Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Angka inflasi tahunan di Amerika Serikat melandai.
The Fed tak menurunkan suku bunga meski inflasi melandai.
Lesunya nilai tukar rupiah bakal membawa risiko besar pada kebijakan fiskal.
DUA sentimen yang bertolak belakang datang hampir bersamaan, Rabu, 12 Juni 2024. Yang positif datang lebih dulu. Angka inflasi tahunan di Amerika Serikat melandai. Per akhir Mei 2024, angkanya 3,4 persen, lebih rendah ketimbang 3,6 persen per akhir April. Ini angka inflasi inti yang tidak memasukkan harga pangan dan energi yang mudah bergejolak. Bank sentral Amerika, The Federal Reserve atau The Fed, menggunakan indikator ini sebagai rujukan dalam membuat keputusan tentang arah suku bunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melandainya inflasi inti di Amerika Serikat membuat pasar finansial sedunia sempat tersengat optimisme bahwa The Fed segera menurunkan bunga. Jika itu terwujud, ekonomi Amerika bisa tumbuh lebih cepat. Ekonomi banyak negara di dunia juga ikut menikmati efek positifnya. Sentimen positif ini membuat pasar bergembira. Harga saham di bursa New York langsung bergerak naik. Mata uang berbagai negara juga menguat, meski sebentar saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hawa optimisme itu ternyata tak berumur panjang. Hanya beberapa jam berselang, datang sentimen negatif dari pengumuman hasil sidang Komite Pasar Terbuka The Fed yang kebetulan berlangsung di hari yang sama. Ada tiga butir penting hasil sidang itu. Pertama, The Fed tidak mengubah suku bunga, tetap dalam rentang 5,25-5,5 persen. Kedua, ada sinyal penurunan bunga hanya akan terjadi sekali pada tahun ini. Dan yang terakhir, The Fed malah menaikkan perkiraan angka inflasi inti tahun ini dari 2,6 persen menjadi 2,8 persen.
Kesimpulannya, The Fed masih percaya bahwa ancaman inflasi justru menguat meski pada Mei tingkat inflasi lebih rendah. Harapan pasar, bahwa bunga The Fed segera turun, tak terpenuhi. Sebaliknya, investor kini harus mengantisipasi potensi bunga The Fed akan bertahan tinggi dalam tempo lebih lama. Kemungkinan besar bunga itu baru akan turun pada September mendatang.
Hasil sidang The Fed itu pada akhirnya juga membuat rupiah kembali tertekan. Sempat menguat ke kisaran 16.150 per dolar Amerika Serikat di pasar New York setelah terbitnya angka inflasi, nilai rupiah kembali merosot di pasar Jakarta keesokan harinya. Kamis, 13 Juni 2024, kurs rupiah kembali luruh mendekati 16.300 per dolar Amerika. Rupiah sudah menyentuh titik terendahnya dalam empat tahun terakhir.
Jika berkepanjangan, merosotnya nilai rupiah dapat menimbulkan konsekuensi yang cukup serius pada ekonomi Indonesia. Bagi konsumen, misalnya, pelemahan ini mengakibatkan inflasi barang-barang impor. Daya beli tergerus. Industri di dalam negeri yang masih bergantung pada bahan baku impor pun akan menghadapi masalah serupa.
Bagi pemerintah, tergerusnya nilai rupiah juga bisa menjadi persoalan serius. Secara neto, merosotnya nilai tukar rupiah akan menambah defisit anggaran. Sebagai gambaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini masih memakai patokan kurs Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat, jauh dari realitas sekarang. Jika secara rata-rata kurs rupiah tetap bertahan di kisaran 16.300 per dolar, pemerintah akan memikul tambahan defisit yang amat berat, bisa mencapai sekitar Rp 81 triliun. Di tengah pasar finansial yang masih bergejolak dan dikuasai rezim bunga tinggi, tambahan beban sebesar itu bisa sangat merepotkan.
Ada faktor lain lagi yang juga amat penting. Ketidakpastian arah kebijakan fiskal menjelang transisi pemerintahan membuat investor makin sensitif dalam menilai aset-aset finansial Indonesia. Dalam situasi segenting ini, belum ada respons kebijakan dari pemerintah ataupun otoritas keuangan untuk setidaknya mengurangi tekanan. Tak ada pula sinyal positif dari presiden terpilih Prabowo Subianto bahwa ia menyadari naiknya risiko fiskal dan akan berupaya serius mengatasinya.
Walhasil, kepercayaan pasar pada rupiah benar-benar luntur di akhir pekan. Kursnya ambrol mendekati 16.500 per dolar Amerika Serikat. Jika tak mau mengawali pemerintahannya dengan krisis karena ambruknya rupiah, Prabowo perlu segera berubah haluan dan menyampaikan komitmen bahwa pemerintahannya kelak akan konsisten menerapkan disiplin fiskal. Tanpa ketegasan itu, pasar finansial akan makin berat menghukum Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Politikus Melawan Pasar, Rupiah Rontok"