dimanfaatkan bersama. Perusahaan bertindak sebagai pembeli siaga hasil produksi rakyat.
Nazir sepakat dengan konsep ini. Itulah sebabnya ia membujuk Grup Sinar Mas dan April segera tunduk menyodorkan revisi rencana kerja usaha.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan Sinar Mas telah mengantongi enam surat keputusan pengesahan rencana kerja usaha yang telah sesuai dengan aturan. "Awalnya belum sesuai, tapi setelah revisi kedua patuh juga," ujar Bambang.
Mengenai pengesahan rencana kerja, Managing Director Sinar Mas Group Gandhi G. Sulistyo tidak mau banyak cakap. Direktur Sinar Mas Forestry Suwarso setali tiga uang.
Berbeda dengan Sinar Mas, revisi rencana kerja yang disodorkan RAPP selalu mentok di tangan pemerintah. Corporate Affairs RAPP Agung Laksamana mengatakan timnya telah mengajukan lima revisi rencana kerja. Semuanya ditolak pemerintah.
Alasannya, menurut Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridho Sani, perusahaan masih menanam akasia di lahan gambut bekas panen. Sebaliknya, RAPP beralasan penanaman dilakukan sebelum peraturan baru terbit. "Berbagai kebijakan baru di lahan gambut menyulitkan kegiatan operasional kami di lapangan," kata Agung.
Belakangan, Kementerian Lingkungan Hidup mencabut pengesahan rencana kerja RAPP periode 2010-2019. Perusahaan dilarang menanam ulang, membuat kanal, atau membuka lahan baru di kawasan gambut. RAPP akan menyetop kegiatan operasional pasca-pembatalan rencana kerja 2010-2019.
Di depan Kementerian Perindustrian Rabu pekan lalu, RAPP melaporkan rencana pemutusan hubungan kerja terhadap 4.600 orang pekerja hutan dan 10.200 pekerja karyawan mitra. Perusahaan menyebutkan pencabutan rencana kerja berdampak pada penghentian operasi di sektor hulu dan hilir. Pasokan bahan baku akan berkurang 50 persen. Padahal, menurut Agung, RAPP telah mencurahkan investasi hingga Rp 85 triliun.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian PerindustrianEdySutopo mengatakan penghentian operasi RAPP akan menurunkan volume produksi kayu dan bubur kertas dua bulan mendatang. "Seharusnya, saat harga naik, volume juga naik sehingga ekspor bagus."
Meski tidak berdampak langsung terhadap hasil produksi, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono ikut gerah dengan aturan tersebut. Menurut Joko, pemerintah seharusnya bisa menempuh jalan lain untuk mencegah kebakaran di lahan gambut tanpa menggerus investasi pengusaha.
Gapki mencatat, lebih Rp 42 triliun penerimaan pajak dihasilkan tanaman industri, sementara pajak dari sawit Rp 79,5 triliun. "Potensi hilang bukan hanya dari penerimaan, tapi juga serapan tenaga kerja."
Pemerintah menyebutkan perdebatan mengenai penataan muka air tanah pada lahan gambut yang ditanami kelapa sawit telah berakhir. Perusahaan sepakat dengan metode pengukuran tinggi muka air tanah yang ditetapkan pemerintah. "Sekarang mereka paham aturan ini tidak menyusahkan perkebunan," kata Bambang Hendroyono.
Putri Adityowati, Praga Utama, Khairul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo