Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu tokoh adat dari Kalimantan, Norman Djiwan, menyoroti konflik agraria yang terjadi di Kalimantan hingga saat ini. Hal tersebut disampaikan melalui pelaporan hasil konferensi regional 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Konferensi Tenurial ini adalah momentum untuk menggugat pertanggungjawaban negara kepada pemenuhan kedaulatan hak-hak tenurial bagi masyarakat Kalimantan,” ujar Norman, dalam acara Konferensi Tenurial 2023 di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Norman, terdapat 12 isu khusus terkait konflik agraria yang harus diselesaikan pemerintah. Pertama, soal Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. “IKN ini tidak hanya mencaplok tapi juga akan berakhir pada menghilangkan hak 53 hak desa,” katanya.
Kedua, soal perampasan hutan adat oleh konsesi, perhutanan sosial, HCV-HCS konservasi korporasi, hingga ancaman dagang karbon, yang sudah memasuki wilayah adat. Ketiga, ancaman program Food Estate atau lumbung pangan.
Selanjutnya, keempat, terkait peminggiran dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. “Khususnya dalam pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit dan pembangunan sektor agraria,” ujar Norman.
Kelima, terkait rencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. “Secara tegas Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, menolak rencana ini,” katanya. Begitu pula soal transmigrasi, atau isu keenam, yang disponsori negara melalui APBN 2020–2024, Norman menekankan bahwa region Kalimantan menolak hal tersebut.
Ketujuh, secara khusus Kalimantan Barat mengangkat persoalan intimidasi dan persekusi politik 1965. “Ini mengakibatkan banyak warga Kalbar yang terusir dari kampung halamannya dan kehilangan hak-hak agraria sampai sekarang tidak berani pulang,” kata tokoh adat asal Kalimantan itu. Selanjutnya, Norman juga mengangkat terkait miskin kota dan pesisir, serta Kota Terpadu Mandiri (KTM) Subah. Isu ini menjadi isu kedelapan dan kesembilan.
Lebih lanjut, dalam pemulihan Hak Asasi Manusia (HAM), Norman meminta tanggung jawab negara untuk menindaklanjuti kasus pengelolaan tambang yang menjadi konflik kesepuluh. “Di mana tanggung jawab negara? karena ada 40 lebih korban nyawa akibat pengelolaan tambang di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Timur,” katanya. Menurut Norman, reformasi agraria tanpa perlindungan HAM akan sia-sia.
Sementara dua isu terakhir adalah terkait perlawanan pekerja perempuan di perkebunan dan situasi perbatasan kalimantan yang hari ini, kata Norman, sedang diobral. “Ini termasuk infrastruktur jalan, juga transmigrasi dalam kawasan hutan,” ujarnya.