Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENERBANGAN terakhir dari Denpasar ke Jakarta malam itu sudah siap dilakukan. Pramugari sedang memperagakan cara memakai pelampung ketika seluruh kabin seperti dicekam bau menyengat. Durian. Alamak! Awak pesawat pun buru-buru meluncur ke sepanjang gang, mencoba mengendus dari mana bau dahsyat itu berasal.
”Tolong Bapak, Ibu, yang merasa membawa durian, tolong, kami akan simpankan di bagasi,” kata pramugari, mencoba bersabar. Tapi tak ada yang menjawab. Tak ada yang tunjuk tangan. Gawat. Beberapa laci penyimpan barang mulai dibuka, diperiksa, diendus, dikais-kais. Gagal. Sumber malapetaka agaknya sulit dikenali lagi. Seluruh kabin sudah kadung tercemar....
Naik pesawat hari-hari ini tak ada bedanya dengan naik bus. Anda tak cuma berurusan dengan bandara yang ruwet dan berjubel, waktu check-in yang panjang, dan pesawat yang penuh sesak. Anda juga mesti siap-siap menemui pelbagai insiden, termasuk tersekap berjam-jam dalam ”peti durian”, karena sebagian penumpang belum paham tata krama naik pesawat.
Bisnis penerbangan memang sedang meledak. Penumpang membludak. Pada 2003, jumlah penumpang penerbangan hanya 15 juta orang. Dua tahun kemudian, angka itu berlipat menjadi 28 juta. Dan tahun ini, menurut catatan BPS, hingga Juli jumlah penumpang penerbangan telah mendekati angka 20 juta orang.
Lonjakan yang fantastis itu membuktikan bahwa pasar penerbangan kita luar biasa besar. Bagi beberapa maskapai, ini cukup untuk dijadikan alasan melakukan ekspansi. Lion Air, misalnya, telah memesan 60 unit B-737 seri 900ER dengan total nilai investasi Rp 37 triliun. Pelopor tiket murah di Indonesia ini meluncurkan pesawat terbaru dari pabrik Boeing itu dalam penerbangan perdana di Seattle, Amerika Serikat, bulan lalu.
Langkah Lion agaknya akan segera diikuti Adam Air. Santer tersiar kabar, perusahaan milik politisi Agung Laksono itu sedang menyiapkan pemesanan puluhan pesawat terbaru Airbus. Hari-hari ini Adam tengah melobi sejumlah calon pemodal, termasuk North Star Capital. ”Prosesnya masih panjang,” kata Dave Laksono, juru bicara Adam Air.
Pelbagai ekspansi ini bagi sebagian orang memang tampak mengejutkan. Mereka yang mengenal perhitungan bisnis penerbangan tahu persis bahwa ledakan penumpang bukan berarti lonjakan pendapatan. Hari-hari ini, harga tiket cenderung diobral. Akibatnya, total penerimaan maskapai sesungguhnya tak banyak berubah, meskipun jumlah penumpang berlipat.
Itu belum menghitung harga avtur yang terus meroket. Komponen bahan bakar yang semula 24 persen dari biaya operasi, porsinya kini melambung hingga 40 persen. ”Jika avtur naik satu sen dolar per liter,” kata Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar, ”biaya Garuda melonjak US$ 9 juta per tahun.” Kenaikan harga minyak mentah dari kisaran US$ 50 per barel (awal tahun) menjadi lebih dari US$ 70, tentu saja merupakan pukulan maut bagi industri penerbangan.
Namun, kalkulasi itu tak 100 persen berlaku bagi beberapa maskapai penerbangan hemat-biaya. Di atas kertas, maskapai semacam ini lebih punya peluang untuk bertahan karena (1) memakai satu jenis (bahkan satu seri) pesawat untuk menekan biaya suku cadang dan perawatan, (2) melayani sebanyak mungkin rute jarak pendek, (3) menekan upah (pramugari maskapai hemat-biaya di luar negeri merangkap jadi ”tukang sapu” di pesawat), (4) menekan kemewahan (bukan hanya makan gratis yang tak tersedia, Anda juga tak akan menemukan krim pelembab atau kolonye di lavatori), dan (5) bermarkas di bandara kelas dua yang lebih murah.
Tentu saja, tak semua rumus hemat ini berhasil. Di Amerika, dari 34 maskapai hemat-biaya yang muncul pada akhir 1970-an, hanya dua yang bertahan. Di Eropa, selain ada yang bangkrut, hampir setiap minggu ada saja maskapai jenis ini yang berdiri. Di Indonesia? Dari 28 penerbangan berjadwal yang punya izin, delapan di antaranya sudah ”masuk kotak”.
Dengan pelbagai faktor yang menjeratnya (harga bahan bakar, regulasi pemerintah, biaya modal), nasib maskapai hemat-biaya sulit diperkirakan. Saat ini, hanya satu hal yang pasti: penumpang punya lebih banyak pilihan dan harga tiket yang terjangkau.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo