IBARAT gadis cantik, Bali diperebutkan, tidak saja oleh turis, tapi juga oleh para pemodal besar. Sementara turis berbondong-bondong membanjiri Bali -- tahun ini ada sekitar 250.000 orang -- investor asing maupun lokal bergegas membangun hotel di pelbagai kawasan strategis di sana. Senin pekan ini, Gubernur Bali Ida Bagus Oka meresmikan peletakan batu pertama pembangunan Hotel Sheraton Legian Beach, milik pengusaha kondang Sudwikatmono. Hotel bintang empat dengan fasilitas 407 kamar itu merupakan usaha patungan antara PT Bali Perkasasukses (BP) dan ITT Sheraton. Menelan investasi 70 juta dolar, hotel yang berlokasi di Legian ini ditargetkan selesai akhir 1991. "Legian tempat yang sangat populer, dan di sana belum ada hotel bertaraf internasional," ujar Peter Young, konsultan PT BP. Tak jauh dari Kuta, 20 September mendatang akan diresmikan pula Bali Dynasty Hotel. Manajemen hotel bintang lima dengan fasilitas sekitar 360 kamar ini kelak akan ditangani oleh ShangriLa International Hotel. Sementara itu, di kawasan mahal Nusa Dua, sedang dibangun enam hotel bintang lima. Empat di antaranya -- Bali Hilton, Nusa Indah, Sheraton Laguna Nusa Dua, dan Grand Hyatt Bali -- dengan jumlah kamar sekitar 2.025 buah, rencananya akan diresmikan oleh Presiden Soeharto Februari tahun depan. Masih ada dua hotel lagi yang akan dibangun -- masing-masing oleh PT Griya Panca Kartika dengan kapasitas 325 kamar dan PT Narendra Bhuwana & Pasifik Resort dengan 400 kamar. Bila kelak keenam hotel baru itu sudah berdiri, Nusa Dua tidak bisa dikatakan sunyi lagi. Sementara di sana sudah beroperasi empat hotel bintang lima, yaitu Club Med, Nusa Dua, Bali Sol, dan Putri Bali, dengan jumlah kamar 1.725 buah. Lalu, bila ditambah enam hotel baru, kawasan Nusa Dua yang seluas 326 ha itu akan menyediakan 4.475 kamar. Namun, dalam tiga tahun saja, jumlah itu diperkirakan menjadi 9.000 kamar. Nah, apa tidak jenuh? "Kemampuan Bali dalam menyedot arus wisatawan masih cukup besar sehingga berapa pun jumlah kamar yang dibangun, tidak menjadi soal," tutur Ponco Sutowo, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Ponco melalui PT Indo Buildco sudah menyalurkan US$ 70 juta untuk membangun Bali Hilton, juga di Nusa Dua. Tapi kawasan itu kini sudah tertutup bagi perizinan baru. "Tugas kami, menyediakan infrastruktur dan mengundang investor, sudah selesai sekarang. Tinggal bagaimana mengelola kawasan ini dengan baik," kata Direktur Utama Bali Tourism & Development Corp. (BTDC), Nadirsyah Zein, S.E., sewaktu ditemui TEMPO di ruang kerjanya. Menurut Nadirsyah Zein, tarif kamar hotel di Nusa Dua berkisar 100 dolar AS per malamnya. Wisatawan yang datang sebagian besar berasal dari Eropa, disusul Jepang, Australia, dan negara Asia lainnya. Sedangkan wisatawan lokal jumlahnya sekitar 23.000 orang, hingga pertengahan tahun ini. "Jumlah itu berarti sekitar 11,4 persen dari jumlah wisatawan yang menginap di kawasan Nusa Dua," tambahnya. Rata-rata mereka menginap selama 5,14 hari dengan jumlah uang yang dihabiskan sekitar 150 dolar AS per hari. Kabarnya, tingkat hunian kamar hotel di Bali sudah di atas 80 persen. "Itu artinya, perluasan dan penambahan kamar sudah seharusnya dilakukan," ujar Zein. Pemodal lainnya yang juga terjun ke bisnis menjual kamar ini ialah Ir. Dedi Sjahrir Panigoro, Direktur Utama PT Satria Balitama. Pengusaha yang tergabung dalam Medco Group itu memompakan 40 juta dolar AS untuk pembangunan Bali Imperial Hotel, di Desa Seminyak, Legian, Kuta. Ini sebuah hotel bintang lima dengan ciri khas Jepang. "Saya optimistis akan untung. Jangan takut terjadi kejenuhan, apalagi arus kunjungan wisata terbesar kan di Bali," kata Dedi, yang juga Dirut PT Griya Panca Kartika ini. Perkiraan bahwa jumlah kamar hotel di Bali mendekati jenuh dibantah juga oleh Ponco Sutowo. Katanya, itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya serta bagaimana cara kita menjualnya. Namun, tambah Ponco, peningkatan jumlah kamar hotel harus dibarengi dengan langkah pemerintah daerah dalam mempersiapkan sarana lain, seperti perluasan Bandara Ngurah Rai, di samping menyediakan angkutan udara yang memadai. Belum lagi fasilitas telepon yang kurang memadai, di samping voltase listrik yang masih suka naik turun. Lain di Bali lain pula di Yogyakarta. Sekitar 65 wisatawan asing hampir telantar gara-gara pihak Ambarrukmo Palace Hotel membatalkan pesanan 21 kamar mereka 10 Agustus lalu. Celakanya, pembatalan itu dilakukan hanya satu hari sebelum rombongan turis tiba di Yogyakarta. Bahkan pembatalan pernah terjadi ketika para turis sudah berada di lobi hotel. Repotnya, kebanyakan turis datang dalam grup yang terdiri dari beberapa keluarga. "Mereka menginginkan tinggal di satu hotel, tidak dipisah-pisah," ujar Thalib Rizal, Manajer Pemasaran Ambarrukmo Palace Hotel, kepada TEMPO. Sedangkan Ambarrukmo sampai kini hanya punya 245 kamar. Penyebab kisruh lainnya, menurut Thalib, terletak pada biro perjalanan yang acap memesan kamar dalam jumlah lebih banyak dari jumlah turis yang datang. "Padahal, kami bisa menerima turis tanpa melalui biro perjalanan. Akibatnya, banyak kamar yang kami biarkan kosong percuma," Thalib Rizal menyesalkan. Untuk menanggulangi kasus tersebut, pihak Ambarrukmo harus mengeluarkan sekitar Rp 4 juta. Ternyata, pihak biro perjalanan juga merasa dirugikan. "Peristiwa itu membuat jelek kredibilitas kami sebagai perusahaan jasa perjalanan," ucap Tri Munaryo, Manajer Cabang Satriavi Tours & Travel. Itu bisa menyebabkan mereka enggan kembali ke Indonesia. Dia yakin, jika pembatalan itu dilakukan jauh-jauh hari, bisa cepat dicarikan hotel pengganti. "Sehingga program pemerintah menjadikan tahun 1991 sebagai tahun kunjungan wisata Indonesia bisa berjalan lancar," ujar Tri Munaryo, tersenyum ramah. Rudy Novrianto, Sugrahetty D.K. (Jakarta), Joko Daryanto, I.N. Wedja (Bali), dan R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini