Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH tayangan video berdurasi pendek menyedot perhatian puluhan orang yang hadir di Ruang Cempaka, Balai Kartini, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Franky Sibarani, Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, berdiri di depan layar sambil menerangkan tiap kejadian dalam tayangan itu.
"Ini demo buruh pabrik United Tractors di Bekasi yang berlangsung 29 jam," kata Franky. Acara nonton bareng video demonstrasi buruh baru-baru ini tersebut dihadiri para anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan dipimpin langsung tuan rumah, Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto. Selama sekitar tiga jam, rekaman demonstrasi digeber untuk menunjukkan betapa besar ancaman bagi pengusaha.
Pertemuan yang juga dihadiri beberapa asosiasi pengusaha dari daerah ini bertujuan membicarakan sikap pemerintah yang membiarkan aksi anarkistis buruh, menghapus tenaga kerja outsourcing alias alih daya, dan menaikkan upah buruh. "Citra negeri ini tercoreng. Investor tidak akan tertarik dengan situasi ini," ujar Franky sengit.
November merupakan tenggat bagi pemerintah daerah untuk menetapkan upah minimum baru, yang akan berlaku per 1 Januari 2013. Nah, momentum ini dimanfaatkan oleh kalangan serikat pekerja untuk menuntut kenaikan upah lebih melalui serangkaian unjuk rasa sejak akhir September lalu. Wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang menjadi episentrum terbesar aksi buruh karena memang sebagian besar kawasan industri berada di situ.
Tuntutan kenaikan upah dan penghapusan tenaga outsourcing dibarengi dengan mogok kerja hingga sweeping buruh lain yang memilih tetap bekerja. Gelombang unjuk rasa buruh pun terjadi, misalnya di pabrik sepatu PT Panaro di Tangerang, Banten; pabrik PT United Tractors Tbk di Bekasi; dan PTJST di Cibitung, Jawa Barat. Franky pun menggarisbawahi, unjuk rasa diwarnai penyanderaan serta intimidasi kepada pengusaha dan pekerja lain.
Kendati pengusaha keberatan, pemerintah condong menuruti tuntutan buruh. Penghapusan tenaga alih daya disetujui oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar lewat peraturan menteri. Sistem alih daya kemudian diganti dengan borongan, kecuali untuk pekerjaan jasa kebersihan, transportasi, katering, keamanan, serta jasa pertambangan minyak dan gas.
Tekanan terhadap pengusaha bertambah dengan keputusan sebagian besar kepala daerah menyetujui kenaikan upah yang tajam. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo meloloskan tuntutan upah buruh menjadi Rp 2,2 juta per bulan atawa naik 43 persen dari sebelumnya Rp 1,529 juta pada 2012. Kenaikan lantas diikuti Tangerang, Bekasi, dan Bogor dengan besaran lebih kecil tapi tidak jauh berbeda.
Upah baru itu akan berlaku awal tahun depan, bersamaan dengan pemberlakuan aturan baru mengenai pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp 2,025 juta. Artinya, yang dipajaki pendapatan di atas itu. Sebelum penetapan upah buruh yang baru, kenaikan PTKP diprediksi membebaskan buruh dari kewajiban pajak. Lantaran patokan PTKP dinaikkan dari Rp 1,3 juta menjadi Rp 2,025 juta, pemerintah diprediksi akan kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp 13,3 triliun.
Namun pemerintah tak jadi kehilangan PTKP karena upah baru buruh di Jabodetabek di atas Rp 2,025 juta. Artinya, masih ada pendapatan yang bisa diambil dari selisih itu. "Kami juga menghitung itu, tapi pemerintah lebih diuntungkan dari pencitraan politik," ujar Franky.
Tekanan berat itu membuat Suryo mengumpulkan para anggotanya berikut asosiasi untuk bersatu mengutuk kebijakan pemerintah yang dinilai hanya untuk pencitraan politik. Persoalan besar bakal menimpa pengusaha di sektor padat karya, seperti produsen sepatu, garmen, dan tekstil. Margin pada sektor itu hanya 5 persen sehingga bisa dibayangkan kalau pengusaha harus menaikkan upah sampai 43 persen. "Kami keberatan. Kenaikan upah yang masuk akal 10-15 persen," tutur Suryo.
Haryadi B. Sukamdani, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik, menuding pembiaran demonstrasi anarkistis buruh diikuti kenaikan upah yang selangit sebagai panggung politik pejabat dari partai politik. "Ini semua demi Pemilu 2014," katanya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rupanya memperhatikan kegalauan pengusaha. Masalah perburuhan menjadi salah satu bahasan utama dalam sidang kabinet pada Selasa pekan lalu. Namun Presiden Yudhoyono menyampaikan arahan normatif yang jauh dari harapan pengusaha. "Solusi harus baik bagi negara dan masyarakat umum," katanya.
Muhaimin juga tak terpengaruh oleh tuduhan menunggangi kisruh pengusaha-buruh demi menangguk dukungan dalam pemilihan umum. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu mengimbau buruh tak lagi mogok kerja, apalagi melakukan sweeping.
Dia menilai kenaikan upah di atas 40 persen mesti dijadikan momentum untuk meningkatkan kinerja buruh. "Seharusnya serikat pekerja dan buruh sangat bersyukur." Ia pun berharap protes kalangan pengusaha disampaikan lewat jalur negosiasi, yakni dengan mekanisme pembicaraan bipartit antara pengusaha dan buruh.
Upaya meredam kemarahan pengusaha juga dilancarkan Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian. Hatta, yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional, menjanjikan insentif fiskal untuk mengurangi beban pengusaha akibat ekonomi biaya tinggi. Tapi dia tak memerinci bentuk insentif yang ia maksud. "Kalau memang diperlukan, akan diberikan insentif noncash," tuturnya.
Solusi remang-remang Presiden Yudhoyono sampai iming-iming insentif dari Hatta ternyata tak membuat pengusaha melunak. "Insentif apa lagi? Yang dulu juga tidak berjalan," ucap Hariyadi. Maka pengusaha memilih mengupayakan penangguhan pemberlakuan kenaikan upah dengan menggugat lewat Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung. Jika semua upaya tadi mentok, mereka akan menutup pabrik atau memindahkan ke daerah lain yang terjangkau ongkos buruhnya. "Ini pembangkangan sipil," kata Hariyadi.
Meski begitu, Hariyadi mengakui belum ada pengusaha yang memastikan bakal menutup usaha di Indonesia. Pilihan menutup pabrik merupakan pilihan terakhir kalau semua upaya untuk membatalkan upah baru ditolak. Kalau upah tak bisa diturunkan, para pengusaha mempertimbangkan beralih ke bisnis trading. Dalam kondisi seperti sekarang, ia menjelaskan, pengusaha memilih memindahkan usaha ke wilayah yang "ramah investasi".
Franky menilai kisruh ini dampak klasik akibat pemerintah yang hanya berwacana dalam menekan ekonomi berbiaya tinggi. Pungutan liar dan berbagai beban lain memang cenderung naik setiap tahun, tapi porsinya tetap di angka 10-15 persen dari total ongkos. "Nilainya hampir setara dengan ongkos untuk upah buruh."
Sedangkan Wakil Ketua Umum Bidang Investasi dan Transportasi Kadin Indonesia Peter F. Gontha menyajikan data lain: biaya logistik dan infrastruktur dua kali lebih besar ketimbang di negara lain. Beban inilah yang akhirnya menghambat distribusi barang dan menurunkan daya saing pengusaha nasional.
Akbar Tri Kurniawan, Aryani Kristanti, Sundari, Pingit Aria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo