Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi blak-blakan soal penyebab tiket pesawat domestik mahal. Ia berujar, masalah ini terjadi lantaran adanya monopoli avtur di dalam negeri oleh Pertamina. Menurut dia, hal ini berbeda dengan pengelolaan avtur di luar negeri dilakukan secara multiprovider.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Satu provider memonopoli dan harga monopoli itu dilindungi BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas)” ujar Budi Karya dalam konferensi pers capaian kinerja di Kemenhub, Selasa, 1 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain monopoli avtur, Budi Karya berujar, tingginya harga tiket pesawat domestik terjadi lantaran adanya pajak suku cadang atau sparepart. Lagi-lagi, menurut dia, kebijakan ini berbeda dengan negara lain seperti Singapura dan Malaysia.
Kendati begitu, Budi Karya memastikan pemerintah sedang mengupayakan penurunan harga tiket pesawat hingga 10 persen pada bulan ini. Ia menyebut pemerintah sedang mendiskusikan soal pengurangan pajak pada tiket pesawat. Ia juga mengklaim pemerintah akan segera menerbitkan aturan soal ini.
“Insyaallah 10 hari lagi jadi prestasi saya. Kalau tidak, (Menteri Perhubungan) yang baru dapat rezeki itu,” ujar Budi Karya.
Tempo berupaya mengkonfirmasi pernyataan Budi Karya soal monopoli avtur kepada BPH Migas. Namun, pertanyaan yang disampaikan kepada Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, melalui aplikasi perpesanan belum dijawab hingga laporan ini ditulis.
Harga Tiket Pesawat Dikeluhkan Pelaku Wisata
Isu tingginya harga pesawat domestik memang dikeluhkan sejumlah pihak, tak terkecuali pelaku pariwisata di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Bangka Belitung. Budi, salah satu pedagang di Pantai Tanjung Kelayang, Belitung, mengatakan jumlah kunjungan wisata memang merosot sejak pandemi Covid-19. Menurut dia, dari obrolan dengan wisatawan, masalah ini terjadi karena harga tiket melambung tinggi. Pascapandemi, kata dia, jumlah penerbangan juga dikurangi.
“Dulu, sebelum Covid, pesawat banyak masuk. Harga tiketnya juga murah, masih bisa Rp 500 ribuan,” ujar Budi. “Kata wisatawan yang pernah kami bawa, mahal ke sini ketimbang ke Singapura atau Thailand.”
Hal serupa disampaikan penyedia kapal wisata, Joe, yang merasakan hal sama. Pria 29 tahun itu menyewakan kapal kayu berkapasitas 10 orang seharga Rp 500 ribu sekali trip. Sebelum Covid, ia bisa mengangkut wisatawan setiap hari. Sementara kini, ia lebih mengandalkan akhir pekan atau saat lebaran—karena warga lokal turut liburan.
Menurut Joe, harga tiket menjadi satu-satunya kendala dalam menarik wisatawan ke Belitung. “Karena harga tiket pesawat ke Belitung lumayan mahal. Pesawatnya juga saya dengar, cuma sedikit,” ujar Joe ketika ditemui Tempo di Pulau Lengkuas. Saat itu, ia baru saja mengantar wisatawan asing asal Polandia.
Sementara kunjungan wisata sepi, Joe bekerja sampingan sebagai nelayan agar dapurnya tetap ngebul. Apalagi ia juga membutuhkan uang setidaknya Rp 500 ribu per bulan untuk perawatan perahu.
Karena itu, Joe berharap pemerintah segera menyelesaikan persoalan harga tiket pesawat domestik. “Boleh juga itu penerbangan ditambah lagi biar wisatawan banyak lagi yang masuk (ke Belitung)” kata dia.