Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kelemahan dan distorsi

Dalam seminar swot keuangan indonesia, para pakar ekonomi menyorot bidang moneter. ancaman ekonomi indonesia datang dari penguasa moneter dan para pelaku ekonomi indonesia.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ancaman terhadap ekonomi Indonesia ternyata dari pemerintah dan para pelaku ekonomi. Sebuah kritik terhadap monopoli swasta. GRAND Hyatt Hotel di bundaran Jalan Thamrin, Jakarta, kini tengah "dipersunting" oleh para macan seminar. Mulai beroperasi bulan silam, hotel megah milik Bimantara itu Rabu pekan lalu dipilih Dr. Sjahrir dari Yayasan Padi dan Kapas, bersama-sama ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Jakarta Raya untuk seminar SWOT Keuangan Indonesia. Sekitar 200 kursi yang dijual di situ -- -tarifnya Rp 450.000 -- tampak terisi penuh. Bahkan banyak undangan yang terpaksa berdiri. Ketua Umum ISEI Menteri Keuangan J.B. Sumarlin -- mungkin karena kesibukannya -- berhalangan hadir, padahal namanya banyak disebut sepanjang seminar berlangsung. Tampil sebagai keynote speaker Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy, yang telah secara khusus menyorot peran negara dalam pembangunan ekonomi di negeri ini. "Secara filosofis, peran negara bisa diartikan sebagai peran mengurangi segenap kelemahan dari dalam serta ancaman dari luar serta meningkatkan kekuatan dan peluang ekonomi nasional, termasuk peningkatan daya saing internasional," demikian inti pidato Mooy yang dibacakan juru bicara Bank Indonesia, Dahlan Sutalaksana. Tapi pendekatan yang makro itu langsung meloncat ke mikro, ketika Djoko Koesnadi sebagai pembicara pertama tampil dengan masalah pasar modal. Wakil Ketua Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) ini segera saja menelanjangi Bursa Efek Jakarta. Harus diakui, kelemahan-kelemahan di lembaga itu sudah terlalu banyak diungkapkan, sehingga tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Contoh: tidak lengkapnya perangkat hukum atau kurang profesionalnya perusahaan penjamin. Bahkan bekas Direktur Eksekutif Bursa Paralel Jakarta, E.A. Koetin, mensinyalir ancaman baru yang bisa timbul di bursa, yakni permainan share-swap (tukar-menukar saham) antar-anak perusahaan dalam satu konglomerat. Hanya disayangkan, berbagai kelemahan itu belum dengan serius ditangani oleh Bapepam. Bahwa SWOT ini tajam menyorot bidang moneter, itu juga bisa disimak dari makalah yang disusun Dr. Slangor. Pakar ekonomi dari Institute for Economic and Financial Research itu menganalisa, sebab-musabab laju inflasi tinggi, penurunan cadangan devisa, dan berkurangnya kepercayaan terhadap rupiah serta perekonomian Indonesia. Bahaya-bahaya itu, menurut Slangor, rupanya berpangkal pada penguasa moneter serta para pelaku ekonomi Indonesia sendiri. Pakto (deregulasi perbankan Oktober 1988) telah melonggarkan izin pendirian bank serta menurunkan ketentuan cadangan wajib bank dari 15% menjadi 2%. Kedua kelonggaran itu telah mendorong bank-bank untuk melebarkan usaha dan akibatnya bersaing ketat. Pada gilirannya, jumlah uang beredar (M1) dan likuiditas perekonomian (M2) membengkak. Akhirnya, margin antara biaya dana dan bunga kredit menjadi semakin tipis. Tapi Anwar Nasution dari LPEM-UI masih melihat segi positif Pakto. Katanya, bank-bank tak segan lagi mengeluarkan investasi mahal untuk modernisasi, mulai dari gedung sampai peralatan komputer. Hanya disayangkan, otoritas moneter belum memberikan delegasi penuh kepada manajemen bank-bank negara untuk lebih bebas bergerak. Namun, dampak Pakto yang paling berbahaya adalah ekspansi moneter yang sangat longgar. Dr. Slangor melukiskan ekonomi Indonesia sejak 1988 bagaikan mobil yang dijalankan dengan menekan pedal gas penuh. Kebijaksanaan moneter berjalan tinggi di tahun 1989 -- -mencapai 7,4%. "Ini angka pertumbuhan paling tinggi sejak tahun 1981," kata Dr. Slangor. Sementara itu, para pelaku ekonomi (kaum pengusaha) dan masyarakat Indonesia belum mencapai tahap masyarakat rasional. Jika cukup rasional, mereka tentu menyadari dampak yang bisa timbul dari ekspansi moneter, yakni inflasi. Sayangnya, kata Slangor, otoritas moneter juga kurang menyadari fungsinya yang sesungguhnya, yaitu memelihara kestabilan moneter. Setelah otoritas moneter menggenjot pedal gas sedalam-dalamnya, mendadak lembaga itu menginjak pedal rem sedalam-dalamnya pula. "Apabila pengusaha moneter cukup mempertimbangkan konsekuensi dari ekspansi moneter yang terlalu tinggi, perkembangan moneter tidak akan terjadi dalam tahun 1989, dan selanjutnya tidak perlu dilaksanakan kebijaksanaan yang berputar haluan 180% dari kebijaksanaan sebelumnya, sehingga kesulitan para pelaku ekonomi dapat dihindari," begitu Slangor "menyesali" pihak otoritas moneter. Alat-alat pengendali moneter ternyata juga masih terbatas. Sejak 1983, BI hanya memiliki instrumen SBI, SBPU, cadangan wajib perbankan, dan kredit likuiditas. Ketika nyala inflasi mulai membesar, pada awal 1990 otoritas moneter mencanangkan kebijaksanaan moneter ketat. Mula-mula instrumen yang dipakai adalah penarikan kredit likuiditas. Tapi tekad itu tidak dijalankan secara konsekuen. Buktinya, kredit likuiditas BI, yang berjumlah Rp 16,2 trilyun pada akhi 1989, pada akhir Maret 1990 malah naik sampai Rp 17,5 trilyun. SBI, alat penyedot uang beredar yang ingin dimasyarakatkan pada Agustus 1990, pun gagal. Saldo rekening SBI malah menyusut dari Rp 2,4 trilyun (Juli 1990) menjadi Rp 1,5 trilyun pada akhir 1990. Usaha mengendalikan likuiditas perekonomian (M2) pada tahun 1990 malah semakin kedodoran. Ini dipacu oleh modal swasta dari luar negeri yang mengalir dengan derasnya kemari. Lalu, awal tahun ini harga minyak tiba-tiba menukik. Slangor kemudian melihat munculnya dua kubu yang dicekam rasa takut, yakni kaum pemilik uang dan pemerintah. Kalangan pemilik uang ketakutan, jangan-jangan akan terjadi devaluasi. Sebaliknya pihak otoritas moneter cemas, kalau-kalau arus pembelian devisa tidak lagi bisa ditahan. Slangor menyimpulkan, dalam hal ini otoritas moneter tidak mengambil langkah preventif, melainkan kuratif. Paara spekulan dibiarkan dulu membeli dolar sebanyak-banyaknya, baru kemudian J.B. Sumarlin menggebrak. Pada Maret 1991, Menteri Keuangan menarik Rp 8,1 trilyun dari 12 bank pemerintah. Kendati 75% masih dikembalikan lagi pada perbankan, hal itu telah menimbulkan syok. Celakanya, untuk menghukum segelintir spekulan, seluruh masyarakat Indonesia kena getahnya. Tapi Slangor belum mengetahui efek sesungguhnya dari gebrakan itu. Dr. Anwar Nasution dari LPEM-UI bahkan melihat distorsi-distorsi ekonomi juga muncul di luar bidang moneter. Kendati Direktur Pengawasan BUMN Dr. Fuad Bawazier mengemukakan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia telah menurun. Anwar mengingatkan bahwa berkembangnya sistem merkantilis (monopoli di tangan swasta) justru akan menyebabkan semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Tata niaga cengkeh yang baru "disempurnakan" oleh pemerintah dengan memasukkan unsur swasta, lalu segera memperoleh kredit likuiditas dari Bank Sentral, dinilai Anwar sebagai suatu kelemahan perekonomian Indonesia (lihat artikel: Yang Memburat Terlalu Mahal). Tak kurang penting adalah pendapat Willem van den Wall Bake, yang menilai bahwa penanganan kurs rupiah sebenarnya sudah cukup profesional. Namun, pakar moneter dari Morgan Guaranty Trust Company itu mempertanyakan, mengapa di bidang fiskal pengelolaan harga BBM masih belum bisa diambangkan. Padahal, sudah sering terbukti, setiap kenaikan harga BBM pasti menyulut inflasi. Di segi moneter, Bake melontarkan tiga pertanyaan. Pertama: apakah cadangan wajib itu perlu dimainkan secara aktif? Fasilitas swap yang praktis mendorong pinjaman luar negeri dan investasi yang bisa menggerakkan aliran uang tunai, apakah perlu dibatasi atau dihapuskan sama sekali? Jika bank-bank tidak hati-hati mengelola likuiditasnya, apakah untuk itu mereka perlu "dipaksa" oleh otoritas moneter? Pengelolaan hasil rezeki minyak tahun lalu menimbulkan tanda tanya bagi Bake. Bulan lalu Menteri Keuangan melarporkan bahwa pemerintah menunda pinjaman Rp 1,4 trilyun dari IGGI, dan menumpuk cadangan anggaran pembangunan sebesar Rp 2 trilyun. "Apakah itu perlu, sehingga ada dana yang disterilkan?" tanya Bake. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus