Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Dukapun Harus Ditunda

I Gusti Nyoman Lempad, pelukis tradisionil Bali, meninggal dunia. Masyarakat ubud menganggapnya tidur karena di pura besakih sedang berlangsung upacara panca wali krama. (tk)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

9 Mei nanti, pelukis tradisionil tua renta yang sangat terkenal, I Gusti Nyoman Lempad dinyatakan: meninggal dunia. Tetapi tidak berarti sekarang ia masih punya nafas dan bisa bergerak. Sejak pukul 8.10 wib hari Selasa pekan lalu, pelukis asal Ubud, yang sejak 3 bulan terakhir tidak kuat duduk dan selalu terbaring ini, sudah berhenti bernafas. Sebelum nafasnya terakhir lenyap, sang kakek sempat berkata: "Sekarang semua karya-karya saya boleh disebut selesai." Lempad setelah menjalani masa hidup 121 tahun (barangkali saja usia tertua di Bali) memang sebelumnya tidak pernah mengakui bahwa karya-karyanya telah selesai. Tidak ada karyanya yang dijual, karena memang ia tidak suka. "Karya saya semuanya belum selesai, bagaimana bisa menjualnya?" begitu ucapnya berkali-kali, tentu saja sewaktu ia masih bisa berdiri dan melukis. Barulah sejak Selasa pekan lalu itu, semua karyanya dinyatakan selesai, oleh pelukisnya sendiri. Tapi sang pelukis pun ternyata "selesai" juga. Panca Wali Krama Sejak Selasa pagi itu, Lempad dipindahkan tempat terbaringnya. Sebelumnya ia tidur dikelilingi lukisan-lukisan dan sepasang "landak". Kini Lempad ditempatkan di sebuah bale, di tengah kompleks rumah itu. Tidak dibunyikan kentongan, tidak ada orang yang melayat. Di sekitarnya hanya keluarga. Masyarakat Ubud tenang saja. Mereka tetap riuh di jalan. Yang bekerja terus asyik kerja. "Karena ayah dianggap belum meninggal dunia," kata I Gusti Made Sumung. Lalu apa namanya? "Dari tanggal 25 April sampai 9 Mei nanti, ayah dinyatakan masih tidur. Tanggal 9 Mei itu baru meninggal, dan tanggal 12 Mei mayatnya dibakar," ujar Sumung menjelaskan. Ini termasuk aneh, di Bali sendiri pun jarang terjadi begini. Bukan karena Lempad tersohor. Tapi karena saat ini di Pura Besakih, berlangsung karya besar yang disebut: "Panca Wali Krama." Upacara persembahyangan ini bukan saja besar dari segi uang, tetapi upacara 10 tahun sekali, yang 10 tahun lalu dilupakan. Upacara ini berlangsungnya sebulan penuh. Tidak boleh ada orang yang meninggal dunia, selama itu agar kerja tidak "kotor". Tentu saja tidak mungkin. Nah, lalu dikeluarkan jalan tengah. Orang yang meninggal disaat upacara besar ini berlangsung, mayatnya harus segera dikubur, tidak boleh disimpan di rumah barang semalampun, walau belum ada "hari baik" untuk itu. Atau orang itu dinyatakan belum meninggal dan dirawat seperti orang hidup atau sakit. Yang terakhir itulah dipilih keluarga Lempad. Upacara di Besakih berakhir 4 Mei. 5 hari setelah itu, barulah Lempad meninggal. Akibatnya warga Desa Ubud boleh pergi ke Besakih mengikuti rentetan persembahyangan lainnya. Duka yang mendalam kehilangan pelukis terkenal ini diendapkan saja dulu. Tidur atau meninggal, toh sama saja bagi Lempad saat ini. Ia sudah lama tergeletak. Orang banyak suka menghitung hari-hari terakhir Lempad. 3 bulan tidak bisa bangun, bagaimana tidak menarik banyak orang untuk memasang kuping, kapan tokoh kita ini "selesai". Banyak yang sengaja datang ke rumah Lempad. Ada yang merekam suaranya diam-diam sambil berdiskusi soal lukisan. Ada yang mengabadikan gambarnya. Wartawan silih berganti datang. Pesan terakhir pelukis ini menarik dan setiap orang seakan-akan mencoba merenggut secubit kenangan sebelum Lempad keburu pergi. Dua minggu sebelum Lempad "selesai", rumahnya nyaris dikawal anak cucu. Orang-orang yang datang diseleksi. "Kalau orang tidak dikenalnya mendekat, ia muntah-muntah," kata seorang cucunya kepada TEMPO, 4 hari sebelum Lempad "tidur selamanya". Bangkit Lalu ada berita dari Negeri Belanda, pelukis Bonnet yang merasa "bertanah air" di Bali, sudah meninggal dunia 20 April yang lalu. Keluarga dan kenalan Bonnet melayangkan banyak surat ke Bali, antara lain menyampaikan pesan Bonnet, minta jenazahnya dikuburkan di Bali. Surat ada yang tertuju ke Ubud, buat pelukis Made Wianta, yang lama di Belgia. Dijelaskan bukan jenazah Bonnet yang akan tiba di Bali, karena cuma abunya yang dikirim. Meninggalnya Bonnet menggegerkan Bali. Waktu duka itu terdengar oleh Lempad tiba-tiba ia merasa dirinya kuat. Ia segera bangun. Matanya menatap lukisan-lukisannya, lalu minta air. Tapi tak lama lalu ia tidur kembali dan berakhirlah nafasnya, anak keluarganya, hadir lengkap saat Lempad dibebaskan itu. Adakah Lempad dan Bonnet memang sudah seikrar untuk mati bersama? Mana kita tahu. Memang kepercayaan Bali ada yang semacam itu, tak heran kalau masyarakat juga ikut bisik-bisik. Soalnya, di masa kuat sebagai pelukis, Lempad dan Bonnet sangat akrab. Mereka saling isi mengisi. Rumah Lempad dan Bonnet di Ubud tak lebih dari 150 meter, cuma berbatas Puri Ubud. Berapa sebetulnya usia Lempad? "Mana kita tahu, waktu itu kan tidak ada akte kelahiran," kata I Gst Made Sumung. Sementara ini ada yang menulis 121, 120 lebih, dan macam-macam. Dihitung dari mana? Ini kisahnya. Lempad kawin dengan "X" wanita idamannya, (nama wanita ini sekarang tidak boleh disebut). Setelah lama berumah tangga, tetap tidak ada anak yang lahir, X yang sudah tua, berkata pada Lempad: "Jika kau ingin punya anak, ambil saja adikku terkecil." Begitu lebih kurang. Lempad lalu mengawini X terkecil, dialah isteri Lempad saat ini dan masih hidup. Sedang X segera meninggal dunia. Saat Lempad kawin dengan adik X terkecil itu, X disebut-sebut lanjut umur, sudah tua. Karena "orang tua" saat itu pastilah di atas umur 60-an, maka perkawinan Lempad dan adik X itu dianggap saat usia Lempad 60 tahun juga. Dari perkawinan ini lahir anak pertama, seorang perempuan (kini sudah meninggal) Anak ini ketika "gempa terbesar di Bali" berusia 8 tahun. Gempa besar ini disebut geger Bali terjadi tahun 1917. Konon gempanya 3 kali lebih hebat dari gempa 1976. Jadi sang puteri itu lahir tahun 1909. Keluarga Bali dulu, biasanya punya anak setelah kawin 2 tahun. Tidak ada istilah persekot waktu itu. Jadi perkawinan Lempad dianggap terjadi tahun 1907. Umur Lempad saat itu 60 tahun jadi Lempad lahir tahun 1847. Kalau begitu umur Lempad saat ini 131 tahun dong, bukan 121 tahun. Lempad memang tua sangat tua, untuk tetap bertahan melukis. Menjelang akhir hayatnya toh ia tetap punya emosi juga untuk bekerja. Bahkan pembicaraannya mengenal lukisan meletup-letup. Ini kata-kata Made Wianta, pelukis batik yang kebetulan satu kelas di Sesri dengan cucu Lempad. Bisa dibayangkan dari tanggal 9 Mei sampai saat upacara pembakaran mayat 12 Mei nanti bagaimana riuhnya Desa Ubud. Lempad lewat lukisannya telah mempromosikan nama Bali. Saat pembakaran mayatnya nanti, mungkin meupakan puncak promosi itu. Maklum, ia keluarga bangsawan, pelukis terkenal, dan mendapat berbagai penghargaan lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus