Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RODA baja mesin bermerek Voith buatan Jerman itu bergerak memutar tambor yang menghasilkan kertas gulungan berdiameter dua meter. Deru mesin penghasil kertas HVS itu terdengar memekakkan telinga. Asap putih mengepul tipis dari cerobong, terbang ke langit, ketika Tempo berkunjung ke pabrik Kertas Leces di Probolinggo, Jawa Timur, Selasa pekan lalu. Kehidupan kembali menggeliat di pabrik seluas 64 hektare itu, setelah dua tahun berhenti beroperasi.
Pekan lalu pula tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) datang ke pabrik tersebut. Akuntan negara ini akan mengaudit utang perusahaan kertas tertua itu. Audit dilakukan atas permintaan direksi. "Kami sedang melakukan proses clean and clear atas utang yang ada," kata Direktur Utama PT Kertas Leces (Persero) Budi Kusmarwoto kepada Tempo.
BPKP akan memelototi satu per satu utang perusahaan, termasuk proses mendapatkannya dan penggunaannya. Rencananya, kaji ulang aspek finansial itu akan dilakukan bersamaan dengan tinjauan dari aspek hukum. Direksi akan meminta Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara untuk melakukannya.
Audit diperlukan sebagai payung hukum untuk menjawab penawaran Kalimantan Asset Management Ltd alias KAM. Perusahaan yang berbasis di British Virgin Island ini merupakan pemegang hak tagih (cessie) atas utang Kertas Leces. KAM membeli hak tagih tersebut dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2004. Kini Kalimantan Asset menawarkan kepada Kertas Leces untuk membeli kembali cessie tersebut. Harganya? Rp 150 miliar. Nah, sebelum memutuskan membeli kembali atau tidak cessie tersebut, direksi Leces meminta pendapat BPKP dan Kejaksaan Agung.
Tak jelas benar siapa di balik Kalimantan Asset. Sumber Tempo menuturkan, Kalimantan Asset diduga kuat terafiliasi dengan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), anak perusahaan Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto.
Kalimantan Asset diduga sekadar perusahaan investasi yang didirikan sebagai kendaraan untuk membeli cessie Kertas Leces. Penyebabnya, sumber Tempo menjelaskan, pemerintah melarang penjualan aset BPPN kepada perusahaan yang bergerak di sektor yang sama.
Menurut aturan, penjualan aset di BPPN harus kepada perusahaan keuangan untuk memperbaiki kinerja keuangan perusahaan. Dengan memegang cessie itu, Kalimantan Asset menguasai hampir seluruh aset Kertas Leces, dari tanah, pabrik, hingga mesin.
Kendati samar, kaitan antara Kalimantan Asset dan RAPP sedikit terkuak. Salah satunya dalam perjanjian kerja sama operasi (KSO) yang dilakukan sejak pertengahan 2004. Kalimantan Asset menunjuk RAPP sebagai mitra strategis Kertas Leces. Dalam kerja sama itu, RAPP memasok pulp sebagai bahan baku pembuatan kertas. Selanjutnya, Leces diwajibkan menjual seluruh produk kertasnya ke RAPP. Sebagai imbalan, Leces mendapatkan ongkos kerja.
Manajemen Leces tidak menampik adanya hubungan antara Kalimantan Asset dan RAPP. Dalam beberapa kali kesempatan, kata Budi, rapat antara manajemen Kertas Leces dan KAM dilakukan di Jalan Teluk Betung 36, Jakarta Pusat. Alamat ini bertetangga dengan kantor RAPP di Jalan Teluk Betung 31-32, dan semua merupakan milik Grup RGM.
Tapi Head of Corporate Communication APRIL Indonesia Trisia Megawati Kusuma Dewi membantah hubungan itu. "Kami informasikan PT RAPP tidak ada kaitannya dengan KAM dan Leces," katanya kepada Tempo. APRIL (Asia-Pacific Resources International Holdings Limited) adalah perusahaan dari Grup RGM.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Kertas Leces pada 2004 dan 2005 menunjukkan adanya utang jangka panjang per Desember 2004 sebesar Rp 876,7 miliar. Kewajiban itu meliputi term loan, obligasi, dan utang eks wesel bayar kepada BPPN, serta utang sewa usaha. Wesel bayar merupakan janji tertulis tanpa syarat untuk membayar uang kepada pemberi pinjaman, pada waktu yang telah ditetapkan.
Utang kepada BPPN terjadi dalam rangka rekapitalisasi perbankan pada 2001. Sebenarnya Leces meneken perjanjian kredit dengan tiga bank. Bank BNI memberi pinjaman Rp 174 miliar, Bank Mandiri (eks Bank Dagang Negara dan Bank Bumi Daya) Rp 320 miliar, dan Bank Danamon Indonesia Rp 126 miliar.
Ada pula utang kepada Bank BTN dalam bentuk surat berharga komersial alias commercial paper US$ 15 juta. BTN adalah pemegang terakhir surat utang yang diterbitkan Kertas Leces pada 1995 itu.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1998, pemerintah membentuk BPPN untuk menyehatkan perbankan. Nah, saat itulah utang Kertas Leces kepada bank-bank tersebut diambil alih oleh BPPN. "Dokter bank" ini merestrukturisasi utang Leces menjadi tiga bagian. Pertama, berupa term loan Rp 77 miliar dengan tenor 10 tahun. Kedua, obligasi Rp 628 miliar berjangka waktu 10 tahun. Dan ketiga, berupa commercial paper senilai US$ 15 juta. Perjanjian restrukturisasi utang diteken BPPN dan Kertas Leces pada Juni 2003.
Sebelum tutup pada 2004, BPPN mengalihkan hak tagihnya ke Kalimantan Asset. Perjanjian jual-beli hak tagih (cessie) diteken pada 25 Februari 2004. Tapi penjualan itu bersyarat. Pemerintah, melalui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), mewajibkan penjualan aset kredit harus sesuai dengan kebijakan strategis/komersial yang ditetapkan.
Tujuan kebijakan itu adalah menjaga kelangsungan usaha, membuat usaha lebih efisien, meningkatkan produktivitas usaha, dan memperkuat arus kas. Pembeli juga dilarang bertindak hostile, yakni mengambil alih secara paksa.
Manajemen Leces, saat itu, mendukung jual-beli piutang tersebut. Harapannya, akan ada penyelesaian utang yang mengacu pada ketentuan KKSK. Alih-alih melakukan penjadwalan ulang utang, Kalimantan Asset malah tak mengakui perjanjian restrukturisasi utang yang telah dibuat BPPN dan Kertas Leces.
Kalimantan Asset justru melayangkan pemberitahuan bahwa hak tagih telah dialihkan lagi ke Eldorado Limited Singapore, yang berlaku efektif per 1 Desember 2005. Sumber Tempo yakin, Kalimantan Asset dan Eldorado masih terkait.
MENTERI BUMN Dahlan Iskan tampak tidak gembira dengan penawaran Kalimantan Asset untuk membeli kembali cessie Kertas Leces. Kendati tertarik, ia memilih tak melakukan apa-apa. "Enggak punya uang," katanya kepada Tempo. Seandainya pun pemerintah memilikinya, dana itu akan digunakan untuk menghidupkan pabrik. "Enggak mungkin mencari pinjaman untuk membayar cessie."
Pemerintah, menurut Dahlan, berusaha menghidupkan kembali pabrik Leces dengan cara lain. Salah satunya mencari direktur yang mampu mengelola. Pada Mei 2012, Dahlan merombak manajemen. Ia mengangkat direktur utama baru, Budi Kusmarwoto, bekas Direktur PT PLN Engineering-anak perusahaan PLN-menggantikan Martoyo Sugandi. Diharapkan pemimpin baru punya jurus jitu untuk menyalakan kembali mesin yang dua tahun menganggur itu.
Pemerintah, melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), bulan lalu telah memberikan pinjaman Rp 50 miliar. Dana itu dikucurkan khusus untuk mengoperasikan kembali pabrik. Kini, Budi menambahkan, pabrik telah beroperasi sesuai dengan kapasitas. Hasilnya: kertas medium liner, HVS, dan tisu sebanyak 550 ton per hari.
Kepentingan pemerintah dalam menghidupkan Leces adalah menyelamatkan karyawan. Penutupan pabrik justru menimbulkan persoalan baru, yakni pengangguran. "Jadi bener-bener hanya demi karyawan, yang harus dipikirkan hidupnya. Bahasa kasarnya, seandainya tidak ada karyawan, sudah, lupakan."
Sumber Tempo meminta pemerintah berhati-hati atas tawaran manis dari KAM. Kelihatannya Leces diuntungkan dengan membeli cessie atas utang bernilai Rp 800 miliar lebih itu, pada harga Rp 150 miliar saja. Soalnya, saat mengambil alih dari BPPN, Kalimantan Asset cuma merogoh kocek Rp 88 miliar. Artinya, perusahaan itu membeli di harga 10 sen. "Berarti dia mendapat diskon 90 persen."
Langkah direksi Leces meminta opini dari BPKP dan Kejaksaan, menurut sumber Tempo, sudah tepat. Dari audit itu nanti akan diketahui status utang perusahaan, clean and clear atau tidak, serta solusi perlu-tidaknya cessie diambil alih. "Jangan-jangan ada utang yang tidak masuk kas. Atau malah bisa jadi perusahaan tidak berutang. Ini akan menjadi masalah hukum bila direksi membayar cessie begitu saja."
Salah satu utang Kertas Leces yang berpotensi pidana, sumber Tempo menambahkan, adalah commercial paper. Dari surat utang yang diterbitkan sebesar US$ 20 juta, duit yang masuk ke kas cuma US$ 5 juta. Sisanya tak jelas ke mana.
Sumber lain mengatakan US$ 13,5 juta dana itu diputar melalui Asia Kapitalindo Securities, arranger penerbitan surat utang. Celakanya, Asia Kapitalindo Securities menggunakan dana itu untuk membeli commercial paper yang ia terbitkan sendiri, serta commercial paper PT Pacific International Finance dan PT Polysindo Eka Perkasa.
Ruwetnya rantai utang Leces menjadi salah satu alasan Dahlan menolak membeli cessie. "Enggak jelas, itu dulu jual-beli CP-nya sah atau tidak. Bener atau enggak, palsu atau tidak," ujarnya. Dahlan juga curiga terhadap perusahaan pemegang cessie, Kalimantan Asset, yang punya hak untuk menyita Leces tapi tidak dilakukan. Dan, belakangan, malah menawarkan pembelian kembali surat utang itu.
Aria Bima, Wakil Ketua Komisi BUMN dari Fraksi PDIP, berpendapat bahwa aset Leces harus diselamatkan. Dia mendukung langkah manajemen meminta pendapat dari BPKP dan Kejaksaan Agung.
Adapun Sekretaris Menteri BUMN periode 2005-2009, Said Didu, yang sempat mengikuti rantai utang Leces, menyarankan pengambilalihan aset ketika pabrik sedang megap-megap seperti sekarang. Sebab, harganya bisa ditekan seminim mungkin.
Toh, Dahlan berkukuh. "Enggak punya uang. Orang yang menawarkan, jangan berharap," katanya tegas.
Retno Sulistyowati, Jobpie Sugiharto, Ananda Putri, David Priyasidharta (Probolinggo)
Terseok Menghadapi Persaingan
KERTAS Leces tercatat sebagai perusahaan yang pernah dikuasai lewat perjuangan bersenjata. Pejuang kemerdekaan merebutnya dari Jepang pada 1945. Awalnya Leces cuma cabang dari Papierfabriek Padalarang, Jawa Barat, yang dikuasai Belanda. Pada 1980-an, Leces tumbuh menjadi pabrik kertas terbesar kedua Indonesia, setelah Padalarang. Meski pemain lama, perusahaan pelat merah ini selanjutnya tak bisa lincah menghadapi persaingan yang semakin ketat. Pabrik kertas yang berbasis di Probolinggo, Jawa Timur, itu megap-megap. Sempat mati suri selama dua tahun, akhirnya beroperasi kembali pada Juni 2012.
1939
Pabrik Kertas Leces dibangun.
22 Februari 1940
Mulai beroperasi.
1942-1945
Jepang merebut dari Belanda.
1945-1949
Pejuang kemerdekaan merebut dari tangan Jepang.
1949-1958
Kembali dikuasai Belanda.
1958
Pemerintah Indonesia menasionalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1958. Tentara aktif, Mayor Abdul Sukur, ditunjuk sebagai direktur utama.
1960-1986
Leces mengembangkan pabrik pulp dan kertas terpadu, dalam empat tahap pembangunan. Kapasitas produksi meningkat dari 9.000 ton per tahun menjadi 198 ribu ton pada 1985. Area pabrik diperluas dari 19,18 hektare menjadi 77,8 hektare.
Awal 2007
Menerima penyertaan modal negara (PMN) Rp 275 miliar, untuk restrukturisasi modal kerja Rp 75 miliar, perampingan karyawan Rp 25 miliar, dan pembangunan boiler batu bara Rp 175 miliar.
Februari 2007
Memberhentikan 155 karyawan kontrak dan borongan (tahap I).
1 Maret 2007
Merumahkan 20 karyawan tetap (tahap II).
31 Mei 2007
Membentuk tim satuan tugas pemasaran di bawah pengawasan Deputi Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan, dipimpin Dewan Komisaris Leces. Tujuannya meningkatkan penjualan, menguatkan arus kas, menangani pengadaan bahan baku, meningkatkan produksi menjadi 14 ribu ton kertas per bulan, dan menekan kerugian sampai posisi no cash drain.
Juni 2007
Merumahkan 250 karyawan (tahap III).
23 Mei 2010
Berhenti berproduksi. PGN menghentikan pasokan gas karena Leces gagal membayar utang Rp 41 miliar. Harga gas melambung, sebaliknya permintaan kertas menurun tajam. Perusahaan merugi Rp 78 miliar.
2 Maret 2011
Mengusulkan PMN Rp 440 miliar untuk merestrukturisasi perusahaan.
16 Oktober 2012
Beroperasi 100 persen.
4 Juni 2012
Berproduksi kembali. Tiga dari lima mesin beroperasi. Targetnya, 5.000 ton kertas per bulan.
24 Mei 2012
Menteri BUMN Dahlan Iskan merombak manajemen. Ia mengangkat direktur utama baru, Budi Kusmarwoto, bekas direktur anak perusahaan PLN, yakni PT PLN Engineering, menggantikan Martoyo Sugandi.
Oktober 2011
Komisi BUMN DPR memutuskan untuk memberikan PMN Rp 200 miliar kepada Kertas Leces. Syaratnya, Leces harus melaporkan perkembangan pengelolaan perusahaan.
September 2011
Menjual aset di Cibitung, Jawa Barat.
Juni-September 2011
Gaji 1.850 karyawan belum terbayar. Tunjangan pendidikan 2011 terbayar 25 persen. Gaji karyawan November 2011 dibayar 50 persen. Gaji Maret 2012 kurang 15 persen. Total, hak normatif karyawan yang belum terbayar Rp 4,5 miliar.
Kinerja keuangan
Produksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo