Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Protes Tak Kunjung Padam

Ketaksesuaian harga menjadi penyebab batalnya jual-beli KPC dan Arutmin. Kalkulasi Credit Suisse ikut disorot.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERMAIN teka-teki tampaknya sudah menjadi tabiat bisnis Grup Bakrie. Kali ini, orang pun dibuat sibuk mencari-cari apa alasan se­sungguhnya di balik pembatalan jual-beli saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia senilai US$ 3,25 miliar atau Rp 29 triliun, Rabu dua pekan lalu.

Masih lekat dalam ingatan bagaimana kontroversi akuisisi ladang minyak Gallo Oil di Yaman oleh PT Bumi Resources Tbk.—ketika itu bernama PT Bumi Modern—merebak pada 1999. Saat itu, orang pun bertanya-tanya bagaimana mungkin Bumi yang neraca keuangannya masih tekor bisa menelan ladang raksasa senilai Rp 9 triliun.

Dua tahun reda, kontroversi kembali meruyak saat anak usaha Grup Bakrie itu membeli Arutmin dari BHP Billiton atas ”bantuan” kredit Bank Mandiri. Heboh memuncak tiga tahun lalu, ketika Bumi berhasil ”menyalip” pemerintah dalam pem­belian KPC dari Rio Tinto dan BP dengan ”harga obral” US$ 500 juta.

Sejak itu, boleh dibilang ke­­rajaan bisnis Grup Bakrie yang sempat terpuruk dibelit utang kembali berkibar. Investor pun bersukacita ketika tersiar kabar Bumi bakal melego KPC dan Arutmin—plus PT Indocoal Recources, PT Indocoal Kalsel, dan PT Indocoal Kaltim—seharga US$ 3,25 miliar.

Investor happy karena me­reka dijanjikan bakal menerima dividen Rp 190 per saham setelah transaksi rampung. Bumi pun memancangkan ambisi untuk menjadi raksasa energi di Asia Tenggara lewat penggabungan usaha dengan PT Energi Mega Persada Tbk., saudara kandungnya.

Dengan setumpuk harapan itu, tak mengherankan jika JP Morgan dalam hasil risetnya pada 22 Agustus lalu masih merekomendasikan para investor untuk tetap memegang saham Bumi, kendati penjual­an KPC dan Arutmin ditunda hingga akhir September. Apalagi, Bumi siap menggelar operasi pembelian balik 10 persen sahamnya dari publik, yang bisa mendatangkan keuntungan berlipat buat investor.

Tapi apa lacur, sehari kemudian se­mua mimpi indah itu buyar. Kesepakat­an jual-beli yang diteken pada 16 Maret lalu oleh Bumi dan PT Borneo Lumbung Energi (konsorsium bentukan PT Renaissance Capital) selaku pembeli di­batalkan. Protes pun langsung bermunculan. Soal alasannya, Presiden Direktur Bumi, Ari Hudaya, hanya menyebutkan, ”Karena tidak tercapai ke­sepakatan harga penjualan akhir.”

Bagaimana persisnya hitung-hitung­an ini, semuanya masih serba gelap. Itu sebabnya, meski paparan publik telah digelar, Rabu lalu, pihak Bursa Efek Jakarta masih meminta manajemen Bumi mengirimkan penjelasan tertulis selambat-lambatnya Selasa besok. ”Mereka diminta menjelaskan lebih jauh apa penyebab pembatalan transaksi ini,” kata Yose Rizal, Kepala Divisi Pencatatan Sektor Riil BEJ, kepada Tempo.

Untuk perkara harga, sumber Tempo membisikkan saat negosiasi akhir, Rabu siang dua pekan lalu, bahwa Renaissance memang cuma mau membayar sekitar US$ 2,8 miliar. Penyebabnya tak lain adalah kinerja keuangan KPC dan Arutmin yang ternyata tak sekinclong perkiraan semula.

Indikasi ini, seperti diberitakan IFR Asia, tergambar dalam edaran pemberi­tahuan Credit Suisse di awal Juli lalu kepada para kreditor yang diajaknya ikut mendanai transaksi ini. Isinya cukup mengagetkan: berdasarkan kinerja semester pertama 2006, laba KPC dan Arutmin setahun (EBITDA), sebelum dipotong biaya bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi, diperkirakan cuma sekitar US$ 300 juta (Tempo, 3 September 2006).

Angka itu jauh di bawah kalkulasi­ Credit Suisse semula, sebab, dalam do­kumen rahasia Information Memo­randum, Mei 2006, yang diki­rimkannya kepada para investor disebutkan bahwa EBITDA pada 2005 saja sebesar US$ 474 juta. Apalagi jika dibandingkan dengan angka tahun ini yang semula diprediksi mencapai US$ 583 juta. Ini berarti terdapat selisih sekitar Rp 2,5 triliun.

Adanya penurunan tajam inilah yang kemudian menimbulkan sejumlah tanda tanya. Namun, Eddie J. Sobari, Direktur Bumi menepis sinyalemen ini. ”Kalau memang itu benar, bagaimana mungkin investor asing tertarik membeli Bumi?” katanya. Credit Suisse pun tak luput dari sorotan. Sebagai lembaga keuangan bereputasi internasional, ”Kok bisa, mereka salah mengkalkulasi sebesar itu?” ujar salah seorang bankir investasi asing.

Sayang, juru bicara Credit Suisse di Hong Kong, Josephine Lee, juga tak mau buka suara dengan alasan terikat perjanjian kerahasiaan. Deretan teka-teki di balik transaksi Grup Bakrie pun kian memanjang.

Metta Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus