Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, sedang mengevaluasi dampak keputusan Amerika Serikat (AS) keluar dari Paris Agreement atau Perjanjian Paris terhadap pendanaan proyek transisi energi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, kata Yuliot bakal dikaji karena berkaitan dengan sektor energi bersih. “Dampaknya kita masih lakukan pengkajian, ini baru disampaikan sama Presiden Trump,” katanya ditemui usai Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XII DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian (ESDM), Eniya Listiani Dewi, menjelaskan, keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris bakal berdampak pada pendanaan proyek transisi energi di Indonesia. Sehingga pemerintah harus mencari alternatif lain untuk menggantikan peran AS. "Kalau negaranya memang tidak (berinvestasi di EBT), ya kami dorong dari negara lain,” ujar Eniya saat ditemui usai rapat kerja di DPR, Senayan, Kamis, 23 Januari 2025.
Donald Trump menyatakan menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim 2015. Pernyataan tersebut tertera dalam Perintah Eksekutif setelah Trump dilantik pada Senin, 20 Januari 2025. Trump menandatangani Perintah Eksekutif di atas panggung di hadapan para pendukungnya di sebuah arena di Washington DC. Dia menyebut aksinya tersebut untuk menghentikan 'tipuan perjanjian iklim Paris yang tidak adil dan sepihak.'
Trump menginformasikan keputusan tersebut kepada PBB, meskipun AS merupakan penghasil polusi terbesar kedua di dunia yang menyebabkan pemanasan global. Penarikan diri ini akan memakan waktu sekitar satu tahun untuk menjadi resmi dan berarti AS akan bergabung dengan Iran, Yaman, dan Libya sebagai negara yang tidak menjadi bagian dari perjanjian tersebut.
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diadopsi pada 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Tujuannya, untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celcius.
M. Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Harga Gas dan Listrik Naik, Pengusaha Kawasan Industri Batam Khawatir Investor Lari ke SEZ Johor