9 Mei nanti, pelukis tradisionil tua renta yang sangat terkenal,
I Gusti Nyoman Lempad dinyatakan: meninggal dunia. Tetapi tidak
berarti sekarang ia masih punya nafas dan bisa bergerak. Sejak
pukul 8.10 wib hari Selasa pekan lalu, pelukis asal Ubud, yang
sejak 3 bulan terakhir tidak kuat duduk dan selalu terbaring
ini, sudah berhenti bernafas. Sebelum nafasnya terakhir lenyap,
sang kakek sempat berkata: "Sekarang semua karya-karya saya
boleh disebut selesai."
Lempad setelah menjalani masa hidup 121 tahun (barangkali saja
usia tertua di Bali) memang sebelumnya tidak pernah mengakui
bahwa karya-karyanya telah selesai. Tidak ada karyanya yang
dijual, karena memang ia tidak suka. "Karya saya semuanya belum
selesai, bagaimana bisa menjualnya?" begitu ucapnya
berkali-kali, tentu saja sewaktu ia masih bisa berdiri dan
melukis. Barulah sejak Selasa pekan lalu itu, semua karyanya
dinyatakan selesai, oleh pelukisnya sendiri. Tapi sang pelukis
pun ternyata "selesai" juga.
Panca Wali Krama
Sejak Selasa pagi itu, Lempad dipindahkan tempat terbaringnya.
Sebelumnya ia tidur dikelilingi lukisan-lukisan dan sepasang
"landak". Kini Lempad ditempatkan di sebuah bale, di tengah
kompleks rumah itu. Tidak dibunyikan kentongan, tidak ada orang
yang melayat. Di sekitarnya hanya keluarga. Masyarakat Ubud
tenang saja. Mereka tetap riuh di jalan. Yang bekerja terus
asyik kerja. "Karena ayah dianggap belum meninggal dunia," kata
I Gusti Made Sumung. Lalu apa namanya? "Dari tanggal 25 April
sampai 9 Mei nanti, ayah dinyatakan masih tidur. Tanggal 9 Mei
itu baru meninggal, dan tanggal 12 Mei mayatnya dibakar," ujar
Sumung menjelaskan.
Ini termasuk aneh, di Bali sendiri pun jarang terjadi begini.
Bukan karena Lempad tersohor. Tapi karena saat ini di Pura
Besakih, berlangsung karya besar yang disebut: "Panca Wali
Krama." Upacara persembahyangan ini bukan saja besar dari segi
uang, tetapi upacara 10 tahun sekali, yang 10 tahun lalu
dilupakan. Upacara ini berlangsungnya sebulan penuh. Tidak
boleh ada orang yang meninggal dunia, selama itu agar kerja
tidak "kotor". Tentu saja tidak mungkin. Nah, lalu dikeluarkan
jalan tengah. Orang yang meninggal disaat upacara besar ini
berlangsung, mayatnya harus segera dikubur, tidak boleh disimpan
di rumah barang semalampun, walau belum ada "hari baik" untuk
itu. Atau orang itu dinyatakan belum meninggal dan dirawat
seperti orang hidup atau sakit.
Yang terakhir itulah dipilih keluarga Lempad. Upacara di Besakih
berakhir 4 Mei. 5 hari setelah itu, barulah Lempad meninggal.
Akibatnya warga Desa Ubud boleh pergi ke Besakih mengikuti
rentetan persembahyangan lainnya. Duka yang mendalam kehilangan
pelukis terkenal ini diendapkan saja dulu.
Tidur atau meninggal, toh sama saja bagi Lempad saat ini. Ia
sudah lama tergeletak. Orang banyak suka menghitung hari-hari
terakhir Lempad. 3 bulan tidak bisa bangun, bagaimana tidak
menarik banyak orang untuk memasang kuping, kapan tokoh kita ini
"selesai". Banyak yang sengaja datang ke rumah Lempad. Ada yang
merekam suaranya diam-diam sambil berdiskusi soal lukisan. Ada
yang mengabadikan gambarnya. Wartawan silih berganti datang.
Pesan terakhir pelukis ini menarik dan setiap orang seakan-akan
mencoba merenggut secubit kenangan sebelum Lempad keburu pergi.
Dua minggu sebelum Lempad "selesai", rumahnya nyaris dikawal
anak cucu. Orang-orang yang datang diseleksi. "Kalau orang
tidak dikenalnya mendekat, ia muntah-muntah," kata seorang
cucunya kepada TEMPO, 4 hari sebelum Lempad "tidur selamanya".
Bangkit
Lalu ada berita dari Negeri Belanda, pelukis Bonnet yang merasa
"bertanah air" di Bali, sudah meninggal dunia 20 April yang
lalu. Keluarga dan kenalan Bonnet melayangkan banyak surat ke
Bali, antara lain menyampaikan pesan Bonnet, minta jenazahnya
dikuburkan di Bali. Surat ada yang tertuju ke Ubud, buat pelukis
Made Wianta, yang lama di Belgia. Dijelaskan bukan jenazah
Bonnet yang akan tiba di Bali, karena cuma abunya yang dikirim.
Meninggalnya Bonnet menggegerkan Bali. Waktu duka itu terdengar
oleh Lempad tiba-tiba ia merasa dirinya kuat. Ia segera bangun.
Matanya menatap lukisan-lukisannya, lalu minta air. Tapi tak
lama lalu ia tidur kembali dan berakhirlah nafasnya, anak
keluarganya, hadir lengkap saat Lempad dibebaskan itu.
Adakah Lempad dan Bonnet memang sudah seikrar untuk mati
bersama? Mana kita tahu. Memang kepercayaan Bali ada yang
semacam itu, tak heran kalau masyarakat juga ikut bisik-bisik.
Soalnya, di masa kuat sebagai pelukis, Lempad dan Bonnet sangat
akrab. Mereka saling isi mengisi. Rumah Lempad dan Bonnet di
Ubud tak lebih dari 150 meter, cuma berbatas Puri Ubud.
Berapa sebetulnya usia Lempad? "Mana kita tahu, waktu itu kan
tidak ada akte kelahiran," kata I Gst Made Sumung. Sementara ini
ada yang menulis 121, 120 lebih, dan macam-macam. Dihitung dari
mana? Ini kisahnya.
Lempad kawin dengan "X" wanita idamannya, (nama wanita ini
sekarang tidak boleh disebut). Setelah lama berumah tangga,
tetap tidak ada anak yang lahir, X yang sudah tua, berkata pada
Lempad: "Jika kau ingin punya anak, ambil saja adikku terkecil."
Begitu lebih kurang. Lempad lalu mengawini X terkecil, dialah
isteri Lempad saat ini dan masih hidup. Sedang X segera
meninggal dunia.
Saat Lempad kawin dengan adik X terkecil itu, X disebut-sebut
lanjut umur, sudah tua. Karena "orang tua" saat itu pastilah di
atas umur 60-an, maka perkawinan Lempad dan adik X itu dianggap
saat usia Lempad 60 tahun juga. Dari perkawinan ini lahir anak
pertama, seorang perempuan (kini sudah meninggal) Anak ini
ketika "gempa terbesar di Bali" berusia 8 tahun. Gempa besar ini
disebut geger Bali terjadi tahun 1917. Konon gempanya 3 kali
lebih hebat dari gempa 1976.
Jadi sang puteri itu lahir tahun 1909. Keluarga Bali dulu,
biasanya punya anak setelah kawin 2 tahun. Tidak ada istilah
persekot waktu itu. Jadi perkawinan Lempad dianggap terjadi
tahun 1907. Umur Lempad saat itu 60 tahun jadi Lempad lahir
tahun 1847. Kalau begitu umur Lempad saat ini 131 tahun dong,
bukan 121 tahun.
Lempad memang tua sangat tua, untuk tetap bertahan melukis.
Menjelang akhir hayatnya toh ia tetap punya emosi juga untuk
bekerja. Bahkan pembicaraannya mengenal lukisan meletup-letup.
Ini kata-kata Made Wianta, pelukis batik yang kebetulan satu
kelas di Sesri dengan cucu Lempad.
Bisa dibayangkan dari tanggal 9 Mei sampai saat upacara
pembakaran mayat 12 Mei nanti bagaimana riuhnya Desa Ubud.
Lempad lewat lukisannya telah mempromosikan nama Bali. Saat
pembakaran mayatnya nanti, mungkin meupakan puncak promosi itu.
Maklum, ia keluarga bangsawan, pelukis terkenal, dan mendapat
berbagai penghargaan lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini